Jumat, 17 Juni 2011

“SANTRI” SEBAGAI WADAH SANTRI BERJURNALISTIK

Oleh: Nadia Tahsinia_SANTRI UIN SYAHID

Satu kata bernama tulisan akan mendukung berkembangnya sebuah inovasi. Sebuah teori pernah mengungkapkan bahwa salah satu cara yang jitu untuk menampakkan eksistensi diri adalah tulisan. Dengan tulisan, manusia mampu berkomunikasi dan menyampaikan berbagai informasi. Terlebih seiring dengan berkembangnya inovasi, kebutuhan akan dunia tulis menulis pun semakin meningkat. Inovasi tersebut tidak akan diterapkan bahkan dikenal jika tidak ada difusi dan pemublikasiannya. Sehingga kini dunia ini tidak hanya milik mereka yang berprofesi sebagai pemburu berita, atau pun mereka yang bekerja di media. Siapa pun dituntut untuk bisa berkecimpung di dalamnya, tanpa memandang usia, latar belakang pendidikan, agama, maupun budaya. Bahkan, dewasa ini jurnalisme sudah mulai digandrungi oleh remaja, terutama santri.
Kemampuan di bidang jurnalistik kiranya adalah suatu potensi yang harus senantiasa menjadi perhatian dalam proses pendidikan di pesantren. Budaya bertutur dalam bahasa lisan maupun tulisan merupakan budaya turun menurun yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan pesantren. Banyak penulis dan praktisi sastra yang muncul dari dunia pesantren, seperti Cak Nun, Emha Ainun Najib, Gus Dur, Jamaldi Rahman, dan penulis-penulis terbaik lainnya. Bahkan penulis legendaris W.S. Rendra pun sangat akrab dengan dunia pesantren. Selain itu, dari segi keilmuan pun pada dasarnya santri memiliki keilmuan yang lebih dibandingkan dengan yang lain. Adanya integrasi ilmu agama dan ilmu umum menjadi nilai lebih bagi pesantren. Sehingga meningkatnya keintelektualan santri akan dibarengi pula dengan meningkatnya akhlak dan moralnya.

MAJALAH SANTRI SEBAGAI MEDIA PENGAMALAN ILMU DAN DAKWAH

Oleh: Dzaki Ahmada_SANTRI UNRAM

Santri merupakan sebagai sebuah gelar bagi para pelajar yang menuntut ilmu di sebuah pesantren ataupun pemondokan yang diasuh oleh seorang murabi atau yang biasanya disebut kyai. Di pesantren, seorang santri diberi bimbingan pengajaran agama islam sepenuhnya, yang diharapkan agar nantinya ilmu agama yang didapatkan bias diamalkan untuk dirinya sendiri ataupun untuk masyarakat tempat dia mengabdikan dirinya nantinya. Pengamalan ilmu yang didapat dari pesantren dapat berupa sebuah dakwah secara langsung melalui majlis-majlis pengajian, ataupun dapat pula berada di madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah. Pengamalan ilmu memang sangat dianjurkan dalam islam. Karena bila seorang santri mempunyai ilmu namun tidak diamalkan, maka ilmu yang dimiliknya menjadi sia-sia dan tidak bermanfaat, bagaikan sebuah pohon yang tidak berbuah, seperti yang dikatakan oleh sebuah mahfudzat arab,
العلم بلا عمل كالشجربلا ثمر
Artinya: Ilmu tanpa diamalkan, seperti pohon tanpa buah.

CATATAN SEORANG SANTRI MENGENAI JURNALISTIK

Oleh: M. Ainun Najib Ali_SANTRI UNAIR

Cerdas dan apa adanya. Begitulah kiranya saya menggambarkan istilah jurnalistik. Tentu, dua kata tersebut tidak cukup lengkap untuk menggambarkan kata jurnalistik. Karena jurnalistik sangatlah luas. Mendunia bahkan. Cukuplah dua kata tadi mewakili.

Dunia jurnalistik. Dunia pemberitaan. Dunia pencatatan, pelaporan dan penyiaran. Begitulah saya mengartikan secara sederhana, menurut bahasa saya, istilah jurnalistik. Mengubah peradaban manusia purba (yang tidak tahu apa-apa) menjadi manusia modern (yang tahu akan segala hal disekitarnya). Nanti, anda akan mengetahui bahwa manfaat dari “pekerjaan” jurnalistik ini begitu besar bagi peradaban manusia. Seseorang tidak mungkin bisa hidup sendiri, tanpa perlu “makan” informasi/berita/pengetahuan. Seseorang juga tidak mungkin bisa hidup, tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Bisa-bisa dia menjadi satu-satunya manusia purba ditengah peradaban manusia modern saat ini.

SAATNYA SANTRI UNJUK GIGI

Oleh: Nahdiyatul Ummah_SANTRI UNAIR

“Santri. Ketika mendengar satu kata ini, yang akan segera muncul dalam benak seseorang adalah manusia yang sarat dengan kultur kesantrian, religius, dan tradisional. Padahal santri juga merupakan bagian dari intelektualitas. Bagaimanakah mengarahkan pandangan yang begitu mengakar ini?”



Dunia intelektualitas menganggap bahwa orang yang intelek akan terlihat dari bagaimana dia menghasilkan karya-karya, produktif, dan aktif, baik dalam karya-karya ilmiah maupun karya-karya non ilmiah. Salah satunya adalah karya berupa tulisan. Tengoklah para Ulama’ dan Ilmuan (dalam perspektif barat dan timur) terdahulu yang banyak menghasilkan banyak kitab dan buku hingga mampu mentransfer ilmu pada generasi-generasi jauh sesudahnya, hingga sekarang, bahkan hingga masa yang akan datang. Bagaimanakah ilmu bisa sampai pada manusia di dunia tanpa mengenal ruang dan waktu jika ilmu itu tidak ditulis oleh yang punya ilmu? Bagaimanakah manusia bisa mengetahui apa-apa yang tidak ia ketahui pada masa lampau jika tidak ada yang memberitahukan kepadanya? Dampak ini begitu besar pengaruhnya terhadap dunia tentu saja, hanya dengan ‘bayangkan bahwa’ orang-orang yang punya ilmu tadi, pada masa yang lalu, tidak menuliskan ilmunya. Benar bahwa ilmu akan dicabut dari dunia dengan mencabut nyawa orang yang punya ilmu.

JURNALISTIK, PESANTREN , DAN MAJALAH SANTRI

Oleh: Khairil Juhdi Siregar_SANTRI ITS

Dunia Jurnalis telah ada semenjak zaman penjajahan di tanah air kita ini. Menurut sejarah koran pertama yang terbit di Indonesia adalah Sinar Indonesia. Namun, sejarawan telah sepakat bahwa koran pertama terbit adalah di Suamtera Utara. Biarlah sejarah yang mengungkap mana yang benar diantara keduanya. Yang terpenting adalah apakah fungsi dari dunia jurnalistik telah memberi hal positif bagi negara dan seisinya?

Zaman orde Baru adalah masa yang kelam bagi dunia jurnalistik di negeri ini. Baik itu yang berbau berita, hiburan, maupun pendidikan semuanya harus dalam 'pantauan pemerintah'. Tidak ada yang lepas dari seleksi- seleksi yang diajukan oleh pemerintah, semua berita, hiburan, dan pendidikan harus menyanjung pemerintahan masa itu. Bukan rahasia umum lagi, yang berani menantang pemerintah-dari semua lapisan masyarakat- maka harus ikhlas dengan takdir sang istri akan menjadi janda dan sang anak akan menjadi yatim.

"Catatan seorang jurnalis", bagitulah orang menyebut mereka yang berkecimpung di dunia tulisan ini. Banyak perubahan yang telah mereka catatkan di negeri ini maupun di dunia ini. Dari tangan-tangan merekalah ummat manusia bisa mengetahui perkembangan negaranya. Dari goresan tinta merekalah para punggawa negeri gemetar dengan apa yang diberitakan akan dirinya. Dan dari lambaian jari yang lembut dalam menulis membuat pecintanya mengagumi apa yang akan diterbitkan.

MUTIARA JURNALISME DI BALIK PESANTREN

Oleh: Ahmad Luthfi Maghfurin_SANTRI IAIN SUNAN AMPEL

Santri adalah gambaran seseorang yang digembleng dalam penjara suci (pesantren), di dalamnya mereka selalu menimba ilmu, mengasah diri, budi pekerti dan tak mengenal menyerah walaupun dengan segala keterbatasan dalam meraih cita-cita, jadi laiknya seorang santri yang ideal semestinya menanam harapan tinggi dalam meraih setiap mimpi. Makan seadanya, minumpun air wudhu sebagai pengganjal laparnya dikala bekal mondok sedang menipis, tak pelak puasa-pun menjadi kawan terindah untuk bersabar menghadapi terpaan badai cobaan dalam mengarungi samudera keilmuan di dunia pesantren, itulah gambaran singkat tentang seoarang santri. Tradisi membaca, menelaah, dan berdiskusi (musyawarah) yang lazim dipelihara kalangan santri di pondok pesantren, adalah bekal yang sangat baik untuk menjadi penulis handal, karena tradisi itu menjadi prasyarat untuk menulis. Butuh keberanian dan keteguhan untuk menghadirkan kembali ragam karya tulis santri yang inspiratif dan bermanfaat bagi khalayak. Sejarah yang hadir saat ini, sebenarnya akan berlalu begitu saja tanpa hadirnya karya tulis para santri pendahulu. Menulis adalah sesuatu yang bisa dilatih, seperti halnya bermain sepak bola atau menyanyi. Hanya mereka yang tekun berlatih yang akan melewati kendala seperti diungkap banyak orang, bahwa menulis itu sulit. 

SAATNYA MENULIS DI PESANTREN

Oleh: Wahyu Dewi Iftita_SANTRI ITS

Ketika mendengar kata jurnalistik maka yang tergambar pada benak kita adalah tulisan, mesin tik, buku atau pun majalah, tak ayal si kuli tinta pun juga menjadi sasaran dari benak ini. Memang jurnaslitik merupakan dunia yang sangat menarik untuk diselami. Menulis merupakan media kita untuk mengungkapkan ekspresi, mengikat ilmu dan saksi perkara. Produk menulis akan lebih bertahan lama dibandingkan produk lisan. Tulisan mampu bertahan hingga beberapa generasi selanjutnya berbeda dengan pidato atau opini-opini yang akan meninggalkan auranya beberapa saat setelah opini tersebut tersampaikan. Lihat saja, manakah yg lebih meninggalkan jejak tulisan-tulisan Bung Hatta atau orator-orato Bung Karno. Pesantren merupakan dunia yang sebenarnya sangat dekat dengan dunia tulis-menulis. Betapa tidak, coba bila tengok tulisan (red: kitab) apa saja yang terdapat di dalamnya. Al Qur’an kitab suci umat Islam selalu bersanding dan tak pernah luput untuk dikaji ataupun untuk dibaca tiap harinya. Begitu pula dengan kitab kuning, kitab klasik yang tak kalah keilmiahannya dengan buku-buku jaman modern saat ini.

MENGGAGAS JURNALISME SEBAGAI BUDAYA PESANTREN

Oleh: Siti Khoirotul Ula_SANTRI IAIN SUNAN AMPEL

Sekilas, berbicara tentang Jurnalisme, yang tergambar di benak kita adalah berita, koran, majalah, media informasi elektronik seperti televisi, radio dan sebagainya. Sering juga kita menyebutnya dengan bahasa yang lebih ringkas, yaitu pers. Seolah jurnalisme atau pers adalah hak mutlak para wartawan, reporter dan kongkow-kongkownya. Tidak bisa dipungkiri, bahwa dunia jurnalisme memang sarat dengan idealisme, kritik bahkan pemberitaan akan hal-hal yang notabene membuka aib orang lain. Meskipun begitu, sudah menjadi rahasia umum juga jurnalisme atau pers selalu berkaitan dengan kepentingan-kepentingan politik.
Lantas, bagaimana jika pesantren menjadi sebuah pusat pendidikan jurnalisme? Jurnalisme yang seperti apa yang layak ada di pesantren? Apakah jurnalisme yang bebas meng-ekpos apapun, tanpa memperhatikan aspek sopan santun juga layak berkembang di Pesantren? Bagaimana jika yang menjadi wartawan adalah seorang santri? Sebagai santri CSS MoRa kita telah memiliki wadah tersendiri yaitu Majalah Santri. Mampukah kita membawa media kita ini untuk mampu bersaing dengan majalah-majalah lainnya?

BERDAKWAH DENGAN TULISAN


Oleh: Siti Kholishoh_SANTRI IAIN WALI SONGO




Santri, dakwah dan jurnalisme. tiga hal mempunyai hubungan sangat akrab. Keberadaan majalah santri ditengah-tengah kita tentu bisa kembangkan fungsinya sebagai media untuk syiar kepada masyarakat.


Perkembangan zaman menuntut kita untuk selalu fleksibel dengan berbagai aksi dan kondisi yang ada. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberikan pencerahan dalam segala hiruk pikuk kegiatan setiap manusia. Karena pada dasarnya kemajuan tekhnologi tidak lain hanyalah untuk memudahkan dan membantu kegiatan manusia. Tidak terkecuali dalam dunia tulis menulis, karena tulisan atau berita konon sangat berpengaruh dinamika perubahan social, ekonomi maupun budaya di masyarakat.
Dunia jurnalistik bukanlah suatu hal yang baru, karena tradisi ini telah berkembang sejak generasi awal (salafussaleh). Banyak karya-karya tulis pesantren menjadi khazanah dalam dunia pengetahuan. Pesantren sebagai institusi yang dinilai sebagai lembaga indigenous di Indonesia harus turut mengembangkan bakat dan minat dari para santri-santri nya khususnya dalam tulis-menulis. Pesantren harus menyediakan lahan untuk menyalurkan ide-ide kreatif mereka dalam sebuah media yang kelak mampu mewarnai social di masyarakat.

DUO MAUT CSS MoRA & MAJALAH SANTRI

Oleh: Aiu Sartika Hiasyah_SANTRI UGM

Memahami pesantren seperti memasuki sebuah dunia yang begitu asing bagi masyarakat umum. Tak banyak yang paham betul mengenai apa dan bagaimana lika-liku pesantren yang sebenarnya, kecuali mereka yang berasal golongan santri ¬¬atau berlatar belakang keluarga pondok pesantren. Bahkan saat ini, pandangan miring tentang pendidikan madrasah pesantren tetap saja bergulir di masyarakat. Terlebih, setelah isu-isu terorisme di-blow up habis-habisan oleh media yang menuding pesantren sebagai akarnya.
Ya. Pasca terjeratnya pimpinan pondok pesantren di Ngruki karena kasus terorisme, KH. Abu Bakar Ba’asyir, nama pesantren sedikit demi sedikit mulai dipertanyakan. Beberapa nama institusi pesantren di Indonesia bahkan dituding sebagai “sarang” teroris sekaligus dijadikan lokasi pembibitan teroris kelas kakap. Ini jelas mengotori nama baik pendidikan Islam di Indonesia yang telah bertahan selama ratusan tahun.
Bukan hanya institusinya, nama baik para alumnus pondok pesantren pun dipertaruhkan. Terlepas dari isu terorisme, identitas santri saat ini masih dinilai rendah. Tidak gaul, norak, terlalu “alim” dalam konteks negatif, dan banyak istilah lainnya. Itulah mengapa beberapa santri yang tak kuat nyali rela melepas atribut pesantren dari dirinya dan tidak mengakui identitas santri yang disandangnya. Ya, ini benar-benar terjadi di negeri kita. Diferensiasi sosial masih terlalu kuat untuk membuat masyarakat umum yang belum mengenal pesantren lebih dalam, telah lebih dulu men-judge pendidikan Islam tertua di Indonesia ini dengan konotasi buruk.

SANTRI DALAM HIRUK PIKUK ERA GLOBALISASI

Oleh: Juwari_SANTRI UGM

Ada berbagai pendapat dari para ahli mengenai definisi jurnalistik. Salah satu ahli, Onong U. Effendi, mendefinisikan jurnalistik sebagai teknik mengelola berita sejak dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak. Jurnalistik yang terkemas dalam berbagai produk media masa memegang peran penting dalam kehidupan manusia saat ini. Melalui berbagai produknya, jurnalistik telah menjadi sebuah kekuatan politik yang mampu menggerakkan dan membentuk mind set masyarakat secara masif. Di era globalisasi ini, proses hegemoni yang terjadi diberbagai bidang telah menjadikan media masa sebagai sarana yang paling efektif untuk mempengaruhi publik. Begitulah kekuatan pengaruh media dalam kehidupan manusia, namun di sisi lain, media masa juga menawarkan sebuah wahana yang menjanjikan sebagai pranata yang harus kita maksimalkan sebagai sarana da’wah, baik dalam artian sempit maupun lebih luas.
Budaya tulis menulis yang merupakan bagian dari apa yang sekarang ini di sebut sebagai aktifitas ke-jurnalistik-an adalah warisan dari para generasi awal (salafus shalih) yang harus tetap kita lestarikan. Melalui budaya inilah para ulama’ terdahulu bisa menghasilkan khazanah keilmuan yang masih dapat kita pelajari sampai sekarang. Kita tidak dapat membayangkan jika seandainya para ulama terdahulu, meminjam istilahnya Damarjati Supadjar, tidak melahirkan hasil ijtihad yang tersimpan di dalam batin mereka ke dalam tulisan. Apakah semua hasil para pemikiran pendahulu kita tersebut dapat kita warisi dan telaah sampai sekarang? Tentunya itu adalah rhetorical question yang tak perlu dijawab. Dari sini jelas bahwa pada dasarnya jurnalistik, sebutan lain dari aktifitas tulis-menulis, merupakan tradisi yang sudah semestinya kita budayakan.

MEMUPUK KEMBALI SEMANGAT MENULIS SANTRI DI PESANTREN

Oleh: Lenny Lestari_SANTRI UIN SUKA

a) Pendahuluan
Pesantren adalah sebuah lembaga yang bisa dikatakan wujud proses perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Secara historis, pesantren di Indonesia tidak hanya memainkan peran dalam aspek keIslaman saja, namun satu hal yang terpenting bahwa pesantren juga mengandung makna keaslian dari Indonesia (Indegenous). Walaupun awalnya dijalankan bukan dari tradisi Islam, melainkan Hindu-Budha. Akan tetapi tetap tidak mereduksi nilai-nilai spiritual Islam di dalamnya. Melihat realita ini, maka perjalanan pesantren di Indonesia tak lepas dari perkembangan tradisi sosial masyarakat bangsa Indonesia itu sendiri.
Berbicara tentang pesantren, maka secara tidak langsung kita juga berbicara mengenai santri, mengingat santri adalah satu-satunya term yang tak bisa dilepaskan dari dunia pesantren. Kata “santri” digunakan untuk menunjukkan pada golongan orang-orang Islam di Jawa yang memilki kecenderungan lebih kuat pada ajaran-ajaran agamanya. Mengapa di Jawa? Karena menurut Nurcholis Madjid, kata santri itu berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata “ Sastri”, yang artinya “melek huruf”. Menurutnya lagi, sepertinya pada permulaan tumbuhnya kekuasaan Islam di Demak, kaum Santri adalah kelas “literacy” bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab, atau paling tidak mereka bisa membaca Al-Quran yang membawanya pada sikap lebih serius untuk memahami agamanya. 

MAJALAH SANTRI UNTUK TULIS-MENULIS PESANTREN

Oleh: Fadhli Lukman_SANTRI UIN SUKA

Prof. K. Yudian Wahyudi, Phd pernah berkata, “Biar ada santri yang nulis disertasi bahasa Inggris di Harvard gitu lho!” Dari beberapa kesempatan, terlihat jelas bahwa pengasuh English Pesantren Nawesea ini memiliki impian luar biasa untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga intelektual terkemuka hingga taraf internasional. Beliau juga menyatakan bahwa salah satu kelemahan terbesar pesantren saat ini adalah kurangnya tradisi tulis-menulis. Kalangan pesantren dari masa ke masa membanggakan tradisi kitab kuning. Brand image pesantren ini bahkan diperlombakan antar santri pesantren untuk menguji pesantren manakah yang terbaik dalam urusan bergengsi ini. Akan tetapi, santri hanya disibukkan untuk membaca. Kitab gundul yang memiliki kesulitan luar biasa dikonsumsi secara intensif oleh santri, sehingga kesulitan demi kesulitan bisa ditanggulangi, dan hasilnya mereka terbiasa dan mampu membaca dengan baik. Lantas, tradisi menulisnya mana?!
Saya yakin setiap santri dan keluarga besar pesantren menyadari bahwa kitab-kitab klasik tersebut merupakan hasil karya ‘santri’ terdahulu yang dengan giat menulis ilmu-ilmu yang mereka dapatkan dari ‘kyai’ mereka. Akan tetapi, saya tidak begitu yakin jika kebanyakan mereka ‘sempat’ berpikir bahwa santri seabad atau dua abad ke depan akan membaca kitab-kitab magnum opus karya santri generasi ini. Jangankan untuk menulis sebuah karya besar layaknya Imam al-Syafi’i, al-Ghazali, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan sebagainya, untuk menulis artikel, essay, atau risalah-risalah kecil saja masih sangat minim di kalangan pesantren. Padahal, peradaban saat ini adalah peradaban tulisan. Nama seorang penulis akan terus diingat melewati masa yang panjang dengan tulisan yang bermutu, dibaca dari generasi ke generasi, meskipun jasadnya di liang lahat tidak menyisakan apa-apa lagi! Dan tulisan seorang santri akan terus mengalirkan pahala bagi penulisnya, selama tulisan tersebut terus dibaca, dipahami, dan diresapi santri generasi mendatang!

SANTRI DAN JURNALISTIK

Oleh: Muhammad Ikbal Iskandar_SANTRI ITB

Dewasa ini dunia tulis menulis merupakan elemen yang sangat pesat perkembangannya. Makin banyaknya berita televisi, surat kabar, media online, bahkan situs jejaring merupakan bukti logis yang terlihat nyata di kehidupan sehari-hari. Perkembangan media-media tersebut merupakan suatu keuntungan yang bisa dijadikan kesempatan oleh mereka yang tertarik dengan dunia tulis menulis, karena saat ini dunia tulis menulis tidak hanya milik mereka yang berprofesi sebagai pemburu berita, ataupun mereka yang berkerja di media. Siapapun bisa berkecimpung dalam jurnalistik, tanpa memandang usia, latar belakang pendidikan, agama maupun budaya. Bahkan, dewasa ini jurnalistik sudah digandrungi oleh remaja, termasuk santri. Hal ini disebabkan karena maraknya pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh direktorat pondok pesantren departemen agama Indonesia dan beberapa pesantren di indonesia. Hal ini dilakukan untuk melahirkan jurnalis santri yang tangguh, terampil, profesional dan bermoral, sehingga santri dapat bersaing dengan pelajar umum yang sudah terbiasa bergelut dengan dunia jurnalistik.
Santri, salah satu komponen di dunia pendidikan Indonesia yang tidak bisa dipisahkan, kini dituntut untuk memiliki peran yang lebih dari sekedar mengkaji kitab kuning. Santri juga memiliki peran penting dalam penyampaian informasi tentang ajaran agama Islam. Untuk itu, para santri membutuhkan pengetahuan tentang jurrnalistik untuk dapat mengembangkan potensi intelektual yang dimiliki oleh santri tersebut. Santri tidak melulu harus siap belajar agama saja akan tetapi santri juga harus siap menerima ilmu umum seperti jurnalistik agar kedua ilmu tersebut seimbang karena santri mempunyai peran penting yaitu untuk menyebarkan ajaran islam ke masyarakat luas. Oleh karenanya santri dituntut untuk bisa menguasai teknologi informasi dan komunikasi, termasuk media cetak. Meskipun kehidupan santri hanya bergelut di sekitar pesantren saja tetapi kemajuan teknologi informasi tidak boleh dipisahkan begitu saja.

JURNALISME, PESANTREN, DAN MAJALAH SANTRI

Oleh: Nanda Fira Pratiwi_SANTRI IPB

Jurnalisme bukanlah dunia baru yang sempit, ia sangat luas. Bicara jurnalisme tidak cukup hanya dengan berita, laporan kejadian, dan penulisan. Banyak orang mungkin menganggap jurnalisme hanyalah menulis suatu laporan berita. Itu salah besar. Jurnalisme adalah didalamnya fotografi, videografi, karikatur, dan teknologi yang digunakan untuk menyebarkan isi jurnalisme tersebut. Jurnalisme adalah bicara kebenaran, mengungkap kebenaran, dan mengoreksi ketidakbenaran. Ringkas, lugas, dan jelas, itulah jurnalisme.
Ketika suatu negeri antah barantah menyimpan kekayaan alam, keberadaannya disebarkan melalui jurnalisme. Ketika para pejabat terhormat itu merugikan negara, kisahnya diusut tuntas melalui jurnalisme. Ketika seorang anak bangsa berjuang untuk jati diri negaranya, jurnalisme lah yang memberitahukan kepada khalayak. Ketika seorang ibu kehilangan anaknya, jurnalisme membantu menyambungkan kembali relasi antara mereka. Jurnalisme membuat yang tidak jelas menjadi jelas, membuat yang bengkok menjadi lurus, dan menyambungkan kembali ia yang terputus.
Jurnalisme juga menyebarkan inovasi, terikut didalamnya pesantren yang berinovasi untuk berkembang dengan mengadopsi model pendidikan modern tanpa menghilangkan nilai-nilai keagamaan. Membuka mata santrinya kepada dunia luar dengan tetap memberi rambu-rambu kepada jalan kebenaran. Banyak pesantren saat ini yang meluluskan santri-santri yang tidak sekedar memahami Kitab Kuning, Hadits, Tafsir, Fiqih, Sunnah, dan Bahasa Arab. Santri saat ini telah mengenal apa itu komputer, internet, bahkan banyak santri yang mahir mengolah web dan membuat pemrograman layaknya siswa jurusan teknik komputer.

MAJALAH SANTRI UNTUK SANTRI INDONESIA

Oleh: Zainul Fuadi Akbar_SANTRI IPB

Di indonesia, hampir di setiap daerah ada lembaga pesantren sebagai sarana untuk belajar agama islam. Menjamurnya pesantren di setiap sudut kota/desa tentunya tidak lepas dari peran walisongo yang sangat teguh dalam menyebarkan ajaran islam, khususnya di pulau jawa. Diakui atau tidak, Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam dan telah banyak memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan bangsa ini. Sejak kelahirannya, pesantren terus berevolusi dan bermetamorfosis dari segi bentuk, fungsi, dan perannya. Dengan demikian, pesantren bukanlah sebuah realitas tunggal, tetapi merupakan realitas yang multistruktur, multifungsi, dan multiperan.
Namun pada akhir-akhir ini, kondisi memprihatinkan tengah dihadapi masyarakat pesantren. Sebagai sebuah respon atas perkembangan zaman, masyarakat modern menginginkan perubahan terjadi dalam diri pesantren. Masyarakat memandang zaman telah berkembang menuju era globalisasi. Mereka menuntut pesantren sebagai institusi pendidikan untuk melakukan akselerasi dan transformasi kearah perkembangan tersebut. 

Kamis, 16 Juni 2011

SINETRON ISLAMI: POSITIF-NEGATIF

Oleh: Fadhli Lukman_SANTRI UIN SUKA

Pembaca yang budiman, beberapa waktu terakhir ini sinetron-sinetron di media elektronik mulai mengandung nilai-nilai dakwah yang sangat kental. Sinetron-sinetron tersebut menyampaikan pesan-pesan dan nasihat-nasihat yang sangat terkesan Islami. Dalam setiap adegannya, para tokoh selalu mengucap salam ketika bertemu, mengulang-ulang kalimat thayyibah, menyeru kepada kabaikan sekaligus melarang keburukan (amr ma’ruf wa nahy ‘an mungkar), dan bahkan ada yang secara khusus menyelipkan ceramah dari seorang Ustaz mengenai pesan-pesan keagamaan.
Jika diperhatikan lebih lanjut, sinetron tersebut tidak hanya berbicara mengenai Islam semata. Sinetron-sinetron tersebut mulai merambah institusi pendidikan Islam yang telah mengakar di Indonesia. Apakah itu? Tentu kebanyakan Anda bisa menebak. Ya, pesantren! Beberapa judul sinetron mulai menggunakan symbol-simbol kepesantrenan dengan beberapa unsur di dalamnya, mulai dari sosok kyai, santri, nizham, ta’zir, barokah, dan sebagainya. Sebagai bumbunya, sinetron ini mengemas cerita dengan tayangan-tayangan komedi yang mengocok perut penontonnya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls