Kamis, 16 Juni 2011

SINETRON ISLAMI: POSITIF-NEGATIF

Oleh: Fadhli Lukman_SANTRI UIN SUKA

Pembaca yang budiman, beberapa waktu terakhir ini sinetron-sinetron di media elektronik mulai mengandung nilai-nilai dakwah yang sangat kental. Sinetron-sinetron tersebut menyampaikan pesan-pesan dan nasihat-nasihat yang sangat terkesan Islami. Dalam setiap adegannya, para tokoh selalu mengucap salam ketika bertemu, mengulang-ulang kalimat thayyibah, menyeru kepada kabaikan sekaligus melarang keburukan (amr ma’ruf wa nahy ‘an mungkar), dan bahkan ada yang secara khusus menyelipkan ceramah dari seorang Ustaz mengenai pesan-pesan keagamaan.
Jika diperhatikan lebih lanjut, sinetron tersebut tidak hanya berbicara mengenai Islam semata. Sinetron-sinetron tersebut mulai merambah institusi pendidikan Islam yang telah mengakar di Indonesia. Apakah itu? Tentu kebanyakan Anda bisa menebak. Ya, pesantren! Beberapa judul sinetron mulai menggunakan symbol-simbol kepesantrenan dengan beberapa unsur di dalamnya, mulai dari sosok kyai, santri, nizham, ta’zir, barokah, dan sebagainya. Sebagai bumbunya, sinetron ini mengemas cerita dengan tayangan-tayangan komedi yang mengocok perut penontonnya.
Seorang yang berjiwa kritis akan mengajukan sebuah pertanyaan: mengapa belakangan sinetron menggunakan symbol keagamaan, terkhusus symbol kepesantrenan, secara kental? Jawabannya adalah hal ini merupakan kelanjutan dari dinamika pesantren di Indonesia. Jika kita kembali melihat ke belakang, pada era 1990-an, sinetron-sinetron di Indonesia didominasi oleh cerita-cerita mistis yang juga dibumbui dengan adegan-adegan komedi. Apakah anda ingat sinetron Tuyul dan Mbak Yul, Jin dan Jun, Jinny oh Jinny, dan sebagainya? Tentu saja sebagian Anda masih mengingatnya.
Pada tahun 2000-an, dinamika sinetron memperlihatkan kecenderungan yang berbeda. Pada masa ini, cerita percintaan remaja meningkat. Kehidupan kota yang hedonis, glamor, penuh kemewahan dijejerkan kepada ribuan pecinta sinetron di Indonesia, tentu saja tetap dengan bumbu komedinya yang kocak. Sebutlah Kisah Sedih di Malam Minggu atau Ada Apa dengan Cinta, hanya sebagai contoh. Kisah-kisah asmara dengan segala kerumitannya menjadi trend dan disukai banyak penonton di Indonesia.
Beberapa tahun belakangan, ada indikasi penonton sudah mulai bosan dengan cerita-cerita remaja tersebut. Kisah yang sarat nilai egoisme, keangkuhan, penindasan kaum miskin oleh orang kaya, disadari memberi pengaruh yang tidak baik bagi moral anak-anak Indonesia yang menontonnya. Hal ini bertambah parah ketika mayoritas sinetron ditayangkan di waktu-waktu kumpul keluarga, yaitu mulai selepas Maghrib hingga pukul sepuluhan.
Sebagai sintesanya, sinetron yang mengandung nilai keislaman yang tinggi tentu saja menjadi jalan keluar yang akan menerima simpati banyak penonton. Dan terbukti, sinetron dengan genre ini sekarang menarik perhatian banyak mata. Di samping itu, banyaknya cerita-cerita hikmah yang sering diceritakan secara turun-temurun menambah kekayaan skenario sinetron jenis ini. Tidak hanya itu, novel-novel Islami yang booming tidak kalah penting perannya dalam memperluas jangkauan sinetron ini. Sebutlah beberapa karya Habiburrahman el-Syirazi yang tentu saja Anda mengetahui buku-bukunya.
Pembaca yang berbahagia, alasan berikutnya barangkali berkaitan dengan euphoria Ramadhan. Untuk kasus ini, Ketika Cinta Bertasbih tampaknya menjadi contoh yang paling tepat untuk diajukan. Awalnya, cerita yang berwujud novel ini dikemas ke dalam layar lebar oleh seorang sutradara kenamaan di Indonesia. Akan tetapi, menjelang Ramadhan, film tersebut dilanjutkan dalam bentuk sinetron dan ditayangkan setiap hari selama Ramadhan di salah satu stasiun televisi swasta. Banyaknya appresiasi dari masyarakat tampaknya menjadikan sang sutradara melanjutkannya beberapa episode setelah Ramadhan berlalu.
Kedua alasan di atas, membawa kita kepada alasan ketiga, yaitu ‘pasar’. Bahkan alasan ketiga ini tidak berlebihan jika dianggap sebagai alasan yang utama. Tidak dipungkiri, seorang produser tentu saja tidak akan membuat sebuah sinetron jika ia tidak melihat sisi profit dari sinetron tersebut. Oleh sebab itu, ia akan mengikuti gerak minat penonton dan dengan demikian ia bisa menjual sinetron yang ia jamin ditonton banyak orang. Hasilnya, ia akan terus mengikuti dinamika kecenderungan sinetron. Hal yang sama juga ia lakukan ketika atmosfir Ramadhan muncul dan menguat.
Pembaca yang dirahmati Allah, tidak dipungkiri bahwa kecenderungan baru sinetron di Indonesia ini memperlihatkan hal-hal positif. Cerita-cerita yang ditayangkan mengemas nilai-nilai kebaikan akhlak, kerukunan sesama manusia, hingga ajakan beribadah secara tekun, ajakan untuk meninggalkan hal yang sia-sia, tidak berguna, dan dilarang. Cerita-cerita demikian, dengan kemasan komedi yang menarik banyak penonton, tentu saja dapat menyalurkan nasihat-nasihat kepada semua penonton. Lebih lanjut, nasihat-nasihat yang disampaikan pun bisa diasumsikan efektif, karena banyaknya penonton. Artinya,sinetron diharapkan dapat membentuk karakter bangsa yang berakhlak, sopan, mulia, dan taat beragama.
Jika dikaitkan dengan pesantren, sinetron-sinetron yang melibatkan institusi pesantren juga bermanfaat untuk sosialisasi pesantren kepada seluruh masyarakat Indonesia. Di samping konten yang ditayangkan, baik berupa nilai maupun narasinya, penonton juga mendapatkan pengetahuan lebih mengenai pesantren, terutama sekali pesantren yang secara langsung dipromosikan. Memang pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia. Akan tetapi, tidak semua masyarakat melihat dan mengetahui bagaimana pesantren dari dalam. Bahkan, tidak jarang juga yang memiliki pemahaman yang salah. Sebagian masyarakat berpandangan bahwa pesantren adalah tempat penggodokan anak-anak yang nakal supaya menjadi baik dan patuh kepada orang tua daripada sebagai tempat pendidikan layaknya sekolah. Artinya, selain sebagai hiburan tentu saja, sinetron telah memberikan pengetahuan lebih kepada penonton mengenai pesantren dan Islam.
Pembaca yang budiman, perlu disadari bahwa bukan berarti sinetron yang melibatkan nuansa Islami dan pesantren ini tidak memiliki kelemahan. Segala sesuatu tentu saja memiliki nilai positif dan negatif. Disamping nilai positif di atas, ada beberapa nilai negatif yang harus kita sadari. Point negatif pertama berasal dari kegagalan sinetron mengungkap realitas secara objektif. Jika dikaitkan dengan pesantren, banyak hal dalam pesantren yang diselewengkan oleh pesantren, dan pada saat yang sama, sinetron memasukkan hal-hal luar ke dalam budaya pesantren. Beberapa adegan masih memperlihatkan persaingan cinta muda-mudi di pesantren, beberapa lainnya juga memperlihatkan keangkuhan, dan tidak jarang juga yang menggambarkan karakter santri yang nakal, namun kenakalannya digambarkan dengan budaya luar pesantren, bukan budaya pesantren. Jika Anda adalah seorang santri, maka Anda akan setuju, bahwa senakal-nakalnya seorang santriwati, tidak ada yang melakukan jogging di lingkungan pesantren dengan celana pendek di atas paha, tanpa kerudung, baju lumayan ngepas, rambut dikuncir satu, dan menggunakan handuk kecil di lehernya. Anda juga akan setuju, seberapa besar pun hoby seorang santri terhadap music jenis tertentu, tidak ada yang bergaya rocker dengan sepatu boots hitam, jeans robek di beberapa tempat, ikat pinggang besar, kaos rada lusuh, rompi hitam dengan tempelan sejumlah pin, dan berbicara lantang atau berteriak-teriak di lingkungan pesantren. Contoh kecil ini murni merupakan kebudayaan luar yang dipaksakan masuk ke dalam pesantren oleh sinetron. Dalam kasus ini, bukannya menyosialisasikan pesantren, sinetron justru merusak citra pesantren.
Selain perihal pencitraan sebagaimana di atas, kelemahan lainnya berkaitan dengan kedangkalan pesan yang disampaikan oleh sinetron tersebut. Pada banyak kasus, sinetron hanya menyentuh dimensi kulit dari ajaran Islam. Tidak jarang, dimensi kulit tersebut dianggap sebagai ajaran yang sesungguhnya dan dinilai sebagai kebenaran sejati. Pada akhirnya, fenomena semacam ini memperlihatkan pemahaman yang salah kaprah terhadap Islam. Permasalahan ini bermuara kepada sebuah pertanyaan yang sangat mendasar dan penting: apakah seorang ahli, atau ulama dalam pengertian yang sesungguhnya dilibatkan sebagai konsultan skenario sinetron tersebut? Mengapa ulama dalam pengertian yang sesungguhnya, karena belakangan, Ustaz/ah yang komersil marak bermunculan. Seorang yang memiliki pemahaman yang mendalam mengenai Islam, akan dengan mudah menemukan kekeliruan para penceramah tersebut dalam pengajiannya, baik dari segi teknis maupun isi.
Sebagai contoh, sinetron menggambarkan seseorang dengan berlebihan. Figur Islami digambarkan dengan pakaian, nada berbicara, dan karakter yang serba baik tanpa cela. Pada beberapa adegan, karakter sempurna tersebut digambarkan pasrah menerima kenyataan dengan ide tawakkal. Kenyataannya, tawakkal tidaklah sesederhana itu. Pada sisi lain, figur antagonis digambarkan dengan kesombongan tingkat tinggi, egoisme, pamrih, dan karakter yang serba buruk. Faktanya kehidupan dan ciri seorang yang Islami juga tidak sesederhana itu. Tidak menutup kemungkinan seorang yang menggunakan atribut-atribut ‘Islami’, berperawakan tenang, berbicara sopan, tidak lebih Islami daripada seorang yang gondrong, kasar, blak-blakan, bertampang sangar.
Contoh lainnya adalah ucapan salam. Banyak adegan sinetron yang menampilkan ucapan salam ketika bertemu dan menjelang berpisah. Ini adalah pilihan yang tepat, karena memang ucapan salah adalah salah satu ajaran Islam. Bermakna keselamatan, bernilai sebuah doa dan usaha untuk memberikan keselamatan dan kenyamanan kepada lawan bicara. Sayangnya, dalam banyak adegan, salam hanya dipahami sebagai ungkapan formal nir makna. Mengapa? Karena tidak jarang komunikasi yang tidak sehat lah yang diperlihatkan setelah salam tersebut. Komunikasi dengan keangkuhan, cacian, dan umpatan. Tentu saja ini adalah kesempitan dalam memahami konsep salam itu sendiri.
Kesimpulannya, secara sepintas, sinetron yang melibatkan unsure-unsur Islami memang terlihat baik dengan nilai-nilai nasihat yang disampaikannya. Akan tetapi, para pembaca juga harus bersifat kritis. Banyak hal yang disampaikan sinetron justru menciptakan citra yang merusak Islam dan Pesantren. Pada banyak kasus, ajaran yang disampaikan juga berasal dari pemahaman yang sempit terhadap ajaran Islam.[]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls