Jumat, 17 Juni 2011

SAATNYA MENULIS DI PESANTREN

Oleh: Wahyu Dewi Iftita_SANTRI ITS

Ketika mendengar kata jurnalistik maka yang tergambar pada benak kita adalah tulisan, mesin tik, buku atau pun majalah, tak ayal si kuli tinta pun juga menjadi sasaran dari benak ini. Memang jurnaslitik merupakan dunia yang sangat menarik untuk diselami. Menulis merupakan media kita untuk mengungkapkan ekspresi, mengikat ilmu dan saksi perkara. Produk menulis akan lebih bertahan lama dibandingkan produk lisan. Tulisan mampu bertahan hingga beberapa generasi selanjutnya berbeda dengan pidato atau opini-opini yang akan meninggalkan auranya beberapa saat setelah opini tersebut tersampaikan. Lihat saja, manakah yg lebih meninggalkan jejak tulisan-tulisan Bung Hatta atau orator-orato Bung Karno. Pesantren merupakan dunia yang sebenarnya sangat dekat dengan dunia tulis-menulis. Betapa tidak, coba bila tengok tulisan (red: kitab) apa saja yang terdapat di dalamnya. Al Qur’an kitab suci umat Islam selalu bersanding dan tak pernah luput untuk dikaji ataupun untuk dibaca tiap harinya. Begitu pula dengan kitab kuning, kitab klasik yang tak kalah keilmiahannya dengan buku-buku jaman modern saat ini. Kitab kuning ini menjadi santapan sehari-hari para santri. Santri yang konon berassl dari kata sastri yang artinya melek huruf(Jw), jika dimakanai lebih mendalam paling tidak seorang santri mampu membaca Al Qur’an yang dengan sendirinya akan membawa satri untuk lebih bersikap serus dalam memandang agama. Sejak masa kerajaan Demak, santri telah dikenal sebagai kaum lyterari dikarenakan penguasaan ilmu pengetahuan agama mereke melalui kitab-kitab kuning. Jika kita mau berbangga sebenaranya santri merupakan sososk yang luar biasa hebat. Bukan hanya sekedar siswa yang belajar di rumah guru atau lembaga sejenis boarding school melainkan juga warisan budaya sejak masa penyebaran agama Islam. Banyak para wali dan ulama yang mendirikan pondok pesantren sebagai sarana untuk memudahkan penyebaran agama Islam. Pesantren tak luput dari alternatif untuk menghindari masuknya kebudayaan kaum Kompeni serta tempat untuk menambah ilmu pengetahuan umat muslim yang pada masa itu segala jenis perguruan formal dikuasai oleh Kompeni. Strategi yang diambil salah satunya adalah dengan mendirikan pesantren yang jauh dari keramaian sehingga gerakannya tak tecium Kompeni. Begitu kayanya pesantren dengan kisah dan sejarah sehingga sudah selayaknya pesantren pun kaya dengan jurnalisnya. Namun, perkembangan dunia jurnalis masih belum merambah ke pesantren secara keseluruhan. Padahal santri begitu dekat dengan literatur klasik yang nilai keilmiahannya masih sering digunakan untuk rujukan berbagai permasalahan kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pesantrennya yang kurang memfasilitasi atau santrinya yang kurang berani? Pertanyaan ini tentunya akan mendapat jawaban yang berbeda sesuai dengan asal pesantren masing-masing. Sebagai mahasiswa PBSB (Penerima Beasiswa Santri Berprestasi) yang natinya akan kembali ke pesantren tentunya keadaan kepenulisan di pesantren menjadi salah satu sasaran yang layak untuk mendapat perhatian. Gebrakan apa yang harus dilakukan tentunya sudah harus mulai diancang-ancang mulai sekarang. Langkah awal setidaknya layak dilakukan adalah dengan melatih siri sendiri untuk menulis. Majalah SANTRI mampu menjadi salah satu dari sekian alternatif dalam latihan tersebut. Diharapkan dari latihan tersebut akan lahir penulis-penulis luar biasa sehingga sekembalinya ia ke pesantren ia mampu mengembangkan dunia jurnalistik di pesantren asalnya. Mungkin cukup berlebihan jika dikatakan awaa bahwa majalah SANTRI merupakan awal perkambangn dunia kepenulisan. Lebih lanjut, selain menjadi media kominikasi CSS MORA juga akan menjadi contoh majalah yang cocok untukdunia pesantren. Menjadi santapan lezat yang penuh gizi dengan komposisinya yang berkomitmen penuh untuk penguatan akademis dan prestasi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls