Minggu, 05 Februari 2012

AL-AHKAMUS SULTHANIYAH DAN SEMANGAT PATRIOTISME SANTRI




Kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah –terutama yang disusun oleh Al-Mawardi- sangat popular di kalangan umat Islam, suatu hal yang sangat wajar mengingat kitab tersebut merupakan kitab pertama yang mengupas hukum tata Negara. Al-Mawardi yang nama lengkapnya Imam Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi, lahir pada tahun 370 H dan berkembang dewasa hingga wafatnya pada era kedua khilafah Abbasiyah.
Di lihat dari masa penulisannya, gagasan-gagasan dalam Al-Ahkamus Sulthaniyah merupakan gagasan yang cemerlang dan berani, karena Al-Mawardi meskipun menempatkan seorang Imam (Khalifah, Presiden) sebagai figur sentral dengan segala ke-maha-rajaannya, akan tetapi Al-Mawardi juga berani berbicara tentang perlunya seorang Imam mengundurkan diri dari jabatannya jika tidak bisa memimpin secara adil.

Namun demikian, kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah masih didasarkan pada realitas waktu itu bahwa Negara Islam (daulah Islamiyah) adalah satu kesatuan, baik politik, ekonomi, hukum dan territorial, belum mengasumsikan bahwa daulah Islamiyah akan terpecah-pecah ke dalam berbagai negara bangsa (nation state)  seperti pada saat sekarang.
Konsep Nation State                        
Konsep nation state (negara bangsa)  pada mulanya tidak dikenal di kalangan umat Islam karena konsep tersebut berasal dari negara-negara barat sebagaimana pertama kali diperkenalkan oleh Nicollo Machiavelli (1469-1527).[1]  Dalam konsep nation state,  pembentukan sebuah negara lebih didasarkan pada kesamaan warga negara, bahasa, territorial, nasionalisme dan kedaulatan rakyat. [2]  Oleh karena itu konsep nation state mengandung hubungan kontraktual dan transaksional di antara para pendukungnya.
Walter C. Opello, Jr. and Stephen J. Rosow menjelaskan, the nation state is a type of politico-military rule that, first, has a distinct geographically defined territory over which it exercises jurisdiction; second, has sovereignty over its territory, which means that its jurisdiction is theoretically exclusive of outside interference by other nation-states or entities; third, it has a government made up of public offices and roles that control and administer the territory and population subject to the state’s jurisdiction; fourth, it has fixed boundaries marked on the ground by entry and exit points and, in some cases, by fences patrolled by border guards and armies; fifth, its government claims a monopoly on the legitimate use of physical coercion over its population; sixth, its population manifests, to a greater or lesser degree, a sense of national identity; and, seventh, it can rely, to a greater or lesser degree, on the obedience and loyalty of its inhabitants. [3]
Sedangkan tatanan berbangsa dan bernegara dalam Islam sebagaimana dipaparkan dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah adalah khilafatisme (universalisme) sebagaimana dipraktekkan pada zaman Nabi Muhammad SAW dan masa para Khalifah (al-Khuafa’ al-Rasyidun) hingga runtuhnya Khilafah Usmaniyah pada tahun 1922. [4]  Namun sejarah mencatat, setelah  al-Kulafa al-Rasyidun –yakni sejak berkuasanya Bani Umayyah-  bentuk negara berubah secara diametral dari sebelumnya menjadi al-Mamlakah (kerajaan). Khilafatisme dalam bentuk monarchihereditis atau kerajaan turun temurun ini di tangan Bani Umayyah berjalan hampir satu abad (sekitar 90 tahun), demikian pula dinasti berikutnya Abbasiyah yang berkuasa cukup lama sekitar 5 abad (750 – 1258 M) juga melestarikan sistem kerajaan. Sistem ini terus berlangsung sampai abad 19 ditandai dengan jatuhnya khilafah Turki Usmani tersebut.[5] Al-Mawardi sendiri tidak mempersoalkan bentuk kerajaan bagi Negara Islam, bahkan ia cenderung melegitimasinya.
Menjelang jatuhnya khilafah Turki Usmani, imperialisme dan kolonialisme barat mulai memasuki wilayah dan jantung kekuasaan Islam, dan issue nation state mulai digelindingkan dan direspons oleh sejumlah pemuka politik dan pemuka agama. Tanpa bisa dielakkan, hal ini menuntut para jurists Islam untuk merumuskan kembali sistem ketata-negaraan untuk disesuaikan dengan tuntutan perubahan. [6]
 Namun tidak semua pemuka Islam menerima konsep nation state. Al-Maududi misalnya, dia berpendirian bahwa ide  nation state tidak sesuai dengan tatanan Islam yang menganggap umat manusia adalah satu  keluarga. Apalagi ide nation state kemudian dianggap sebagai satu-satunya puncak kehidupan sosial yang  pada gilirannya menimbulkan  nasionalisme sempit atau nasionalisme ekstrim  (chauvinism) yang sangat berbahaya.[7]  Kekhawatiran tersebut terbukti dengan dijajahnya negara-negara berkembang, terutama negara-negara Islam oleh bangsa-bangsa barat selama kurun berabad-abad, termasuk Indonesia yang kemudian mengubah paradigma umat Islam di berbagai bidang kehidupan, termasuk konsep kenegaraan, politik, hukum, dsb.
 Adalah rentang sejarah umat Islam yang panjang dari masa formatifnya hingga sekarang, diakui atau tidak juga telah menimbulkan disparitas antara teks-teks normatif dengan realitas dan kebutuhan riil masyarakat. Fenomena yang terjadi kemudian adalah terjadinya gelombang iqlimiyah (lokalitas) di kalangan penguasa Islam untuk melakukan ‘politik domestikasi’ dimana negara kemudian berhasil menundukkan umat Islam baik secara politis, ideologis dan intelektual [8] untuk disesuaikan dengan kebutuhan lokalnya – bagi sebuah komunitas ummah dalam wadah negara bangsa. Universalitas syari’ah lalu berhadapan dengan konsep lokalitas dengan dalih agar ajaran-ajaran normatif agama tetap kompatibel. Dengan alasan ini, diharapkan masyarakat muslim akan terhindar dari pilihan ekstrim lainnya, yakni meninggalkan hukum agama karena tidak lagi fungsional untuk memenuhi kebutuhan hukum dan rasa keadilan.
Kuatnya pengaruh negara terhadap segala ‘milik warga negara’, juga mengakibatkan terjadinya pergeseran pemegang otoritas hukum Islam (syariah) dari  tangan ulama’ (jurists) kepada negara. Beberapa kasus dapat dikemukakan di sini, misalnya pemberlakuan hukum negara di Turki – yakni hukum perdata Islam yang dijadikan Undang-Undang -  melalui Al-Majallah Al-‘Adaliyah. Hal ini juga terjadi di Indonesia, yakni dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang kemudian berhadapan dengan hukum atau fikh masyarakat. Inilah ‘deprivatisasi’ hukum Islam yang semula di tangan para ulama (jurists) kemudian berpindah ke tangan negara sebagai implikasi pergumulan entitas Islam dan politik nation-state terhadap praktek dan pemikiran hukum Islam modern.[9]
Hasil dari pergumulan tersebut adalah hadirnya wajah Islam yang bersifat domestik, karena kemudian hukum (dan politik) Islam harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat lokal.  Di Indonesia pengaruh  ide ‘nation state’ juga nampak sikap mayoritas umat Islam bahwa NKRI dengan falsafah Pancasila adalah bentuk final dari upaya bangsa Indonesia (termasuk umat Islam) dalam membangun sebuah bangsa dan tatanan negara. Politik ‘domestikasi’ ini tentu tidak pas jika dikaitkan dengan konsep (politik) universalitas sebagaimana dipaparkan dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah. Namun justeru inilah yang menurut Bachtiar Effendi dikatakan sebagai ijtihad politik para pemikir dan tokoh Islam Indonesia, bahwa politik Islam harus tunduk pada spesifikasi dan partikularitas waktu dan tempat ia berkembang.  Sebaliknya cita-cita dan artikulasi politik atau ideologis yang lebih mengedepankan dimensi legalistik dan formalistik harus dihindari.
Dengan perubahan paradigma tersebut, menurut Bachtiar Effendi, yang ingin diwujudkan adalah prinsip-prinsip politik sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an, yakni nilai-nilai keadilan, kesamaan, dan musyawarah. Dengan kata lain, yang ingin diwujudkan bukan lagi daulah Islamiyah dalam bentuknya seperti yang dulu, melainkan masyarakat dan Negara yang adil makmur di bawah ampunan Ilahi.[10]
Bagaimana Sikap Santri ?
            Menghadapi perubahan paradigma di atas, sebetulnya santri dapat mengambil posisi yang realistis tanpa kehilangan idealisme. Sebagai sebuah realitas masa lalu, daulah Islamiyah dalam bentuk khilafah tidak terbantahkan lagi, dan sangat ideal jika umat Islam tetap berada dalam kesatuan, baik politik, territorial, ekonomi, dan seterusnya. Maka tidak bisa disalahkan jika saat ini sebagian umat Islam ada yang tetap berpegang pada romantisme masa lalu untuk kembali ke sistem khilafah.
            Namun ketika kita hidup dalam realitas saat ini, maka Islam harus dipahami bukan hanya memiliki dimensi legal-formal, tetapi juga memiliki dimensi fungsional yang bersifat esoteris. Di antara essensi ajaran Islam adalah li-utammima makarimal akhlaq (untuk menyempurnakan ahlak yang mulia).  Dalam kerangka negara bangsa (nation state) yang sering dikaitkan dengan demokrasi, Said Aqiel Siradj menegaskan, moralitas merupakan  standard yang harus dijunjung tinggi –terutama bagi pemimpin atau calon pemimpin.
                Islam juga memegang teguh ajaran tauhid (monotheisme) yang menegaskan, bahwa seluruh kekuatan selain Allah – termasuk penguasa- jika muncul sebagai kekuatan otoritarian dan atau diktator, maka haruslah diluruskan, atau jika perlu harus dihentikan guna memurnikan sikap tauhid. [11] Dalam konteks Indonesia, sebagian ahli mengatakan, pemikiran dan praktek politik Islam masa lalu mengalami kesenjangan yang tak terjembatani dengan ide-ide politik kalangan ‘nasionalis’, sehingga diperlukan cammon platform (panggung bersama) untuk menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Meminjam istilah Bachtiar Effendi, pilihan Pancasila sebagai cammon platform bangsa Indonesia merupakan pilihan cerdas (the smart choice).
            Santri dapat mengambil peran di berbagai sektor, terutama menjadi pengawal moralitas bangsa dan kemurnain tauhid. Negara kita memberikan ruang yang sangat luas untuk bejuang pada level tersebut, baik ketika menjadi kaum yang dipimpin maupun setelah menjadi kaum yang memimpin. Wallahu A’lam.
                                                                                                Yogyakarta, 10 Agustus 2011
Oleh :  A. Zuhdi Muhdlor                                    
Penulis adalah pengajar Pondok Pesantren Aji Mahasiswa Al-Muhsin, Krapyak, Yogyakarta, saat ini sedang menyelesaikan studi di program doktoral (S-3) PPs Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.




[1] Roger Scruton, Adictionary of Political Thought, (London : Macmillan Press, 1982), hlm. 446.
[2] Ibid, hlm. 312.
[3] Walter C. Opello Jr and Stephen J. Rosow,  The Nation-State and Global Order: A Historical Introduction to Contemporary Politics, (USA : Lynne Rienner Publishers, 2004).
[4] Dhiya’ ad-Din ar-Rais, Islam dan Khilafah (judul asli Al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkanb oleh Afif Muhammad), (Bandung : Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 215.
[5] Abu Yasid (muhaqqiq), Fikh Today 2 : Fatwa Tradisional Untuk Orang Modern, (Jakarta : Penerbit Erlangga), hlm. ix.
[6] Ibid.
[7]  Abul A’la Al Maududi, Gerakan Solidaritas Islam, (Jakarta : Sinar Hudaya Documenta, 1972), hlm. 7-8.
[8] Bahtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi,  (Yogyakarta : Galang Press, 2001), hlm. 46.
[9] Cipto Sembodo,  Deprivatisasi Syari’ah, Problem Relasi dan Pergumulan Islam dan Negara  Bangsa, makalah 2008. Lihat pula Akh. Minhaji, Islamic Law And Local Tradition, A Socio-Historical Approach (Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta Press, 2008), hal. 94.
[10] Ibid, hal. 47-48.
[11] Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaa, Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta : Pustaka Ciganjur, 1999), hal. 66-67.  

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls