Jumat, 17 Juni 2011

“SANTRI” SEBAGAI WADAH SANTRI BERJURNALISTIK

Oleh: Nadia Tahsinia_SANTRI UIN SYAHID

Satu kata bernama tulisan akan mendukung berkembangnya sebuah inovasi. Sebuah teori pernah mengungkapkan bahwa salah satu cara yang jitu untuk menampakkan eksistensi diri adalah tulisan. Dengan tulisan, manusia mampu berkomunikasi dan menyampaikan berbagai informasi. Terlebih seiring dengan berkembangnya inovasi, kebutuhan akan dunia tulis menulis pun semakin meningkat. Inovasi tersebut tidak akan diterapkan bahkan dikenal jika tidak ada difusi dan pemublikasiannya. Sehingga kini dunia ini tidak hanya milik mereka yang berprofesi sebagai pemburu berita, atau pun mereka yang bekerja di media. Siapa pun dituntut untuk bisa berkecimpung di dalamnya, tanpa memandang usia, latar belakang pendidikan, agama, maupun budaya. Bahkan, dewasa ini jurnalisme sudah mulai digandrungi oleh remaja, terutama santri.
Kemampuan di bidang jurnalistik kiranya adalah suatu potensi yang harus senantiasa menjadi perhatian dalam proses pendidikan di pesantren. Budaya bertutur dalam bahasa lisan maupun tulisan merupakan budaya turun menurun yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan pesantren. Banyak penulis dan praktisi sastra yang muncul dari dunia pesantren, seperti Cak Nun, Emha Ainun Najib, Gus Dur, Jamaldi Rahman, dan penulis-penulis terbaik lainnya. Bahkan penulis legendaris W.S. Rendra pun sangat akrab dengan dunia pesantren. Selain itu, dari segi keilmuan pun pada dasarnya santri memiliki keilmuan yang lebih dibandingkan dengan yang lain. Adanya integrasi ilmu agama dan ilmu umum menjadi nilai lebih bagi pesantren. Sehingga meningkatnya keintelektualan santri akan dibarengi pula dengan meningkatnya akhlak dan moralnya.

MAJALAH SANTRI SEBAGAI MEDIA PENGAMALAN ILMU DAN DAKWAH

Oleh: Dzaki Ahmada_SANTRI UNRAM

Santri merupakan sebagai sebuah gelar bagi para pelajar yang menuntut ilmu di sebuah pesantren ataupun pemondokan yang diasuh oleh seorang murabi atau yang biasanya disebut kyai. Di pesantren, seorang santri diberi bimbingan pengajaran agama islam sepenuhnya, yang diharapkan agar nantinya ilmu agama yang didapatkan bias diamalkan untuk dirinya sendiri ataupun untuk masyarakat tempat dia mengabdikan dirinya nantinya. Pengamalan ilmu yang didapat dari pesantren dapat berupa sebuah dakwah secara langsung melalui majlis-majlis pengajian, ataupun dapat pula berada di madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah. Pengamalan ilmu memang sangat dianjurkan dalam islam. Karena bila seorang santri mempunyai ilmu namun tidak diamalkan, maka ilmu yang dimiliknya menjadi sia-sia dan tidak bermanfaat, bagaikan sebuah pohon yang tidak berbuah, seperti yang dikatakan oleh sebuah mahfudzat arab,
العلم بلا عمل كالشجربلا ثمر
Artinya: Ilmu tanpa diamalkan, seperti pohon tanpa buah.

CATATAN SEORANG SANTRI MENGENAI JURNALISTIK

Oleh: M. Ainun Najib Ali_SANTRI UNAIR

Cerdas dan apa adanya. Begitulah kiranya saya menggambarkan istilah jurnalistik. Tentu, dua kata tersebut tidak cukup lengkap untuk menggambarkan kata jurnalistik. Karena jurnalistik sangatlah luas. Mendunia bahkan. Cukuplah dua kata tadi mewakili.

Dunia jurnalistik. Dunia pemberitaan. Dunia pencatatan, pelaporan dan penyiaran. Begitulah saya mengartikan secara sederhana, menurut bahasa saya, istilah jurnalistik. Mengubah peradaban manusia purba (yang tidak tahu apa-apa) menjadi manusia modern (yang tahu akan segala hal disekitarnya). Nanti, anda akan mengetahui bahwa manfaat dari “pekerjaan” jurnalistik ini begitu besar bagi peradaban manusia. Seseorang tidak mungkin bisa hidup sendiri, tanpa perlu “makan” informasi/berita/pengetahuan. Seseorang juga tidak mungkin bisa hidup, tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Bisa-bisa dia menjadi satu-satunya manusia purba ditengah peradaban manusia modern saat ini.

SAATNYA SANTRI UNJUK GIGI

Oleh: Nahdiyatul Ummah_SANTRI UNAIR

“Santri. Ketika mendengar satu kata ini, yang akan segera muncul dalam benak seseorang adalah manusia yang sarat dengan kultur kesantrian, religius, dan tradisional. Padahal santri juga merupakan bagian dari intelektualitas. Bagaimanakah mengarahkan pandangan yang begitu mengakar ini?”



Dunia intelektualitas menganggap bahwa orang yang intelek akan terlihat dari bagaimana dia menghasilkan karya-karya, produktif, dan aktif, baik dalam karya-karya ilmiah maupun karya-karya non ilmiah. Salah satunya adalah karya berupa tulisan. Tengoklah para Ulama’ dan Ilmuan (dalam perspektif barat dan timur) terdahulu yang banyak menghasilkan banyak kitab dan buku hingga mampu mentransfer ilmu pada generasi-generasi jauh sesudahnya, hingga sekarang, bahkan hingga masa yang akan datang. Bagaimanakah ilmu bisa sampai pada manusia di dunia tanpa mengenal ruang dan waktu jika ilmu itu tidak ditulis oleh yang punya ilmu? Bagaimanakah manusia bisa mengetahui apa-apa yang tidak ia ketahui pada masa lampau jika tidak ada yang memberitahukan kepadanya? Dampak ini begitu besar pengaruhnya terhadap dunia tentu saja, hanya dengan ‘bayangkan bahwa’ orang-orang yang punya ilmu tadi, pada masa yang lalu, tidak menuliskan ilmunya. Benar bahwa ilmu akan dicabut dari dunia dengan mencabut nyawa orang yang punya ilmu.

JURNALISTIK, PESANTREN , DAN MAJALAH SANTRI

Oleh: Khairil Juhdi Siregar_SANTRI ITS

Dunia Jurnalis telah ada semenjak zaman penjajahan di tanah air kita ini. Menurut sejarah koran pertama yang terbit di Indonesia adalah Sinar Indonesia. Namun, sejarawan telah sepakat bahwa koran pertama terbit adalah di Suamtera Utara. Biarlah sejarah yang mengungkap mana yang benar diantara keduanya. Yang terpenting adalah apakah fungsi dari dunia jurnalistik telah memberi hal positif bagi negara dan seisinya?

Zaman orde Baru adalah masa yang kelam bagi dunia jurnalistik di negeri ini. Baik itu yang berbau berita, hiburan, maupun pendidikan semuanya harus dalam 'pantauan pemerintah'. Tidak ada yang lepas dari seleksi- seleksi yang diajukan oleh pemerintah, semua berita, hiburan, dan pendidikan harus menyanjung pemerintahan masa itu. Bukan rahasia umum lagi, yang berani menantang pemerintah-dari semua lapisan masyarakat- maka harus ikhlas dengan takdir sang istri akan menjadi janda dan sang anak akan menjadi yatim.

"Catatan seorang jurnalis", bagitulah orang menyebut mereka yang berkecimpung di dunia tulisan ini. Banyak perubahan yang telah mereka catatkan di negeri ini maupun di dunia ini. Dari tangan-tangan merekalah ummat manusia bisa mengetahui perkembangan negaranya. Dari goresan tinta merekalah para punggawa negeri gemetar dengan apa yang diberitakan akan dirinya. Dan dari lambaian jari yang lembut dalam menulis membuat pecintanya mengagumi apa yang akan diterbitkan.

MUTIARA JURNALISME DI BALIK PESANTREN

Oleh: Ahmad Luthfi Maghfurin_SANTRI IAIN SUNAN AMPEL

Santri adalah gambaran seseorang yang digembleng dalam penjara suci (pesantren), di dalamnya mereka selalu menimba ilmu, mengasah diri, budi pekerti dan tak mengenal menyerah walaupun dengan segala keterbatasan dalam meraih cita-cita, jadi laiknya seorang santri yang ideal semestinya menanam harapan tinggi dalam meraih setiap mimpi. Makan seadanya, minumpun air wudhu sebagai pengganjal laparnya dikala bekal mondok sedang menipis, tak pelak puasa-pun menjadi kawan terindah untuk bersabar menghadapi terpaan badai cobaan dalam mengarungi samudera keilmuan di dunia pesantren, itulah gambaran singkat tentang seoarang santri. Tradisi membaca, menelaah, dan berdiskusi (musyawarah) yang lazim dipelihara kalangan santri di pondok pesantren, adalah bekal yang sangat baik untuk menjadi penulis handal, karena tradisi itu menjadi prasyarat untuk menulis. Butuh keberanian dan keteguhan untuk menghadirkan kembali ragam karya tulis santri yang inspiratif dan bermanfaat bagi khalayak. Sejarah yang hadir saat ini, sebenarnya akan berlalu begitu saja tanpa hadirnya karya tulis para santri pendahulu. Menulis adalah sesuatu yang bisa dilatih, seperti halnya bermain sepak bola atau menyanyi. Hanya mereka yang tekun berlatih yang akan melewati kendala seperti diungkap banyak orang, bahwa menulis itu sulit. 

SAATNYA MENULIS DI PESANTREN

Oleh: Wahyu Dewi Iftita_SANTRI ITS

Ketika mendengar kata jurnalistik maka yang tergambar pada benak kita adalah tulisan, mesin tik, buku atau pun majalah, tak ayal si kuli tinta pun juga menjadi sasaran dari benak ini. Memang jurnaslitik merupakan dunia yang sangat menarik untuk diselami. Menulis merupakan media kita untuk mengungkapkan ekspresi, mengikat ilmu dan saksi perkara. Produk menulis akan lebih bertahan lama dibandingkan produk lisan. Tulisan mampu bertahan hingga beberapa generasi selanjutnya berbeda dengan pidato atau opini-opini yang akan meninggalkan auranya beberapa saat setelah opini tersebut tersampaikan. Lihat saja, manakah yg lebih meninggalkan jejak tulisan-tulisan Bung Hatta atau orator-orato Bung Karno. Pesantren merupakan dunia yang sebenarnya sangat dekat dengan dunia tulis-menulis. Betapa tidak, coba bila tengok tulisan (red: kitab) apa saja yang terdapat di dalamnya. Al Qur’an kitab suci umat Islam selalu bersanding dan tak pernah luput untuk dikaji ataupun untuk dibaca tiap harinya. Begitu pula dengan kitab kuning, kitab klasik yang tak kalah keilmiahannya dengan buku-buku jaman modern saat ini.

MENGGAGAS JURNALISME SEBAGAI BUDAYA PESANTREN

Oleh: Siti Khoirotul Ula_SANTRI IAIN SUNAN AMPEL

Sekilas, berbicara tentang Jurnalisme, yang tergambar di benak kita adalah berita, koran, majalah, media informasi elektronik seperti televisi, radio dan sebagainya. Sering juga kita menyebutnya dengan bahasa yang lebih ringkas, yaitu pers. Seolah jurnalisme atau pers adalah hak mutlak para wartawan, reporter dan kongkow-kongkownya. Tidak bisa dipungkiri, bahwa dunia jurnalisme memang sarat dengan idealisme, kritik bahkan pemberitaan akan hal-hal yang notabene membuka aib orang lain. Meskipun begitu, sudah menjadi rahasia umum juga jurnalisme atau pers selalu berkaitan dengan kepentingan-kepentingan politik.
Lantas, bagaimana jika pesantren menjadi sebuah pusat pendidikan jurnalisme? Jurnalisme yang seperti apa yang layak ada di pesantren? Apakah jurnalisme yang bebas meng-ekpos apapun, tanpa memperhatikan aspek sopan santun juga layak berkembang di Pesantren? Bagaimana jika yang menjadi wartawan adalah seorang santri? Sebagai santri CSS MoRa kita telah memiliki wadah tersendiri yaitu Majalah Santri. Mampukah kita membawa media kita ini untuk mampu bersaing dengan majalah-majalah lainnya?

BERDAKWAH DENGAN TULISAN


Oleh: Siti Kholishoh_SANTRI IAIN WALI SONGO




Santri, dakwah dan jurnalisme. tiga hal mempunyai hubungan sangat akrab. Keberadaan majalah santri ditengah-tengah kita tentu bisa kembangkan fungsinya sebagai media untuk syiar kepada masyarakat.


Perkembangan zaman menuntut kita untuk selalu fleksibel dengan berbagai aksi dan kondisi yang ada. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberikan pencerahan dalam segala hiruk pikuk kegiatan setiap manusia. Karena pada dasarnya kemajuan tekhnologi tidak lain hanyalah untuk memudahkan dan membantu kegiatan manusia. Tidak terkecuali dalam dunia tulis menulis, karena tulisan atau berita konon sangat berpengaruh dinamika perubahan social, ekonomi maupun budaya di masyarakat.
Dunia jurnalistik bukanlah suatu hal yang baru, karena tradisi ini telah berkembang sejak generasi awal (salafussaleh). Banyak karya-karya tulis pesantren menjadi khazanah dalam dunia pengetahuan. Pesantren sebagai institusi yang dinilai sebagai lembaga indigenous di Indonesia harus turut mengembangkan bakat dan minat dari para santri-santri nya khususnya dalam tulis-menulis. Pesantren harus menyediakan lahan untuk menyalurkan ide-ide kreatif mereka dalam sebuah media yang kelak mampu mewarnai social di masyarakat.

DUO MAUT CSS MoRA & MAJALAH SANTRI

Oleh: Aiu Sartika Hiasyah_SANTRI UGM

Memahami pesantren seperti memasuki sebuah dunia yang begitu asing bagi masyarakat umum. Tak banyak yang paham betul mengenai apa dan bagaimana lika-liku pesantren yang sebenarnya, kecuali mereka yang berasal golongan santri ¬¬atau berlatar belakang keluarga pondok pesantren. Bahkan saat ini, pandangan miring tentang pendidikan madrasah pesantren tetap saja bergulir di masyarakat. Terlebih, setelah isu-isu terorisme di-blow up habis-habisan oleh media yang menuding pesantren sebagai akarnya.
Ya. Pasca terjeratnya pimpinan pondok pesantren di Ngruki karena kasus terorisme, KH. Abu Bakar Ba’asyir, nama pesantren sedikit demi sedikit mulai dipertanyakan. Beberapa nama institusi pesantren di Indonesia bahkan dituding sebagai “sarang” teroris sekaligus dijadikan lokasi pembibitan teroris kelas kakap. Ini jelas mengotori nama baik pendidikan Islam di Indonesia yang telah bertahan selama ratusan tahun.
Bukan hanya institusinya, nama baik para alumnus pondok pesantren pun dipertaruhkan. Terlepas dari isu terorisme, identitas santri saat ini masih dinilai rendah. Tidak gaul, norak, terlalu “alim” dalam konteks negatif, dan banyak istilah lainnya. Itulah mengapa beberapa santri yang tak kuat nyali rela melepas atribut pesantren dari dirinya dan tidak mengakui identitas santri yang disandangnya. Ya, ini benar-benar terjadi di negeri kita. Diferensiasi sosial masih terlalu kuat untuk membuat masyarakat umum yang belum mengenal pesantren lebih dalam, telah lebih dulu men-judge pendidikan Islam tertua di Indonesia ini dengan konotasi buruk.

SANTRI DALAM HIRUK PIKUK ERA GLOBALISASI

Oleh: Juwari_SANTRI UGM

Ada berbagai pendapat dari para ahli mengenai definisi jurnalistik. Salah satu ahli, Onong U. Effendi, mendefinisikan jurnalistik sebagai teknik mengelola berita sejak dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak. Jurnalistik yang terkemas dalam berbagai produk media masa memegang peran penting dalam kehidupan manusia saat ini. Melalui berbagai produknya, jurnalistik telah menjadi sebuah kekuatan politik yang mampu menggerakkan dan membentuk mind set masyarakat secara masif. Di era globalisasi ini, proses hegemoni yang terjadi diberbagai bidang telah menjadikan media masa sebagai sarana yang paling efektif untuk mempengaruhi publik. Begitulah kekuatan pengaruh media dalam kehidupan manusia, namun di sisi lain, media masa juga menawarkan sebuah wahana yang menjanjikan sebagai pranata yang harus kita maksimalkan sebagai sarana da’wah, baik dalam artian sempit maupun lebih luas.
Budaya tulis menulis yang merupakan bagian dari apa yang sekarang ini di sebut sebagai aktifitas ke-jurnalistik-an adalah warisan dari para generasi awal (salafus shalih) yang harus tetap kita lestarikan. Melalui budaya inilah para ulama’ terdahulu bisa menghasilkan khazanah keilmuan yang masih dapat kita pelajari sampai sekarang. Kita tidak dapat membayangkan jika seandainya para ulama terdahulu, meminjam istilahnya Damarjati Supadjar, tidak melahirkan hasil ijtihad yang tersimpan di dalam batin mereka ke dalam tulisan. Apakah semua hasil para pemikiran pendahulu kita tersebut dapat kita warisi dan telaah sampai sekarang? Tentunya itu adalah rhetorical question yang tak perlu dijawab. Dari sini jelas bahwa pada dasarnya jurnalistik, sebutan lain dari aktifitas tulis-menulis, merupakan tradisi yang sudah semestinya kita budayakan.

MEMUPUK KEMBALI SEMANGAT MENULIS SANTRI DI PESANTREN

Oleh: Lenny Lestari_SANTRI UIN SUKA

a) Pendahuluan
Pesantren adalah sebuah lembaga yang bisa dikatakan wujud proses perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Secara historis, pesantren di Indonesia tidak hanya memainkan peran dalam aspek keIslaman saja, namun satu hal yang terpenting bahwa pesantren juga mengandung makna keaslian dari Indonesia (Indegenous). Walaupun awalnya dijalankan bukan dari tradisi Islam, melainkan Hindu-Budha. Akan tetapi tetap tidak mereduksi nilai-nilai spiritual Islam di dalamnya. Melihat realita ini, maka perjalanan pesantren di Indonesia tak lepas dari perkembangan tradisi sosial masyarakat bangsa Indonesia itu sendiri.
Berbicara tentang pesantren, maka secara tidak langsung kita juga berbicara mengenai santri, mengingat santri adalah satu-satunya term yang tak bisa dilepaskan dari dunia pesantren. Kata “santri” digunakan untuk menunjukkan pada golongan orang-orang Islam di Jawa yang memilki kecenderungan lebih kuat pada ajaran-ajaran agamanya. Mengapa di Jawa? Karena menurut Nurcholis Madjid, kata santri itu berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata “ Sastri”, yang artinya “melek huruf”. Menurutnya lagi, sepertinya pada permulaan tumbuhnya kekuasaan Islam di Demak, kaum Santri adalah kelas “literacy” bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab, atau paling tidak mereka bisa membaca Al-Quran yang membawanya pada sikap lebih serius untuk memahami agamanya. 

MAJALAH SANTRI UNTUK TULIS-MENULIS PESANTREN

Oleh: Fadhli Lukman_SANTRI UIN SUKA

Prof. K. Yudian Wahyudi, Phd pernah berkata, “Biar ada santri yang nulis disertasi bahasa Inggris di Harvard gitu lho!” Dari beberapa kesempatan, terlihat jelas bahwa pengasuh English Pesantren Nawesea ini memiliki impian luar biasa untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga intelektual terkemuka hingga taraf internasional. Beliau juga menyatakan bahwa salah satu kelemahan terbesar pesantren saat ini adalah kurangnya tradisi tulis-menulis. Kalangan pesantren dari masa ke masa membanggakan tradisi kitab kuning. Brand image pesantren ini bahkan diperlombakan antar santri pesantren untuk menguji pesantren manakah yang terbaik dalam urusan bergengsi ini. Akan tetapi, santri hanya disibukkan untuk membaca. Kitab gundul yang memiliki kesulitan luar biasa dikonsumsi secara intensif oleh santri, sehingga kesulitan demi kesulitan bisa ditanggulangi, dan hasilnya mereka terbiasa dan mampu membaca dengan baik. Lantas, tradisi menulisnya mana?!
Saya yakin setiap santri dan keluarga besar pesantren menyadari bahwa kitab-kitab klasik tersebut merupakan hasil karya ‘santri’ terdahulu yang dengan giat menulis ilmu-ilmu yang mereka dapatkan dari ‘kyai’ mereka. Akan tetapi, saya tidak begitu yakin jika kebanyakan mereka ‘sempat’ berpikir bahwa santri seabad atau dua abad ke depan akan membaca kitab-kitab magnum opus karya santri generasi ini. Jangankan untuk menulis sebuah karya besar layaknya Imam al-Syafi’i, al-Ghazali, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan sebagainya, untuk menulis artikel, essay, atau risalah-risalah kecil saja masih sangat minim di kalangan pesantren. Padahal, peradaban saat ini adalah peradaban tulisan. Nama seorang penulis akan terus diingat melewati masa yang panjang dengan tulisan yang bermutu, dibaca dari generasi ke generasi, meskipun jasadnya di liang lahat tidak menyisakan apa-apa lagi! Dan tulisan seorang santri akan terus mengalirkan pahala bagi penulisnya, selama tulisan tersebut terus dibaca, dipahami, dan diresapi santri generasi mendatang!

SANTRI DAN JURNALISTIK

Oleh: Muhammad Ikbal Iskandar_SANTRI ITB

Dewasa ini dunia tulis menulis merupakan elemen yang sangat pesat perkembangannya. Makin banyaknya berita televisi, surat kabar, media online, bahkan situs jejaring merupakan bukti logis yang terlihat nyata di kehidupan sehari-hari. Perkembangan media-media tersebut merupakan suatu keuntungan yang bisa dijadikan kesempatan oleh mereka yang tertarik dengan dunia tulis menulis, karena saat ini dunia tulis menulis tidak hanya milik mereka yang berprofesi sebagai pemburu berita, ataupun mereka yang berkerja di media. Siapapun bisa berkecimpung dalam jurnalistik, tanpa memandang usia, latar belakang pendidikan, agama maupun budaya. Bahkan, dewasa ini jurnalistik sudah digandrungi oleh remaja, termasuk santri. Hal ini disebabkan karena maraknya pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh direktorat pondok pesantren departemen agama Indonesia dan beberapa pesantren di indonesia. Hal ini dilakukan untuk melahirkan jurnalis santri yang tangguh, terampil, profesional dan bermoral, sehingga santri dapat bersaing dengan pelajar umum yang sudah terbiasa bergelut dengan dunia jurnalistik.
Santri, salah satu komponen di dunia pendidikan Indonesia yang tidak bisa dipisahkan, kini dituntut untuk memiliki peran yang lebih dari sekedar mengkaji kitab kuning. Santri juga memiliki peran penting dalam penyampaian informasi tentang ajaran agama Islam. Untuk itu, para santri membutuhkan pengetahuan tentang jurrnalistik untuk dapat mengembangkan potensi intelektual yang dimiliki oleh santri tersebut. Santri tidak melulu harus siap belajar agama saja akan tetapi santri juga harus siap menerima ilmu umum seperti jurnalistik agar kedua ilmu tersebut seimbang karena santri mempunyai peran penting yaitu untuk menyebarkan ajaran islam ke masyarakat luas. Oleh karenanya santri dituntut untuk bisa menguasai teknologi informasi dan komunikasi, termasuk media cetak. Meskipun kehidupan santri hanya bergelut di sekitar pesantren saja tetapi kemajuan teknologi informasi tidak boleh dipisahkan begitu saja.

JURNALISME, PESANTREN, DAN MAJALAH SANTRI

Oleh: Nanda Fira Pratiwi_SANTRI IPB

Jurnalisme bukanlah dunia baru yang sempit, ia sangat luas. Bicara jurnalisme tidak cukup hanya dengan berita, laporan kejadian, dan penulisan. Banyak orang mungkin menganggap jurnalisme hanyalah menulis suatu laporan berita. Itu salah besar. Jurnalisme adalah didalamnya fotografi, videografi, karikatur, dan teknologi yang digunakan untuk menyebarkan isi jurnalisme tersebut. Jurnalisme adalah bicara kebenaran, mengungkap kebenaran, dan mengoreksi ketidakbenaran. Ringkas, lugas, dan jelas, itulah jurnalisme.
Ketika suatu negeri antah barantah menyimpan kekayaan alam, keberadaannya disebarkan melalui jurnalisme. Ketika para pejabat terhormat itu merugikan negara, kisahnya diusut tuntas melalui jurnalisme. Ketika seorang anak bangsa berjuang untuk jati diri negaranya, jurnalisme lah yang memberitahukan kepada khalayak. Ketika seorang ibu kehilangan anaknya, jurnalisme membantu menyambungkan kembali relasi antara mereka. Jurnalisme membuat yang tidak jelas menjadi jelas, membuat yang bengkok menjadi lurus, dan menyambungkan kembali ia yang terputus.
Jurnalisme juga menyebarkan inovasi, terikut didalamnya pesantren yang berinovasi untuk berkembang dengan mengadopsi model pendidikan modern tanpa menghilangkan nilai-nilai keagamaan. Membuka mata santrinya kepada dunia luar dengan tetap memberi rambu-rambu kepada jalan kebenaran. Banyak pesantren saat ini yang meluluskan santri-santri yang tidak sekedar memahami Kitab Kuning, Hadits, Tafsir, Fiqih, Sunnah, dan Bahasa Arab. Santri saat ini telah mengenal apa itu komputer, internet, bahkan banyak santri yang mahir mengolah web dan membuat pemrograman layaknya siswa jurusan teknik komputer.

MAJALAH SANTRI UNTUK SANTRI INDONESIA

Oleh: Zainul Fuadi Akbar_SANTRI IPB

Di indonesia, hampir di setiap daerah ada lembaga pesantren sebagai sarana untuk belajar agama islam. Menjamurnya pesantren di setiap sudut kota/desa tentunya tidak lepas dari peran walisongo yang sangat teguh dalam menyebarkan ajaran islam, khususnya di pulau jawa. Diakui atau tidak, Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam dan telah banyak memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan bangsa ini. Sejak kelahirannya, pesantren terus berevolusi dan bermetamorfosis dari segi bentuk, fungsi, dan perannya. Dengan demikian, pesantren bukanlah sebuah realitas tunggal, tetapi merupakan realitas yang multistruktur, multifungsi, dan multiperan.
Namun pada akhir-akhir ini, kondisi memprihatinkan tengah dihadapi masyarakat pesantren. Sebagai sebuah respon atas perkembangan zaman, masyarakat modern menginginkan perubahan terjadi dalam diri pesantren. Masyarakat memandang zaman telah berkembang menuju era globalisasi. Mereka menuntut pesantren sebagai institusi pendidikan untuk melakukan akselerasi dan transformasi kearah perkembangan tersebut. 

Kamis, 16 Juni 2011

SINETRON ISLAMI: POSITIF-NEGATIF

Oleh: Fadhli Lukman_SANTRI UIN SUKA

Pembaca yang budiman, beberapa waktu terakhir ini sinetron-sinetron di media elektronik mulai mengandung nilai-nilai dakwah yang sangat kental. Sinetron-sinetron tersebut menyampaikan pesan-pesan dan nasihat-nasihat yang sangat terkesan Islami. Dalam setiap adegannya, para tokoh selalu mengucap salam ketika bertemu, mengulang-ulang kalimat thayyibah, menyeru kepada kabaikan sekaligus melarang keburukan (amr ma’ruf wa nahy ‘an mungkar), dan bahkan ada yang secara khusus menyelipkan ceramah dari seorang Ustaz mengenai pesan-pesan keagamaan.
Jika diperhatikan lebih lanjut, sinetron tersebut tidak hanya berbicara mengenai Islam semata. Sinetron-sinetron tersebut mulai merambah institusi pendidikan Islam yang telah mengakar di Indonesia. Apakah itu? Tentu kebanyakan Anda bisa menebak. Ya, pesantren! Beberapa judul sinetron mulai menggunakan symbol-simbol kepesantrenan dengan beberapa unsur di dalamnya, mulai dari sosok kyai, santri, nizham, ta’zir, barokah, dan sebagainya. Sebagai bumbunya, sinetron ini mengemas cerita dengan tayangan-tayangan komedi yang mengocok perut penontonnya.

Rabu, 02 Maret 2011

MAHASISWA DAN AGENDA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Para pemerhati sosiologi masyarakat, khususnya di Indonesia, menempatkan mahasiswa sebagai sosok fenomenal yang memiliki peran strategis dalam perubahan masyarakat. Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 1928, perjuangan merebut kemerdekaan 1945, gerakan mahasiswa (baca: Angkatan) ‘66, peristiwa Malari (Limabelas Januari) 1974 dan gerakan reformasi menentang rezim Soeharto 1998 menjadi bukti historis yang menegaskan peran dan gerakan mahasiswa, tanpa bermaksud menafikan kontribusi masyarakat yang lain. Pertanyaan mendasar yang muncul dalam konteks gerakan mahasiswa di era kontemporer sekarang ini adalah bagaimana mahasiswa dapat memerankan dirinya mengusung agenda perubahan dan pemberdayaan masyarakat? Profil mahasiswa seperti apa yang dapat melakukan peran-peran pemberdayaan, dan bagaimana strategi untuk melakukannya.


Mahasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kementerian Agama RI  yang saat ini sedang menempuh studi di berbagai perguruan tinggi bergengsi di negeri ini, mempunyai tanggungjawab untuk ikut menyelesaikan problem-problem kerakyatan dan kebangsaan. Tulisan ini mencoba menganalisis peran strategis mahasiswa PBSB, yang notabene berasal dari pondok pesantren (baca: mahasantri) dalam konteks pemberdayaan pesantren dan masyarakat.

Dialektika Pesantren dengan Modernitas


Negara Indonesia memiliki lembaga pendidikan yang khas orisinil produk pribumi, pesantren. Lembaga pendidikan bernama pesantren ini memiliki daya tarik peneliti dalam maupun luar negeri.[1] Pesantren sebagai sebuah komunitas yang mensintesakan dimensi sosial, budaya dan agama (Wirosardjono:1987).  Lokasinya yang terpisah dari pemukiman masyarakat sekitar pesantren menjadikannya eksklusif.  Kelembagaannya terpimpin atas nama Kyai, ajengan atau bendara sebagai tokoh sentral yang menjadi agen budaya (cultural brokers).


Pesantren sebagaimana yang telah diasumsikan banyak orang adalah dunia kaum bersarung dengan peci di atasnya dengan pola pikir yang masih kolot, katrok (bahasa Tukul Arwana) dan jauh dari kata modern, atau mungkin sesuai dengan asumsi H. Mahbub Junaidi sebagai kaum   hippies dengan life pattern, mores and internal authority yang berbeda dengan masyarakat lainnya.  Anggapan seperti ini pada mulanya mungkin dapat diterima mengingat pesantren pada mulanya berada di pinggiran yang mayoritas ekonomi kelas menengah ke bawah. Dalam “Islam Kosmopolitan”-nya, Abdurrahman Wahid mencoba menjelaskan dua unsur pijakan pesantren.  Pertama, yaitu peniruan atas perilaku Nabi, hal ini tercermin dalam ketaatan ritual secara maksimal, penerimaan atas kondisi materi yang serba kurang dan kesadaran kelompok (espirit de corps) yang tinggi. 

Sabtu, 05 Februari 2011

Memaknai Peran Pesantren dalam Masyarakat

Pondok Pesantren Sirojul Mukhlashin 2

Menyelaraskan tiga dimensi pendidikan dalam satu wadah


Pada edisi kali ini, redaksi majalah SANTRI melalui rubrik NeBang (Penelitian dan Pengembangan) mencoba mengulas jejak rekam pesantren Sirojul Mukhlasin 2.  Sehingga pada langkah berikutnya kita bisa menambah wawasan kepesantrenan di Indonesia dan mengambil poin penting untuk dijadikan referensi terhadap pengembangan pesantren.


Mulanya hanya sebuah madrasah dengan nama  “Madrasah Mu’allimin/Mu’allimat 6 Tahun Payaman”.  Berdiri sekitar tahun 1966/1967 di Dusun Gembongan Desa Payaman kecamatan Secang Kabupaten Magelang. Keberadaan madrasah yang mendapat sambutan baik dari masyarakat sekitar, mengubah  namanya  menjadi Madrasah Tsanawiyah – Aliyah (MTs – MA) Yayasan Amal Jariyah atau Yajri. Namun seiring perjalanannya, titel Madrasah seolah berada di kelas dua, sehingga mendorong pihak yayasan untuk menciptakan terobosan baru. Hingga akhirnya pada tahun 1993, diselenggarakanlah pendidikan formal alternatif berupa pesantren bernama Sirojul Mukhlasin unit II di bawah pimpinan dan asuhan KH. Minanurrohman Anshori. Nama Sirojul Mukhlasin mempunyai makna filosofis bahwa tamatan madrasah dan pondok pesantren ini harus menjadi sirojul mukhlasin atau lampu penerang bagi orang-orang yang ikhlas di masyarakat kelak. Lampu penerang yang dimaksud adalah bermanfaat dengan ilmunya untuk diri sendiri dan orang lain/sosial. Orang-orang yang ikhlas (mukhlasīn) adalah yang menjadi khalīfah fil ardl dan bukan yufsidu fīha, serta tidak musyrik atau menyekutukan Allah.

Pesantren sebagai Kontrol Masyarakat

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang memiliki karakter kuat. Ada beberapa tradisi atau kebiasaan-kebiasaan, dan nilai-nilai moral yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang yang pernah mondok di pesantren. Disadari atau tidak, karakter pesantren tersebut mampu memberikan sumbangsih yang amat besar bagi dunia pendidikan di Indonesia.


Peran pesantren tidak hanya terbatas sebagai sebuah lembaga pendidikan yang harus memberikan pendidikan bagi orang-orang yang mondok di dalamnya, akan tetapi lebih dari itu pesantren juga memiliki peran sebagai lembaga sosial keagamaan. Sehingga secara tidak langsung keberadaan pesantren sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Pesantren dijadikan sebagai sumber rujukan oleh masyarakat sebagai tempat untuk memperkuat diri, sebagai tempat pengaduan ketika ada permasalahan-permasalahan baru di dalam masyarakat. Selain itu pesantren juga dijadikan sebagai rujukan dalam memberikan legitimasi sebuah tindakan hukum masyarakat. Dari sini kita tahu bahwasanya selama ini keberadaan pesantren dalam masyarakat juga dijadikan sebagai pengontrol mereka.

LISDA, SANG SARJANA

Guys! Pada era reformasi ini, mahasiswa sering  terpilih sebagai pelaku pembaharuan karena memiliki potensi yang besar sebagai agen perubahan. Selain itu, mahasiswa dikatakan sebagai segmen pemuda yang tercerahkan karena memiliki kemampuan intelektual yang tinggi yang diharapkan bisa mencerahkan masyarakat.


Mahasiswa juga menjadi  bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Pemikiran kritis dan   demokratis  selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Sebagai bagian dari pemuda, mahasiswa juga memiliki karakter positif lainnya, antara lain idealis dan energik. Idealis berarti (seharusnya) mahasiswa masih belum terkotori oleh kepentingan pribadi, juga belum terbebani oleh beban sejarah atau beban posisi. Mungkin itulah secuil teori tentang mahasiswa baik dan beretika.


Mengambil sebuah filosofi lama yaitu historia semper reformanda, yang berarti bahwa  perubahan berawal dari bagaimana bijaknya kita menilai suatu sejarah, sejarah mahasiswa terdahulu yang telah berhasil meraih gelarnya dengan baik. Maka pada kesempatan kali ini, rubrik profil SANTRI ingin mengulas mahasiswa CSSMORA UIN Jakarta yang telah berhasil mendapat gelar sarjana.


Mahasantri asal Sukabumi ini telah menyandang gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Namanya tidak asing di kalangan mahasiswa jurusan Kesehatan Masyarakat. Hal ini disebabkan namanya sering tercantum dalam kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di UIN Jakarta.  Mahasiswi cantik dan ayu ini adalah Lisdayanti Humayda.


Sarjana  kelahiran Sukabumi, 19 April 1987 ini merupakan alumni dari MI, MTs, MAU Al Matsururiyah dan dilanjutkan di jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang pada akhirnya mengantarkannya menjadi pengurus di berbagai organisasi di kampus dan luar kampus. Dia juga pernah menjadi staf  Departemen Penelitian dan Pengembangan Kesehatan CSSMORA UIN Jakarta, Bendahara BEMF FKIK UIN Syarif Hidayatullah, staf Departemen Penelitian dan Pengembangan Kesehatan BEMJ Kesehatan Masyarakat dan Ketua Perkumpulan Alumni MAU Al Matsururiyah (2003-2004).


Lisda, begitu panggilannya, adalah anak pertama dari Drs. KH. Hamdun Ahmad, M.Ag dan Endah Huwayda (Almh). Setelah menyelesaikan kuliah di UIN, dia kembali ke kampung halaman untuk memajukan daerah. Dia mengajar pada salah satu sekolah di Sukabumi.


Dulunya di pesantren, Lisda sangat menyukai mata pelajaran Kaifiyatusshalat. Bukan hanya itu, mengkaji kitab Burdah bersama semua santri di masjid Al-Masthuriyah setiap malam sabtu merupakan kegiatan yang selalu dinanti-nantikan. Kemampuan berorganisasi tidak hanya terlihat pada saat kuliah, di pesantren pun, Lisda pernah menjabat sebagai ketua OSIS MA Al Masthuriyah Sukabumi (2003-2004).


Sarjana dengan hobi memasak ini mempunya tips khusus bagi teman-teman dalam menyelesaikan skripsi. Pertama, harus fokus. Fokus dengan tujuan dan pelaksanaan penelitian. Ketika tiba saatnya menyelesaikan skripsi harus mengedepankan tugas ini. “Mungkin ada hal lain yang penting, tetapi dalam sehari harus tetap ada jam-jam khusus digunakan untuk menyelesaikan skripsi.” katanya lebih lanjut.


Kedua, jangan menyerah. Memang akan sangat banyak hambatan yang dirasakan seperti dosen sulit untuk bimbingan, sulitnya perizinan penelitian, atau kesulitan dalam menemukan bahan skripsi. Tetapi, hal ini tidak boleh menjadikan kita menyerah dan berputus asa. Insya Allah semuanya akan bisa teratasi dengan sabar dan tawakkal.


Ketiga, tetap semangat dan percaya diri. Seringkali kita mungkin merasakan keraguan dalam melakukan tugas. Tetapi kembali kepada yang pertama tadi, harus fokus dan semangat mencari hal-hal yang mendukung pelaksanaan tugas tersebut. Percaya diri dengan penelitian sendiri, walaupun dalam lingkup kecil, yang terpenting adalah bisa diaplikasikan dan memberikan manfaat besar bagi kalangan terkait.


Saat ditanya pendapat mengenai model pengabdian di pesantren, Lisda berpendapat  bahwa mahasiswa mengabdi tidak harus di pesantren asal tetapi misalnya dari Kementerian Agaram menunjuk salah satu pesantren yang membutuhkan tenaga yang sesuai. Misalnya, pesantren A membutuhkan tenaga kesehatan, pertanian, dan guru, maka model pengabdiannya adalah dengan menunjuk lulusan di bidang tersebut untuk mengabdi di pesantren A. Selain itu, harus diterapkan pemerataan SDM agar pesantren di daerah juga bisa lebih maju dan sejahtera.


Menurutnya, pesantren kini sudah semakin berkembang, bukan hanya di kota besar saja. Di daerah pun, banyak pesantren modern yang sudah mengembangkan kurikulumnya. Di mana awalnya hanya fokus pada bidang agama saja tetapi sekarang sudah mengajarkan juga ilmu-ilmu umum, bahkan sekarang banyak pesantren yang juga memberikan keterampilan-keterampilan kepada santrinya, di antaranya dalam bidang kesehatan, pertanian, peternakan, perikanan, dll. Dengan bantuan pengabdian ini, diharapkan ke depannya pesantren mampu menghasilkan SDM  yang tidak hanya fasih beragama tetapi juga memiliki keterampilan lain sehingga mampu bersaing dengan lulusan non pesantren.


Oleh sebab itu, kita harus bersyukur bisa melanjutkan kuliah dengan beasiswa dari Kementerian Agama. Pesannya bagi yang masih aktif kuliah agar terus semangat untuk belajar. Jangan terlena karena mendapatkan beasiswa! Justru harus menjadi motivasi untuk selalu berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik.


Sebagai mahasiswa penerima beasiswa Kementerian Agama RI, Lisda sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari CSS MoRA. Banyak pengalaman dan pelajaran yang didapatkan. Selain bisa kenal dan sharing bersama teman-teman di UIN Jakarta, juga bisa kenal dengan teman-teman dari universitas lain di Indonesia.


Makanya, kita semua harus tetap istiqomah menuntut ilmu ini agar kelak bisa memberikan yang terbaik, khususnya untuk lingkungan sekitar dan umumnya untuk agama, bangsa dan negara. Semoga.

Rahmatul Asri

Oleh: M. ASWAR

Rahmatul Asri

Bagaimana kabarmu

Aku jadi rindu pada teriakanmu dabbir

Memecahkan keheningan fajar

Bertahta seperti komandan

Sekarang engkau lebih menyukai keheningan subuh

Pasti engkau tambah anggun

Kini

Di setiap perhelatan engkau bersolek

Dan saat menyambut santri baru

Seperti seorang wanita yang dipinang

Sudah berapa pialamu tahun ini

Mengisi lemari kaca di kantor

Ataukah kantor telah menjelma

tempat pajangan piala

Kemarin aku kerumah sakit

Namamu ku dengar

Ke masjid, ke kantor Bupati

Di mana saja

Namamu ku dengar

Sungguh kau amat pintar mengikat hati

Kau lebih maju kini

Setiap lomba tak pernah absen

Mulai dari MTQ, Pramuka, PMR sampai atletik

Hingga tak ada waktu

Belajar di kelas

Pasti prestasimu tambah selangkah kan

Aku jadi ingat kedua masjid kecilmu

Masih adakah santri yang mengaji

Sampai lonceng tak bunyi

Atau hanya sekedar shalat

Ku dengar sekarang ustadz-ustadz lebih santai

Tak ada pengajian ba’da magrib

Kadang ada, persiapan musabaqah

Kemana santri pahlawan sarungan

Dan santriwati yang takut lelaki

O, engkau mengikuti zaman

Yang itu santri jadul

Rahmatul Asri

Aku rindu pondokku

Jangan kau ambil ia

DO'A

oleh : Ahmad Yasin Syafi'i

Tuhanku,

Dalam tertumpu, aku masih menyebut namaMu

Meski kaku, ku  coba tuk ingat Engkau selalu

Aku tertunduk dihadapMu, dalam sembah sujudku

Merasakan cahaya suciMu, menjalari hati gelapku

Tuhanku,

Aku  kian hancur, tak terurai menjadi unsur

Biar tak terlebur, aku kan terus bersyukur

Sampai ragaku gugur, sampai jiwaku meluncur

cintaMu masih bertabur, KasihMu tetap tak terukur

Tuhanku

Aku tersesat dalam fana, cerita tak bertema

Tak ada pelita, tak ada warna

Aku terluka, aku nelangsa

Aku meminta, dalam doa dan cinta

 

AKU NEGERI INDONESIA

oleh : April34

Dalam kucai masai aku berdiri

Berdiri tegak membekap seluruh harapan

Aku bercengkrama dengan nasib

Selalu menghujam lintang yang telah tergaris

Aku menatap angin dan hujan

Butir-butir hujan menggelinjang di tubuh ku

Denyar-denyar ombak mencabik-cabik kulit ku

Aku tidak beringsut dalam ketakutan ku

Aku melawan rajaman semu peperangan

Aku memecut halangan yang menghadang

Aku jengah dengan keadaan

Namun, aku tetap meraja pada kemenangan

Lebam ku menatap ke depan

Kerlingan mata ku memberi isyarat

Bahwa aku harus bangkit dari pekatnya kegelapan

Bahana cahaya menerangi di setiap sudutku

Aku adalah negeri Indonessia

Aku merengkuh seluruh bangsaku

Aku adalah negeri Indonesia

Aku menyanggah seluruh budayaku

Aku adalah negeri Indonesia

Aku menjulangkan harapanku

Aku adalah negeri Indonesia

Menyibak keterpurukan bangkitkan aku dan bangsaku

Bibit Cintamu

oleh : Aswar

Dahulu kau beri aku tanaman. Dan kau bilang rawatlah ia


seperti dirimu sendiri, siram dua kali sehari. Jangan sampai


ia kepanasan ataukah kekurangan air dan pupuk


 


Aku tanam bibit itu. Ku rawat ia sesuai kemauanmu. Sekarang


sudah tumbuh seperti pohon-pohon yang lain. Bahkan lebih


tangkainya sudah menjalar ke jendela rumahku. Menyapaku


setiap pagi dan petang, bahkan setiap detik


 


Takkah kau ingin mengecup pahit buahnya dan cekikan tangkainya?

Belajar, Belajar dan Terus Berdoa…

Pondok Pesantren Nurul Jadid, salah satu pondok pesantren di timur Jawa Timur ini merupakan persinggahan belajar sahabat santri kita kali ini. Sahabat santri bernama lengkap Nurrizqi Ainul Ghozali, adalah siswa kelas XII IPA 1 SMA Nurul Jadid.




Menjadi santri di sebuah pondok pesantren tidak pernah terbayang oleh Rizqi sebelumnya. Tak dipungkirinya, yang terbersit ketika mendengar kata mondok adalah ketidakbebasan. Seperti teman-temannya yang lain, ia sangat ingin melanjutkan jenjang sekolahnya setelah lulus dari SMPN 1 Situbondo di sekolah negeri favorit di daerahnya. Namun takdir berkata lain. Rizqi tertangkap razia polisi karena terlibat tawuran saat kelulusan SMP-nya. Karena peristiwa inilah, akhirnya orang tua Rizqi berinisiatif untuk memondokkan Rizqi di Pondok Pesantren Nurul Jadid, sekaligus melanjutkan jenjang pendidikan SMA-nya di SMA Nurul Jadid. Rizqi akhirnya hanya bisa manut saja karena ini adalah permintaan orang tuanya.


Setelah menjalani kehidupan pondok beberapa saat, ia sadar bahwa kehidupan di pondok tidak seburuk bayangannya. Justru ia merasa mendapatkan banyak pelajaran berharga dari pondok. Tidak hanya sekedar ilmu eksak dan agama saja, lebih dari itu ia banyak belajar bagaimana cara memaknai hidup dan bagaimana seharusnya menjalani hidup ini. “Bisa dibilang Saya ditolong razia tawuran itu agar dapat menjalani hidup yang lebih baik,” akunya.

Gold and Nanotechnology

Emas merupakan logam yang sangat berharga bagi manusia baik dinilai dari keindahan maupun karakter emas itu sendiri. Bahkan emas dikaitkan dengan Tuhan, raja, kekuasaan, dan immortalitas. Seiring dengan adanya kemajuan nanoteknologi, berbagai penelitian telah dilakukan untuk menggali manfaat emas mulai dari pengobatan kanker hingga penanganan perubahan iklim global. Berikut adalah beberapa contoh hasil penelitian tentang material emas.


AuroShell™, Gold for health



Penelitian emas sebagai salah satu pengobatan kanker telah dimulai sejak 50 tahun yang lalu. Banyaknya masalah yang timbul pada daerah kanker menyebabkan molekul obat yang masuk ke dalam tubuh tak dapat bekerja secara spesifik sehingga dosis obat yang diberikan kepada pasien melebihi dosis yang dibutuhkan. Padahal molekul obat tak dapat membedakan antara sel tubuh normal dengan sel kanker hingga menyebabkan berbagai efek samping yang lebih berbahaya dari kanker itu sendiri. Oleh karena itu dilakukan berbagai penelitian untuk mendapatkan cara yang terbaik agar molekul obat dapat mencapai sel target tanpa merusak sel tubuh yang masih normal. Salah satunya adalah dengan nanopartikel emas.


AuroShell™ merupakan salah satu produk nanoteknologi Aurolase™ dari Nanospectra yang menggunakan nanopartikel emas sebagai drug-coated film untuk mengantarkan molekul obat ke sel kanker. AuroShell™ merupakan hasil kombinasi dari sifat fisik dan optik dari emas dengan laser yang dapat menghasilkan suhu tinggi sehingga dapat menghancurkan jaringan kanker tanpa merusak jaringan-jaringan di sekitarnya.


Seiring dengan penemuan AuroShell™ sebagai salah satu cara penyembuhan kanker, penggunaan emas dalam bidang kesehatan semakin meluas di antaranya pada diagnostik awal pada penyakit kanker prostat atau deteksi adanya HIV. Nanopartikel emas merupakan bahan yang sangat kuat, memiliki stabilitas dan akurasi yang tinggi serta tidak beracun sehingga tidak menimbulkan efek samping pada pasien.


AuroLITETM, Gold for Environment



Semakin tua usia dunia kita semakin banyak pula permasalahan lingkungan yang muncul. Permasalahan ini merupakan salah satu manifestasi dari adanya pertumbuhan penduduk  dan jumlah kebutuhan energi yang meningkat diiringi adanya ancaman pemanasan global. Teknologi nanopartikel emas menawarkan solusi yang terbaik untuk berbagai permasalahan lingkungan yang muncul mulai dari program penghijauan, kontrol polusi, dan pemurnian air.


Hampir dari seluruh kegiatan produksi industri menggunakan bahan kimia termasuk katalis. Katalis dapat mempercepat seluruh proses reaksi kimia tanpa mempengaruhi produk dari reaksi tersebut. AuroLITETM menawarkan katalis yang berbasis nanopartikel emas yang memiliki produktivitas terbaik karena dapat menurunkan jumlah logam yang diperlukan sebagai katalis, menurunkan temperatur dan tekanan yang dibutuhkan saat proses berlangsung, meningkatkan selektifitas, dan tentunya menghasilkan residu yang sedikit dan ramah lingkungan.


Katalis emas ini banyak memberi keuntungan pada berbagai reaksi kimia, salah satunya adalah pada produksi Vinyl Acetate Monomer(VAM). VAM merupakan kunci dari berbagai emulsi polimer, perekat, resin, pelapis, dan tekstil. Salah satu pabrik skala internasional terbesar ketiga yang menggunakan basis teknologi ini adalah INEOS.


High density data storage



Dengan berkembangnya sistem komputasi dan portabilitas barang, semakin besar pula kebutuhan untuk menyimpan berbagai data dalam alat yang portabel, mini, dan tentunya dengan harga yang terjangkau. Solusi dari permasalahan tadi dapat dipenuhi oleh DVD atau flashdrive yang dikelola dengan basis nanoteknologi gold nanorod yang memiliki kapasitas lebih dari 10 Tb (10,000 Gb). Kapasitas yang sangat tinggi ini didapat dari pengaplikasian gold nanorod yang dapat membaca seluruh hasil polarisasi cahaya yang berbeda pada tiap gelombang tertentu, serta dengan adanya modifikasi frekuensi tiga dimensional menyebabkan bidang polarisasi semakin besar sehingga kapasitas dapat tak tertentu.


Energy-efficient glazing coatings


Tak dapat dipungkiri bahwa dengan perkembangan teknologi yang pesat mendorong bidang lain untuk berkembang seperti bidang arsitektur. Desain gedung-gedung modern menuntut penggunaan material yang ramah lingkungan serta didukung berbagai fitur seperti solar cell sebagai sumber energi yang dipadukan dengan gaya arsitektur yang indah, tingkat keamanan yang tinggi, dan desain ruang yang dinamis dan megah.


Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibuatlah material berupa kaca berlapis partikel emas (gold-coated glass) yang memiliki warna unik yaitu biru kristal, didukung dengan kemampuan menyerap energi dari matahari (solar cell), menurunkan temperatur di dalam gedung sehingga interior gedung tetap nyaman walau menggunakan dinding kaca yang relatif tipis namun sangat kuat dan efisien.



Sumber: GOLD FOR GOOD,Gold and nanotechnology in the age of innovation oleh Dr Trevor Keel, Dr Richard Holliday, dan Dr Tim Harper.

Ayat-ayat Hijau, Membentuk Pesantren Peduli Lingkungan

oleh : M. Attabik Faza


Lingkungan hidup menjadi agenda besar dalam benak manusia sepanjang zaman. Dan problem yang berkaitan dengan lingkungan hidup akan selalu ada karena manusia di setiap gerakannya selalu menggantungkan diri pada alam. Dalam beberapa laporan pemerintah, untuk negara Indonesia saja, kerusakan yang dialami tiada henti dan selalu meningkat dari tahun ke tahun.


Sesuai laporan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), pada tahun 2005 saja, kerusakan dalam bentuk hutan meningkat dari 1,6 juta Ha/tahun (1985-1997) menjadi 2,1 juta Ha/tahun (1997-2001). Polusi udara juga ikut disebutkan dalam laporan tersebut di mana upaya pemerintah dalam mengatasi polusi masih jauh dari harapan lantaran bertambahnya kendaraan bermotor –yang berperan menyumbang sebanyak 70% penyebab polusi- kian pesat. Ketersediaan air juga mengalami penurunan dengan ditandai bertambahnya sungai yang tidak layak minum, menurunnya debit sungai, pendangkalan danau, yang kesemuanya menyebabkan defisit air.


Itu semua merupakan problem yang harus segera diselesaikan mengingat lingkungan hidup mempunyai pengaruh besar terhadap keberlangsungan ekosistem. Dan jika ditelaah lebih jauh lagi, sebenarnya akar kerusakan yang dilakukan manusia ini berasal dari lemahnya wawasan religi yang dimiliki. Menurut Zainal Abidin Baghir (Dosen Pasca Sarjana CRCS UGM), umat muslim seharusnya dapat peka dan menangkap well-informed yang aktual seperti halnya problematika lingkungan hidup untuk kemudian menyuguhkan solusi tepat yang bersumber dari ayat-ayat suci mereka. Solusi tersebut tentunya hanya akan menjadi impian jika tidak adanya penafsiran yang mendalam terhadap ayat-ayat suci untuk menjawab problematika ini.


Sebenarnya anjuran merasa terpanggil untuk merespon problematika lingkungan tidak dikhususkan pada agama Islam saja, namun secara keseluruhan umat beragama pun mempunyai beban yang sama. Ini mengindikasikan bahwa untuk menanggulangi kerusakan lingkungan hidup, tidak hanya memerlukan kegiatan para ilmuwan yang menjadi pakar di bidangnya. Namun jauh lebih penting dari itu, kaum agamawan harus ikut campur tangan untuk menyelesaikan masalah ini.


Dalam suatu konferensi internasional tentang lingkungan yang diadakan di Moscow, 34 ilmuwan yang dipimpin Carl Sagan menyimpulkan, ”Masalah besar lingkungan hidup itu menuntut solusi yang berperspektif luas. Dan karenanya mesti mengandung dimensi keagamaan maupun ilmiah. sebagai ilmuwan, kami menyerukan kepada komunitas agama di seluruh dunia untuk dengan tegas menyatakan komitmennya, dalam kata-kata maupun tindakan.”


Dari kesimpulan di atas tentunya peran aktif agama yang nyata sangat dibutuhkan untuk melindungi bumi dari kerusakan alam secara terus menerus. Bahkan Paul Hawken, pengarang Ecology of Commerce, apabila ditanya sikapnya atas kondisi lingkungan pasti akan menjawab dengan tegas, ”Kalau Anda mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan untuk mengetahui sekarang dalam aspek lingkungan dan tidak merasa pesimistis, data yang anda miliki pasti salah.”


Seandainya aktifis keagamaan terpanggil, sudah sewajarnya kaum intelektual muslim menjadi garda terdepan sebagai agen yang menjadi pelaksana ultimatum ini. Sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim, tentunya negara ini banyak menyandarkan harapan ke pundak orang-orang Islam. Penyandaran ini tidak bisa diberikan seketika itu juga, kita masih perlu memperhatikan agen manakah yang paling bertanggung jawab merespon gejala ini.


Telah diketahui bersama bahwa pesantren adalah salah satu agen yang jika ditinjau dari beberapa sisi memiliki atribut yang pantas untuk menjalankan tugas ini. Dirasa sebagai agen karena dengan berbagai pertimbangan seperti pesantren sebagai produk pendidikan yang indegogus Indonesia. Pesantren yang secara akademik telah memiliki konstruksi pendidikan religi yang kuat, kegiatannya sebagai penyalur materi keagamaan berpeluang besar mengungkap pesan yang  tersimpan dalam ayat suci umat Islam.


Dalam khazanah keilmuwan yang berkembang dalam pesantren, dapat ditemukan bahwa literatur yang dimiliki sangat mendukung anak didiknya supaya memperhatikan problematika lingkungan hidup. Al-Qur’an sebagai rujukan otoritatif sangat sarat dengan “ayat-ayat hijau” (sebuatan untuk ayat-ayat yang merespon keberlanjutan bumi). Namun, sebagai rujukan yang memiliki andil besar untuk merubah pola pikir umat akan tetap diam dan menyembunyikan pesan Tuhan kepada manusia tentang lingkungan jika agen akademik –dalam hal ini komunitas pesantren- yang menggelutinya masih menutup diri untuk menyentuh apalagi membuat gagasan baru dan berani seperti menjawab masalah ligkungan hidup ini.


Kali ini pesantren tentunya terpanggil kembali untuk menyampaikan pesan tersembunyi tersebut untuk dijadikan argumen utama sekaligus landasan bagi manusia. Pertimbangan ini disematkan lantaran pesantrenlah yang selalu mengkaji khazanah literatur Islam khususnya rujukan utama yaitu Al-Qur’an.


Sedikit contoh dari ayat-ayat hijau adalah Surat Hud ayat 61, Allah berfirman: ”Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari tanah dan menuntut kalian membangun (memakmurkan) di atasnya.” Perintah Allah di atas setidaknya secara implisit, manusia diperintahkan menggunakan bumi ini dengan sebaik-baiknya. Dan secara eksplisit manusia diperintahkan supaya berbuat kebaikan dalam membangun atau memuliakan dengan kemakmuran di atasnya, memakmurkan meliputi menggunakan, menjaga serta melestarikan dengan baik.


Sayangnya jejak rekam sejarah yang ada di masyarakat muslim dunia khususnya di Indonesia, komunitas pesantren masih disibukkan memproduksi kader yang bergelut pada aspek tatanan sosial dan keagamaan saja. Belum ditemukan pesantren secara khusus melakukan aktifitas penafsiran terhadap “ayat-ayat hijau” untuk kemudian diejawantahkan menjadi aksi perlindungan lingkungan hidup. Karena ketiadaan langkah tersebut (walaupun masih terdapat faktor lain yang ikut terlibat), proses pengrusakan lingkungan hidup masih tetap berlangsung sampai sejauh ini dan memberikan dampak sistemik terhadap ekosistem di Indonesia, termasuk pesantren di dalamnya. Dan perlu dicatat, kerusakan lingkungan adalah kasus yang tidak hanya menimpa manusia yang hidup pada zaman sekarang saja, namun dampak yang dihasilkan akan berlanjut kepada anak turun bahkan cucu kita.


Pesantren sebagai bagian dari agen perubah sosial dan masyarakat sekaligus merangkap sebagai lembaga yang memfokuskan diri dalam kajian keislaman tentunya harus berusaha keras untuk dapat menyuguhkan pesan yang tersimpan dalam ayat suci kemudian dijadikan landasan umat dalam ikut mengambil peran dalam mengatasi lingkungan hidup. Bahkan lebih dari itu, kader pesantren harus mengadakan kegiatan yang nyata dalam menangani kasus tersebut.


Oleh karena itu, untuk menjalankan agenda besar ini diperlukan kerja sama yang pas dan proporsional. Sampai saat ini tidak ada alasan bagi kita untuk membenarkan berpangku tangan membiarkan kerusakan ini terus berlanjut. Kalau kita ingin menggunakan semua sumber daya untuk membalikkan kecenderungan kondisi lingkungan hidup yang memburuk ini, kita bisa melakukannya. banyak contoh dalam skala kecil yang berhasil membuktikannya.


Semua uraian di atas hampir menyebutkan kalau kajian kritis terhadap lingkungan hidup masih minim ditemukan. Di dalamnya juga terbentuk mainstream penduduk muslim untuk hanya tetap fokus pada problematika sosial dan keagamaan dan menutup diri pada lingkungan hidup yang sebenarnya mereka butuhkan setiap saat.


Silahkan lihat para tokoh yang berjasa mengantarkan negeri ini terbebas dari penjajahan, tokoh yang bergelut dalam politik, tokoh yang bergelut pada bidang sosial dan pendidikan. Kesemuanya menyebutkan kader pesantrenlah yang bertengger di setiap aspek. Namun, silahkan lihat kader pesantren yang memiliki andil besar dalam menyelamatkan lingkungan secara nyata, kemudian bandingkan hasil survei anda. Pastilah akan tampak betapa tokoh pesantren hanya terpaku dalam menghiasi aspek sosial dan keagamaan saja. Namun, sedikit dari mereka yang menjadi garda depan mengatasi lingkungan.


Untuk menjadikan pesantren sebagai agen yang tetap revivalis menjadi harapan masyarakat, tentunya pesantren harus bisa menjawab pertanyaan problematika umat. Problematika tersebut tidaklah berhenti pada tangga sosial dan keagamaan saja, lebih dari itu semua aspek lingkungan hidup tidak kalah penting juga. Dengan menyuguhkan interpretasi yang aktual tentunya semakin besar pula respon yang didapat.


Berikutnya, pesantren dalam rangka merevitalisasi fungsi agama harus sadar bahwa perubahan besar akan terwujud dengan keberhasilan-keberhasilan skala kecil. Seandainya keseluruhan pesantren di Indonesia tanpa terkecuali mulai mewacanakan lingkungan hidup, pastilah gerakan yang seragam akan tercipta. Tentunya keberhasilan tersebut tidak akan tercipta pula kalau pesantren tidak mendapat antusias masyarakat untuk bergandeng tangan melakukan agenda ini.


Jadi dari pesan ”ayat-ayat hijau” yang tersimpan dalam ayat-ayat suci agama Islam ini, pesantren sangat bertanggung jawab untuk menyuarakan kepada masyarakat supaya dapat menerima pesan tersebut sebagaimana jawaban atas problematika mereka kemudian mengadakan kegiatan nyata untuk mewujudkannya.


 

Pesantren Bermasyarakat : Tebarkan Kasih Sayang untuk Ummat

oleh : Latifah

Dalam perputaran roda perjalanannya, pondok pesantren dari dahulu hingga sekarang menjadikan peran masyarakat sebagai sebuah hal penting yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Besarnya sebuah pondok pesantren jelas berhubungan dengan kepercayaan masyarakat atas pendidikan yang dilaksanakan dalam sebuah lembaga pondok pesantren. Hal itu menyangkut mulai mutu sampai kualitas maupun kuantitas santri yang dicetak dari pondok pesantren tersebut.


Sejauh ini telah berdiri ribuan pondok pesantren di Indonesia dengan berbagai corak dan karakter, mulai dari yang salafi murni, modern, hingga perpaduan antara salafi dan modern. Tentu saja terdapat beragam respon masyarakat atas berdirinya lembaga-lembaga pendidikan tersebut, baik itu respon yang positif maupun negatif. Masyarakat seolah menjadi tim pengamat bagi lembaga pondok pesantren sebagai wadah pendidikan bagi anak-anak mereka sehingga baik buruknya pondok pesantren dalam pandangan warga sekitarnya adalah hasil dari pendidikan yang telah diajarkan di pondok pesantren.


Berdirinya pondok pesantren tidak mungkin terlaksana dengan baik tanpa keikutsertaan masyarakat. Sebut saja beberapa tokoh yang dianggap berwenang seperti tokoh agama maupun tokoh masyarakat yang pada fungsinya mewakili penduduk di suatu daerah. Keberadaan mereka dalam lembaga pondok pesantren sedikit banyaknya mempengaruhi orang-orang di sekitar pondok pesantren terhadap paradigma tentang lembaga pendidikan ini. Hal ini juga yang kemudian memunculkan kepercayaan masyarakat selaku orang tua untuk menitipkan anak-anak mereka agar dididik di lembaga pondok pesantren.


Ada banyak hal yang bisa dilakukan pondok pesantren dalam pembentukan karakter suatu lembaga pendidikan yang memasyarakat dan tidak terlihat (terkesan) eksklusif apalagi arogan, yaitu dengan melibatkan masyarakat dalam pengawasan para santri dan mutu pendidikan di pondok pesantren, terbuka dengan kritik dan saran masyarakat tanpa melupakan pertimbangan dan kematangan dalam menanggapi hal-hal tersebut. Bukan hal yang mudah mendidik dan mengontrol anak-anak dengan berbagai macam karakter yang bervariasi antara satu dengan yang lain sehingga peran masyarakat dalam mengontrol para santri merupakan bentuk kepedulian dan rasa memilik pondok pesantren yang tertanam pada masyarakat. Disamping itu juga untuk mendidik agar santri tidak hanya bertanggung jawab ketika berada di lingkungan pondok pesantren akan tetapi juga merasa bertanggung jawab di masyarakat dalam memberikan contoh perilaku seorang santri yang terdidik secara intelektual dan spiritual.


Nilai pengabdian dan keikhlasan yang ditanamkan di lingkungan pondok pesantren merupakan suatu kelebihan yang jarang sekali bahkan tidak dijumpai pada lembaga pendidikan umum. Pengabdian jauh dari kesan materialistis apalagi oportunis dalam mengerjakan sesuatu karena besarnya arti keikhlasan dalam pengabdian yang telah tertanam pada jiwa seorang santri. Seorang santri dibina dan ditempa menjadi pribadi yang tangguh namun penuh dengan kelembutan hati dan keikhlasan serta dihiasi dengan akhlaqul karimah dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin ummat di masa yang akan datang. Kepandaian dalam berorasi dan berargumen merupakan simbol kecerdasan seseorang dalam bidang akademik dan keilmuan, karena kemajuan zaman dan peradaban menuntut manusia untuk menciptakan inovasi dan kreatifitas dalam berkarya sebagai modal untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Di samping pembentukan pola pikir dan kecerdasan santri, pendidikan mereka juga harus diimbangi dengan materi-materi spiritual menyangkut tentang kecerdasan seseorang dalam menata hati, penanaman nilai kejujuran dan berani memperjuangkan kebenaran demi kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Sehingga santri yang terlahir dari pondok pesantren benar-benar siap dalam menjalani tugas di masyarakat. Tidak hanya sibuk dengan hitungan rupiah yang keluar masuk kantong pribadi namun juga terampil dalam memecahkan permasalahan masyarakat dengan adil dan bijaksana.


Keberadaan pondok pesantren dalam suatu masyarakat merupakan kebanggaan tersendiri ketika pondok pesantren tersebut bisa beradaptasi dengan masyarakat setempat. Sehingga tercipta hubungan baik antara masyarakat dan pondok pesantren. Penting sekali menanamkan nilai menghargai dan kepandaian menempatkan diri dalam jiwa seorang santri, karena disadari atau tidak hubungan keluar dengan masyarakat itu adalah suatu kepastian, sebesar apapun pondok pesantren itu, masyarakat adalah struktur yang tidak mungkin ditinggalkan dalam sejarahnya. Di berbagai bidang terdapat campur tangan masyarakat dalam perkembangan pondok pesantren, baik itu dalam bidang ekonomi, sosial keagamaan dan pendidikan. Kerja sama yang terjalin mempunyai porsi dan ketentuan masing-masing dalam menjalankan tugas guna memajukan pendidikan dan kesejahteraan di pondok pesantren.


Pondok pesantren yang baik adalah pondok pesantren yang bisa diterima masyarakat dalam segala hal. Di bidang keagamaan, keterbelakangan masyarakat tentang pengetahuan agama bukan menjadi penghalang komunikasi antara pondok pesantren dengan masyarakat namun justru menjadi pengikat di hati mereka karena adanya kebutuhan akan pengetahuan agama tanpa membuat masyarakat merasa digurui dan didoktrin, tentu saja perilaku santri yang santun menjadi faktor utama dalam hal ini.


Pendidikan disiplin pun bukan berarti santri harus dihadapkan dengan kekerasan dan hukuman yang sifatnya menyakiti fisik mereka, karena sikap yang tumbuh pada diri seorang santri adalah buah dari perlakuan orang-orang sebelumnya. Pondok pesantren yang menggunakan sistem kekerasan dalam penerapan hukumannya kebanyakan menghasilkan santri yang keras dan cenderung kasar dalam bertindak, tidak menutup kemungkinan seorang santri menjadi sangat liar dan brutal ketika dia berada di luar lingkungan pondok pesantren akibat dari perasaan tertekan yang luar biasa karena kekerasan hukuman yang dia alami di pondok pesantren, mau tidak mau masyarakat akan merasakan dampak negatif dari hal tersebut karena bagaimana mungkin seorang pemimpin bersikap kasar dan temperamental dalam menghadapi permasalahan ummat yang sangat beragam.


Intinya, pendidikan di pondok pesantren bukan hanya terpaku pada masalah kecerdasan dalam berfikir saja, akan tetapi bagaimana seorang santri nantinya bisa menjadi pemimpin yang baik di masyarakat, pemimpin yang berjiwa besar dan penuh kasih sayang, karena pondok pesantren yang peduli dengan ummat adalah pondok pesantren yang mempersiapkan para generasi muda untuk menciptakan ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.

Rabu, 19 Januari 2011

Vicky to Victory!!

Siapa sangka sosok cowok yang satu ini rupanya mengantongi segudang prestasi. Tak hanya berjaya di olimpiade akuntansi tingkat nasional, gelar juara dalam lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional pun telah beberapa kali berhasil diraihnya. Bahkan, akhir September 2010, Vicky bersama timnya melanggeng mulus ke Taiwan dalam kompetisi bisnis plan yang diselenggarakan oleh National Cheng Kung University, Tainan, Taiwan.


Diakui Mawapres FEB Unair 2010 ini, keberhasilannya menaklukkan olimpiade akuntansi maupun karya tulis ilmiah tak lepas dari strategi khusus yang diracik oleh timnya sendiri. Dalam olimpiade akuntansi misalnya, kerjasama tim berupaya dimaksimalkan dengan pembagian materi berdasarkan spesifikasi keilmuan. Dengan komitmen yang kuat, hasilnya dia bersama timnya berhasil meraih juara tiap kali mengikuti olimpiade akuntansi nasional pada 2009 dan 2010.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls