Jumat, 17 Juni 2011

DUO MAUT CSS MoRA & MAJALAH SANTRI

Oleh: Aiu Sartika Hiasyah_SANTRI UGM

Memahami pesantren seperti memasuki sebuah dunia yang begitu asing bagi masyarakat umum. Tak banyak yang paham betul mengenai apa dan bagaimana lika-liku pesantren yang sebenarnya, kecuali mereka yang berasal golongan santri ¬¬atau berlatar belakang keluarga pondok pesantren. Bahkan saat ini, pandangan miring tentang pendidikan madrasah pesantren tetap saja bergulir di masyarakat. Terlebih, setelah isu-isu terorisme di-blow up habis-habisan oleh media yang menuding pesantren sebagai akarnya.
Ya. Pasca terjeratnya pimpinan pondok pesantren di Ngruki karena kasus terorisme, KH. Abu Bakar Ba’asyir, nama pesantren sedikit demi sedikit mulai dipertanyakan. Beberapa nama institusi pesantren di Indonesia bahkan dituding sebagai “sarang” teroris sekaligus dijadikan lokasi pembibitan teroris kelas kakap. Ini jelas mengotori nama baik pendidikan Islam di Indonesia yang telah bertahan selama ratusan tahun.
Bukan hanya institusinya, nama baik para alumnus pondok pesantren pun dipertaruhkan. Terlepas dari isu terorisme, identitas santri saat ini masih dinilai rendah. Tidak gaul, norak, terlalu “alim” dalam konteks negatif, dan banyak istilah lainnya. Itulah mengapa beberapa santri yang tak kuat nyali rela melepas atribut pesantren dari dirinya dan tidak mengakui identitas santri yang disandangnya. Ya, ini benar-benar terjadi di negeri kita. Diferensiasi sosial masih terlalu kuat untuk membuat masyarakat umum yang belum mengenal pesantren lebih dalam, telah lebih dulu men-judge pendidikan Islam tertua di Indonesia ini dengan konotasi buruk.
Padahal, tak semua pesantren itu bersifat tradisional dan hanya belajar agama. Ada sangat banyak pesantren yang didirikan berbasis Islam Indonesia modern, dengan sistem pendidikan terpadu madrasah Islamiyah dengan pendidikan umum. Seluruh santri dididik dalam suasana yang kompleks, lengkap, terstruktur, dan disiplin.
Tak banyak yang tahu dan memahami kondisi pesantren yang sebenarnya. Itulah mengapa sebuah media sebagai pengantar pesan kepada khalayak sangat dibutuhkan untuk memberi informasi sekaligus mengedukasi publik. Bukan untuk membesar-besarkan fenomena tertentu tanpa adanya verifikasi terlebih dahulu. Pergeseran nilai dalam idustri media inilah yang perlu diperhatikan oleh seluruh lapisan masyarakat, karena media kini mampu mengontrol masyarakat dan membuat agenda setting kepada masyarakat tanpa disadari.
CSS MoRA dan Tabloid Santri, adalah duo paling serasi yang mengemban misi kebenaran tentang seluk beluk pesantren. CSS MoRA sebagai komunitas santri yang disebar di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia telah menjadi representasi sosok santri sekaligus pribadi Islam yang baik di universitas masing-masing. Para santri tersebut akan menunjukkan seperti apa pendidikan pesantren mencetak kader Islam yang terbuka, multi-skilled, dan yang penting—bukan teroris.
Sedangkan Tabloid Santri, selain menjadi arena belajar bagi para mahasiswa santri untuk menuangkan aspirasi dalam bentuk tulisan, juga merupakan media komunitas yang menjadi wadah aspirasi serta opini santri dalam menyikapi isu-isu tertentu, khususnya isu pesantren. Pesan-pesan yang disampaikan tentu akan menjadi jalan dalam mewujudkan misi kebanaran, amar makruf nahi munkar. Harus disadari, bahwa kekuatan media sangat besar dalam mengontrol opini publik. Kesempatan ini harus benar-benar dimanfaatkan oleh kita, para santri untuk menyatakan diri kepada masyarakat yang lebih luas siapa santri yang sebenarnya.
Itulah mengapa menurut saya, target audience dan target pembaca tabloid Santri akan lebih baik jika diperbesar cakupannya. Tujuannya adalah untuk membuka tabir kebenaran sejati tentang dunia pesantren yang selama ini belum dipahami secara realistis oleh publik. Jika manajemen dan redaksi Tabloid Santri bisa di organisir untuk menjadi bacaan berskala nasional, bukan tidak mungkin harapan kita bersama bisa terwujud. Tak perlu tergesa-gesa, ini memang akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Perbaikan writing-skill, memperluas wawasan media, dan membangun team-work ditengah kesibukan mahasiswa, memang akan membutuhkan waktu. Seperti kata band Kotak, “pelan-pelan saja.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls