Minggu, 05 Februari 2012

WAHID HASYIM: DARI KYAI, TOKOH KEMERDEKAAN SAMPAI HUMANIS MUSLIM



“...seandainya Wahid Hasyim dikaruniai usia yang lebih panjang, tidak mustahil...?” (Masyhuri, 2008:48)


Jika anda bertanya, apakah pesantren mempunyai kontribusi kongkret terhadap kemerdekaan Indonesia? Tentu tidak ada yang menolak bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan dan basis pendidikan masyarakat Indonesia khususnya umat Muslim mempunyai kontribusi. Namun jika ditanya siapakah tokoh dari pesantren yang mempunyai kontribusi tersebut, jawabannya adalah Wahid Hasyim.
Ya, Wahid Hasyimlah satu-satunya dari pihak Islam – dalam hal ini pesantren – yang menjadi Panitia Sembilan yang bertanggung jawab atas perubahan sila pertama Pancasila, dari “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana ditegaskan oleh Bung Hatta pada 18 Agustus 1945. Wahid Hasyim pun menjadi salah satu dari enam puluh anggota BPUPKI (Moesa, 2007, 119-121). Disinilah nilai lebih seorang Wahid Hasyim yang mampu menjembatai Islam dengan Indonesia.

Lalu, dua bulan yang lalu, 1 abad kelahirannya baru saja diperingati (dari perhitungan tahun Hijriyah) oleh pihak keluarga dan berbagai lembaga terkait. Apalagi dalam acara tersebut diselenggarakan seminar dan karya tulis ilmiah tentang pemikiran dan kontribusinya terhadap Islam maupun Indonesia. Pernyataan yang penulis cantumkan pada ‘kalimat awal’ yang dikutip dari Masyhuri dan fakta diatas setidaknya mampu mengantarkan betapa pentingnya tokoh tersebut untuk dibahas dan diwacanakan kembali untuk kebaikan pesantren.
Kalimat tersebut setidaknya mengisyaratkan sebuah harapan atas kontribusi dan perannya sebagai seorang kyai sekaligus nasionalis. Namun yang sangat disayangkan, masyarakat Indonesia tidak bisa melihat lebih jauh jangkauan intelektualitas dan gerakannya, karena umurnya yang sangat singkat. Akan tetapi, dengan umurnya yang pendek ini, ia telah mencapai berbagai posisi penting dan kontribusi yang luar biasa bagi pesantren, Islam dan Indonesia, yang mungkin tidak bisa dicapai oleh orang seusianya.
Tulisan ini mencoba melihat peran serta pemikiran beliau khususnya terkait dengan humanisme Wahid Hasyim yang penulis akan coba kontekstualisasikan dengan pendidikan pesantren.

Wahid Hasyim, Seorang Kyai ‘Plus’
Ia merupakan anak kelima dari KH Hasyim Asy’ari. Sebagai keuturunan NU, ia tidak bertaklid ketika ia masuk dalam golongan ayahnya itu. Setidaknya ada tiga pertimbangan pokok yang dijadikan alasan oleh Wahid Hasyim kenapa dia memilih NU pada tahun 1938, yang kemudian ia tulis dalam bentuk opini, Mengapa Saya Memilih NU’; 1) keradikalan NU, 2) kuantitas, dan 3) mentalitas (Rifa’i, 2008: 34), yang menurutnya inilah aspek yang paling penting yang dimiliki oleh NU. Fakta ini tentunya memperlihatkan dirinya sebagai santri yang kritis terhadap sebuah femonena, walaupun tentunya ada dampak psikologi keturunan dan kedekatan dengan NU sendiri.
Adapun pada konteks keorganisasian, sudah seharusnya NU berterima kasih pada Wahid Hasyim, karena ketika ia menjadi ketua dari dua organisasi nasional – NU dan Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) pada usia 26 tahun – ia mampu membawanya ke pentas nasional dan perpolitikan. Walaupun, MIAI akhirnya dibubarkan dan dibentuk organisai baru dengan nama Masyumi oleh Jepang pada tahun 1943 (Fealy, 2009: 49-52). 
Puncak keulamaan dan nasionalisme Wahid Hasyim semakin ketara ketika ia dipilih menjadi Menteri Negara sebanyak dua kali, yaitu di zaman kabinet pertama (kabinet Soekarno) ada September 1945, dan kedua di zaman kabinet Syahrir III pada tahun 1946 (Abu Bakara, 1957: 176). Namun ketika ia menjadi Menteri Agama, Wahid Hasyim merasakan tiga periode; pertama, dimulai pada Desember 1949 – September 1950, kedua, Kabinet Natsir September 1950-1951, dan terakhir, kabinet Sukiman April 1951 sampai April 1952.
Fakta ini tentunya tidak ingin mendeskriditkan karaktersitik seorang kyai yang melulu ada dan menjadi pengayom di pesantren. Inilah sebenarnya keseimbangan dari Wahid Hasyim. Dalam ranah pendidikan pesantren, ia mencoba merekonstruksi sistem pendidikan yang hanya bermetodekan sorogan, wetonan, dan bandongan. Dalam pandanganya, hal ini harus segera dirubah dengan diterapkannya sistem madrasah atau klasikal yang memadukan unsur ilmu agama dan ilmu umum di pesantren. Hal ini tentunya tawaran baru bagi pesantren salafi, walaupun memang pada 1915 atau sebelumnya, Ahmad Dahlan telah melakukannya. Dari sekian fakta seorang Wahid Hasyim tersebut, inilah alasan penulis menyebutnya sebagai kyai ‘plus’.

Paradigma Humanisme Wahid Hasyim
Dilihat dari biografi singkat diatas, kita akan melihat bahwa Wahid Hasyim mempunyai ‘tempat’ di segala aspek, dari tingkat pesantren sampai Nasional. Hal ini tentunya dibarengi oleh Wahid Hasyim dengan pemikiran-pemikirannya yang brilian, baik itu berupa tulisan maupun khutbahnya. Secara umum – disini penulis hanya melampirkan hasil pemikiran inti Wahid Hasyim –, penulis mengkategorikan pemikiran Wahid Hasyim dalam tiga kelompok yang mencakup tema tentang agama, pendidikan dan perjuangan umat Islam. Pada tema pertama, Wahid Hasyim diantaranya menulis tentang “Nabi Muhamad dan Persaudaraan Manusia”, “Kebangkitan dan Dunia Islam”, dan “Beragamalah dengan Sunguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan”. Pada tema kedua,  karyanya berceritakan tentang “Abdullah Ubaid sebagai Pendidik”, “Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa”, dan ketiga “Pendidikan Ketuhanan”. Sedangkan tema ketiga, perjuangan Islam,  Wahid Hasyim menulis tentang “Fanatisme dan Fanatisme” dalam Gempita, tahun ke-1, No. 1, 15 Maret 1955), kedua, “Kedudukan Ulama dalam Masyarakat Islam di Indonesia”, dan ketiga, “Umat Islam Indonesia menunggu Ajalnya, Tetapi Pemimpin-Pemimpinya Tidak Adil” (ditulis dengan nama “Makmum Bingung” pada 22 Desember 1951).
Dari karya-karya tersebut penulis hanya hanya akan memperkenalkan tiga dari karya tersebut,  yang itu mewakili setiap temanya untuk melacak paradigma humanisme-nya Wahid Hasyim. Pada tema agama penulis akan menelaah tentang “Kebangkitan dan Dunia Islam”, tema kedua tentang “Pendidikan Ketuhanan” dan tema ketiga tentang “Umat Islam Menuju Ajalnya, Tetapi Pemimpin-Pemimpinnya Tidak Tahu”.
Adapun yang dimaksud dengan humanisme itu sendiri bukan sebagaimana yang dimaksudkan oleh barat sebagai sistem yang memujakan manusia sebagai inti dari perbadaban. Akan tetapi – sebagaimana yang dikatakan oleh Kuntowijoyo – adalah upaya untuk memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. (Kuntowijoyo: 2001, 364-365). Walaupun memang Wahid Hasyim tidak mempunyai konsep seperti Kuntowijoyo, tetapi pada dasarnya Wahid Hasyim sebagai manusia tentu memiliki nilai-nilai yang sebagaimana dikatakan oleh Kuntowijoyo yang itu berdialektika sendiri dengan konteks hidup nya yang akhirnya merepresentasikan kode atau sikapnya – sebagaimana yang diaktakan oleh Marx – terhadap lingkungannya.
Pertama, tulisan Wahid Hasyim tentang “Kebangkitan dan Dunia Islam” memperlihatkan dirinya yang eksklusif dan agamis. Pandangannya terhadap agama, dia memulai dengan mengutip sabda nabi, “Tidak terdapat agama bagi seorang yang tidak berakal”. Wahid Haysim dengan pengutipannya ingin mengatakan bahwa ‘nalar’ dalam konteks keislaman sangatlah diperlukan. Dia pun merasionalkannnya dengan perang Badar masa Rasulullah saw (Rifai, 2008:95), yang menurutnya kemenangan itu tiada lain, selain wahyu adalah karena mereka menggunakan nalar.
Penguatan ‘nalar’ dalam Islam sebenarnya ingin menguatkan argumentasi Wahid Hasyim agar umat Islam bangkit dan tidak hanya berkutat pada persoalan bagaimana rajin ibadahnya, tetapi harus dengan menguatkan posisinya. Yang tentunya penguasaan nalar menjadi hal yang penting. Disini ‘penguasaan nalar’ bukan berarti mgnhilangkan doa atau ibadah, tetapi menyinambungkan nalar dengan ibadah ke doa. Inilah yang menjadi kunci artikelnya berjudul “Kebangkitan Dunia Islam”.
Lah, jika melihat konteks yang sangat luas, umat Islam secara keseluruhan khususnya dunia timur yang disebut oleh Barat sebagai orient (Abdullah Saeed, 2008: 98), memang masih belum berkembang. Lihat saja, tolak ukur modernisme Islam saja terlambat dari periode modernisme di Barat. Modernisme Islam menurut berbagai pakar sejarah yaitu disaat terjadinya penjajahan oleh Francis yang dipimpin oleh Napoleon terhadap bangsa Mesir (Atang, 1999: 147).Dus, dari keterangan tambah ini, sekarang kita bisa melihat keluasan pemikiran Wahid Hasyim, yang bukan hanya tentang keindonesiaan saja.
Adapun tulisannya tentang “Pendidikan Ketuhanan” nampaknya Wahid Hasyim mempunyai tujuan yang sama dengan Kuntowijoyo, penggagas Ilmu Sosial Profetik. Bagaimana tidak, tujuan dari pernyataan Wahid Hasyim tentang ‘Pendidikan Ketuhanan’, yang ia ungkapkan pada konferensi pendidikan agama pada tahun 1950 di Yogyakarta (Rifa’i, 2008:121) adalah membangun sebuah negara atau perjuangan kemerdekaan Indonesia berdasarkan nilai ketuhanan. Menurut Wahid Hasyim, nilai-nilai ketuhanan perlu ditanamkan sebagai nilai perjuangan pendidikatan atau ruh pendidikan itu agar semangat pendidikan tidak menjadi semangat materilasi, tetapi bernilai bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih mulia dan bermartabat.
Jika ada alasan yang harus dikemukakan kenapa ia mimilih ‘Pendidikan Ketuhanan’ sebagai basis pendidikan bagi bangsa Indonesia, selain dari nilai ketuhanan itu sendiri? Nilai ketuhanan tentunya tidak akan bertentangan dengan nilai dasar kemanusiaan. Inilah sebenarnya mengapa humanisme yang digagas oleh Kuntowijoyo bertitik tolak pada transendental. Artinya, dalam pandangan Wahid Hasyim, nilai kemanusiaan dengan kemajuan bangsa terletak dari manifestasi nilai ketuhanan yang tidak mungkin bertentangan dengan nilai kemanusiaan, yang menghindari perbudakan manusia pada apa pun, selain pada Tuhan.
Pemikirannya tentang Islam yang bertemakan “Umat Islam Menuju Ajalnya, Tetapi Pemimpin-Pemimpinnya Tidak Tahu” mencoba mengkritik para tokoh, khusunya pemimpin Indonesia, yang membawa Indonesia kepada kecenderungan mereka masing-masing, yaitu Agama Kristen dan Suku Jawa. Adapun peristiwa yang melatarbelakanginya adalah Konferensi Profesor-Profesor Kristen Seluruh Asia Tenggara di Priangan dan Peletakkan Batu Pertama Gedung Universitas Gadjah Mada (Rifai, 2008: 114).
Ia bukan ingin membela Islam, agar Indonesia menjadi negara Islam, namun karena ia peduli terhadap Indonesia yang multikultural dengan mengatasnamakan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang mendorongnya untuk mengkritik para pemimpin yang diam atas kejadian ini. Menurut Mashyuri, dalam menilai artikel tersebut ada hal mendasar yang dikemukakan oleh Wahid Hasyim dan itu harusnya menajdi penlaian kita terhadap Wahid Hasyim; Pertama, Ia memiliki jiwa toleransi yang tinggi terhadap paham dan bersikap proporsional dalam menyikap persoalan yang dihadapi. Kedua, besarnya kepedulian Wahid Hasyim terhadap peningkatan kualitas hidup umat Islam. Ketiga, sikap kritisnya tak pernah padam meskipun menyangkut umat Islam.
Dari tiga pemikiran singkat ini, setidaknya penulis mendapatkan tiga konsep humanisme Wahid Hasyim, yaitu 1) rasionalitas pemikiran pada tulisannya tentang “Kebangkitan dan Dunia Islam”, 2) transendensi – yaitu kembali kepada konsep ketuhanan – pada tulisan kedua dan 3) toleransi pada tulisan ketiga. Ketiga paradigma humanistik ini tentunya menggambarkan kepribadian Wahid Hasyim yang rasionalis, eksklusif juga inklusif, dalam memahami problematika pendidikan, kebangsaan dan keislaman.

“Tokoh Pesantren” bukan hanya “Tokoh Kitab Kuning”
Dari peran, aktivitas sampai pada karya sang fenomena ini, Wahid Hasyim, bahwa ternyata seorang kyai pesantren mampu membaca situasi politik dan masalah kebangsaan yang terjadi di Indonesia pada konteks dimana ia hidup. Namun dengan fakta ini, bukan berarti santri harus menjadi politikus ataupun negarawan sebagaimana salah satu anak Wahid Hasyim, Abdurrahman Wahid, tetapi santri harus melihat secara ‘global’ bahwa ada peran lain di balik bilik-bilik pesantren yang tidak hanya terbatas menjadi tokoh kitab kuning saja.
Akan tetapi harapan diatas tentunya hanya akan menjadi ‘wacana’ saja bila tidak dibarengi dengan keingingan dan kemapanan pendidikan pesantren sendiri. Orientasi ‘pendidikan ketuhanan’ versi Wahid Hasyim tentunya bisa dijadikan salah satu konsep pendidikan pesantren. Pendidikan ketuhanan ala Wahid Hasyim tentunya tidak mengikat dan membatasi orientasi pendidikan pada aspek keagamaan saja, karena hal ini tentunya mendeskriditkan kemahakuasaan Tuhan. Akan tetapi dengan konsep pendidikan ini, pesantren dituntut mampu melihat manusia sebagai manusia dengan didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, yang hal ini pun harus didorong dengan rasionalitas pemikiran agama, sebagaimana yang dinyatakan oleh Wahid Hasyim, bukan hanya pemahaman teks  semata secara literal. Dengan hal ini, kiranya, ‘tokoh pesantren’ tentu tidak hanya akan diidentikan dengan ‘tokoh kitab kuning’ sebagaimana Wahid Hasyim dan anaknya, Abdurrahman Wahid.
Namun orientasi ini pun tidak dengan sendirinya menghilangkan keunikan pesantren yang kental dengan kitab kuningnya, karena reorientasi bukan berarti meruntuhkan, tetapi lebih menitikberatkan pada upaya perbaikan atau ‘pelebaran sayap’ pesantren agar menjadi tumpuan pendidikan Islam dan umumnya Indonesia. Maka, kiranya Wahid Hasyim dengan segudang karya dan kontribusnya telah membuka mata masyarakat muslim Indonesia akan pentinganya perubahan orientasi pendidikan pesantren ini, yang tidak hanya menjadikan santri menjadi tokoh kitab kuning belaka, tetapi mampu menjadi harapan bagi agama, bangsa, dan negara.
                                                                                    Wallahu a’lam bi al-Shawab.
 Oleh Aramdhan Kodrat Permana*
*Anggota PBSB UIN SUNAN Kalijaga Yogyakarata Angkatan 2008

1 komentar:

vanjacques mengatakan...

How to get to Harrah's Casino in Atlantic City by Bus or Train
The cheapest way to get from Harrah's Casino in Atlantic City by 당진 출장안마 Bus 군포 출장마사지 or Train takes just 3 mins. Find 안양 출장마사지 the 보령 출장마사지 travel option that suits you 안성 출장마사지 best.

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls