Jumat, 17 Juni 2011

MUTIARA JURNALISME DI BALIK PESANTREN

Oleh: Ahmad Luthfi Maghfurin_SANTRI IAIN SUNAN AMPEL

Santri adalah gambaran seseorang yang digembleng dalam penjara suci (pesantren), di dalamnya mereka selalu menimba ilmu, mengasah diri, budi pekerti dan tak mengenal menyerah walaupun dengan segala keterbatasan dalam meraih cita-cita, jadi laiknya seorang santri yang ideal semestinya menanam harapan tinggi dalam meraih setiap mimpi. Makan seadanya, minumpun air wudhu sebagai pengganjal laparnya dikala bekal mondok sedang menipis, tak pelak puasa-pun menjadi kawan terindah untuk bersabar menghadapi terpaan badai cobaan dalam mengarungi samudera keilmuan di dunia pesantren, itulah gambaran singkat tentang seoarang santri. Tradisi membaca, menelaah, dan berdiskusi (musyawarah) yang lazim dipelihara kalangan santri di pondok pesantren, adalah bekal yang sangat baik untuk menjadi penulis handal, karena tradisi itu menjadi prasyarat untuk menulis. Butuh keberanian dan keteguhan untuk menghadirkan kembali ragam karya tulis santri yang inspiratif dan bermanfaat bagi khalayak. Sejarah yang hadir saat ini, sebenarnya akan berlalu begitu saja tanpa hadirnya karya tulis para santri pendahulu. Menulis adalah sesuatu yang bisa dilatih, seperti halnya bermain sepak bola atau menyanyi. Hanya mereka yang tekun berlatih yang akan melewati kendala seperti diungkap banyak orang, bahwa menulis itu sulit. 
Kemampuan di bidang tulis menulis, adalah salah satu potensi yang senantiasa menjadi perhatian dalam peroses pendidikan di pesantren. Budaya bertutur dengan lisan dan tulisan merupakan budaya turun temurun yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan pesantren. Banyak orang beranggapan bahwa pesantren akan mencetak orang-orang yang kolot dan kuper. Tapi hal itu dapat kita sanggah akan kesalahan anggapan itu, karena pada dasarnya pesantren merupakan wadah segala ilmu. Baik itu ilmu tentang agama dan ilmu umum, misalnya tauhid, fiqih dan nahwu. Dari segi ilmu umum, dapat kita ambil contoh matematika, fisika, biologi dan bahasa Indonesia. Maka pesantren merupakan sistem perpaduan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, sehingga intelektual terdidik dan moralpun ikut juga terdidik, maka tidak ada simpang-siur dan seimbang antara moral dan intelektual. Jelaslah orang-orang pesantren tidak akan pernah dikatakan kolot dan kuper. Hal ini dapat dibuktikan dengan Banyaknya para penulis dan peraktisi sastra muncul dari dunia pesantren seperti alm. Nurkholish Madjid yang lebih populer dengan panggilan Cak Nur, Emha Ainun Nadjib atau yang lebih akrab dengan sebutan Cak Nun, alm KH. Abdurrahman Wahid atau Gusdur, Abdul Hadi WM., D. Zawawie Imran, Jamaldi Rahman, dan masih banyak lagi. Bahkan Seorang sastrawan legandaris seperti Taufieq Ismail, alm. Rendra sangat akrab dengan dunia pesantren.
Pesantren mempunyai peran khusus dalam menciptakan bibit-bibit jurnalis, karena sudah jelas pesantren sangat strategis untuk menciptakan bibit jurnalis yang unggul. Coba kita lihat akan keidentikan jurnalistik itu sendiri identik dengan tulis menulis, sedangkan pesantren menggunakan sistem belajar atu pendidikan 24 jam dimana pendidikan itu tidak akan pernah lepas dari yang namanya jurnalisti atau tulis menulis,jadi secara otomatis pesatren adalah gudang para jurnalis. Namun dalam perjalananya, perkembangan jurnalistik di pesantren memang tidak berkembang secara merata, hal ini dikarenakan sarana prasarana dan model dari masing-masing pesantren yang memang berbeda. Dalam bidang kejurnalistikan, pada dasarnya pesantren tidak akan kekurangan stok karena setiap kali dan setiap waktu mereka (santriwan dan santriwati) hanya diisi dengan ibadah, menulis dan belajar. Sehingga mengakibatkan bagi mereka terbiasa menulis dan mengenal kaidah dalam tulis-menulis, sebagai mana pepatah mengatakan _ bisa karena terbiasa_. Segala sesuatu apabila sudah terbiasa, maka lambat laun akan bisa. Apalagi dalam pesantren itu disediakan tempat khusus untuk mengenal lebih dalam tentang jurnalistik, misalnya majalah, buletin, mading dan masih banyak lagi yang lainnya. Kita ambil contoh yang telah terkenal saja seperti majalah Buletin SIDOGIRI dan majalah QALAM, buletin dan majalah tersebut ditulis dan diterbitkan di pesantren, Maka sudah jelas akan status pesantren dengan jurnalistik yang telah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Dengan adanya majalah santri adalah sebuah langkah maju dalam jurnalistik pesantren yang merupakan sebuah wadah untuk menampung aspirasi santri, tulisan-tulisan, kritikan dan bahkan khayalan lepas mereka. Santri harus berkarya dengan tulisannya karena senjata mereka adalah Al Qalam, dan senjata itu akan terasa sia-sia jika tidak mereka gunakan dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana fungsinya. Hal ini bertentangan dengan semangat keilmuan yang mereka emban sebagaimana yang di sabdakan Rasululla SAW: “Thalabul Ilmi Wajibatun Minal Mahdi Ila Lahdi” yang mengajarkan semangat untuk tidak berhenti mencari ilmu kecuali kematian yang menghentikan. Meskipun senjata telah digunakan akan tetapi senjata tersebut butuh amunisi agar dapat menembak sasaran. Yakni amunisi bacaan-bacaan yang harus mereka tempa demi ketajaman mereka dalam mengolah senjatanya. Jadi adanya potensi untuk menulis harus diimbangi dengan asupan bacaan karena hal itu yang akan mempertajam insting dalam dunia jurnalistik.
Kami turut turut mendudkung dengan di bentuknya majalah santri ini, inilah tempat kita bercocok tanam keilmuan, kita tanam sebanyak-banyaknya segala potensi yang kita punya kita tidak hanya mengusung misi keilmuan dalam menulis tapi ada pesan dan dakwah yang kita emban dalam tanggung jawab dan tugas tugas kita sebagai seorang santri. Jurnalistik dan dakwah adalah dua hal yang berbeda akan tetapi mempunyai koneksitas, karena keduanya mempuanyai misi yang sama yakni misi penyampaian informasi untuk dibaca, didengar, dipahami dan memberi pengetahuan serta manfaat terhadap penerima informasi. Jurnalistik yang identik dengan dunia kewartawanan tidak hanya menjadi wilayah garapan wartawan saja, justru kepedulian seseorang akan kehidupan sekitarnya lalu ia menulis akan hal itu dan memberikan manfaat terhadap orang lain adalah sebuah kewajiban bagi kita seorang muslim terlebih seorang santri sebagaimana semangat hadits nabi SAW “Khoirun Nas Anfa’uhum li Nas”. Maka dalam hal ini sudah semestinya kita berlomba-lomba dalam kebaikan dan meniti ridha ilahi, banyak jalan menuju kebaikan salah satunya dengan keilmuan kita dan tulisan kita agar memberi manfaat kepada orang lain. Semoga majalah akan terbit laiknya matahari yang menyinari bumi, sehingga dapat tertuju pada semua khalayak dan mendapat respon yang baik sebagaimana pendahulu-pendahulunya yang telah beradar di angkasa media massa.

2 komentar:

punyaanik mengatakan...

saya sangat salut dengan pendidikan pesantren dipundak merekalah bangsa ini berharap, sebagai generasi penerus yang cerdas intelektual, cerdas spiritual, cerdas emosional , sehingga akan tercipta Baldatun Toyyibatun Warobun Ghofur pasti terlaksana, Amin !

Majalah SANTRI mengatakan...

Terima Kasih Kang..
Mudah2an harapan kita semua tercapai...
Amminn...

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls