Rabu, 02 Maret 2011

MAHASISWA DAN AGENDA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Para pemerhati sosiologi masyarakat, khususnya di Indonesia, menempatkan mahasiswa sebagai sosok fenomenal yang memiliki peran strategis dalam perubahan masyarakat. Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 1928, perjuangan merebut kemerdekaan 1945, gerakan mahasiswa (baca: Angkatan) ‘66, peristiwa Malari (Limabelas Januari) 1974 dan gerakan reformasi menentang rezim Soeharto 1998 menjadi bukti historis yang menegaskan peran dan gerakan mahasiswa, tanpa bermaksud menafikan kontribusi masyarakat yang lain. Pertanyaan mendasar yang muncul dalam konteks gerakan mahasiswa di era kontemporer sekarang ini adalah bagaimana mahasiswa dapat memerankan dirinya mengusung agenda perubahan dan pemberdayaan masyarakat? Profil mahasiswa seperti apa yang dapat melakukan peran-peran pemberdayaan, dan bagaimana strategi untuk melakukannya.


Mahasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kementerian Agama RI  yang saat ini sedang menempuh studi di berbagai perguruan tinggi bergengsi di negeri ini, mempunyai tanggungjawab untuk ikut menyelesaikan problem-problem kerakyatan dan kebangsaan. Tulisan ini mencoba menganalisis peran strategis mahasiswa PBSB, yang notabene berasal dari pondok pesantren (baca: mahasantri) dalam konteks pemberdayaan pesantren dan masyarakat.


 


Sosok Mahasiswa


Menurut Arifin (1993), setidaknya ada tiga klasifikasi mahasiswa: pertama, klasifikasi psiko-biologis. Secara konseptual mahasiswa merupakan suatu sebutan bagi pemuda yang sedang melakukan studi di perguruan tinggi dan disebut dengan istilah student. Studium perkembangan mahasiswa ini berada pada masa remaja akhir dan dewasa awal (18-25 th). Secara psikologis dikatakan mondig yakni tingkat perkembangan biologis dan kejiwaan yang mulai masuk dewasa. Ciri utama taraf perkembangan kejiwaan ini adalah kuatnya dorongan untuk membebaskan diri dari norma sosial dan mencari identitas baru melalui proses interaksi yang tak berujung pangkal. Yakni proses yang terus menerus dicari. Dengan demikian mahasiswa akan menemukan pola pemikiran dan tindakan kesebayaan yang mandiri sebagai dasar pola pemikiran generasi  manusia.


Kedua, klasifikasi politik, yakni generasi yang oleh David C. Karton (1993)  disebut sebagai pemanggul beban dan penentu corak karakteristik masa depan bangsa. Secara historis telah dibuktikan melalui peran-peran politiknya melahirkan angkatan 1908, 1920, 45, 74, 78 dan 98. Kekuatan mahasiswa yang muncul saat itu lebih merupakan kekuatan massa daripada ide. Dalam posisi ini mahasiswa memiliki dua premis paradoks. Mahasiswa yang oleh kepentingan-kepentingan regenerasi politik diposisikan sebagai generasi pemegang estafet kepemimpinan bangsa. Sedang karena kekuatan massa dan opini publik dilihat sebagai kelompok penekan (pressure group) kebijakan negara.


Ketiga, klasifikasi intelektual, yaitu sebagai sosok yang tengah menimba ilmu di perguruan tinggi. Klasifikasi ini dicirikan dengan daya analisis kritisnya, baik dari spesialisai akademik (aspek profesionalitas) maupun wujud tanggungjawab keintelektualannya terhadap peranan sosio-politik makro (moral). Aspek kedua dan ketiga di atas oleh Edward Shills (1980) diidentifikasikan sebagai kelompok minoritas masyarakat yang kritis dan bertanggungjawab terhadap sosiomiliu-nya tanpa dibatasi ruang dan waktu.


Dari ketiga klasifikasi tersebut, kita dapat mengidentifikasi, merenung, memilah dan memilih klasifikasi mana yang akhirnya menjadi pilihan. Tidak semua mahasiswa mempunyai kecenderungan untuk terjun di dunia pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Sebagian memilih menekuni dunia intelektual murni, seminar, diskusi baca buku, dan sejenisnya. Sebagian yang lain menekuni seni budaya misalnya dengan aktif di kelompok teater, group musik, drama, dan kegiatan olahraga. Namun ada sebagian kecil dari mahasiswa -- sekitar 0,2%- memilih menjadi aktivis gerakan mahasiswa. Salah satu cirinya adalah aktif di organisasi kampus atau bahkan di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Salah satu karakter kelompok terakhir adalah selalu gelisah melihat fenomena-fenomena sosial-politik-ekonomi yang timpang, seperti kemiskinan, ketidakadilan, penggusuran, tindak kekerasan dan diskriminasi terutama yang menimpa kelompok masyarakat bawah dan juga korupsi yang membahayakan.



Tanggungjawab Sosial


Salah satu kelebihan mahasiswa dibanding kelompok masyarakat lain adalah mereka memiliki kemampuan menganalisis relaitas sosial. Kekuatan intelektual dan nuraninya telah menginspirasi tumbuhnya tanggungjawab dan kepekaan sosial, yaitu sebagai pembela kaum tertindas (mustad’afin). Nilai-nilai kenabian (profetis) selalu menancap dan tercermin dalam pribadinya, di saat banyak orang berebut untuk mengesampingkannya.


Menurut Shill (1980) mahasiswa mempunyai tradisi berfikir yang tumbuh karena didorong untuk menyerap, mengalami dan mengekspresikan suatu makna umum di tengah peristiwa konkrit yang khas. Dilakukan melalui kontak daya pengetahuan, penilaian moral, dan apresiasi estetis dengan sifat umum manusia masyarakat, alam dan jagad raya. Proses demikian merupakan wahana pendidikan moral, yang terarah dan sistematis untuk menumbuhkan kesadaran tentang kebenaran ilmiah yang tidak dapat berkompromi dengan ketidakjujuran. (MT Arifin, 1993)


Dengan demikian, mahasiswa dan realitas sosial (masyarakat) tidak bisa dipisahkan. Memisahkan mahasiswa dengan problem sosial hanya akan menyisakan “dosa sejarah” yang akan menyiksa mahasiswa di kemudian hari. Mereka dibentuk oleh wadah tempat “belajar” yaitu kampus, baik dalam pengertian harfiah maupun substansial. Dan juga besar karena persinggungannya dengan rakyat. Kepekaan demikian hanya akan didapatkan melalui proses analisis-kritis atas tanggungjawab yang diembannya sebagai kekuatan perintis, pendobrak sekaligus kekuatan pengisi kehidupan. Dengan idealismenya, mahasiswa rela berkorban untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan sesaat, materalistis dan hedonistis.



Pemberdayaan Masyarakat


Pemberdayaan masyarakat (empowering society) dimaksudkan sebagai bentuk penguatan posisi tawar masyarakat vis a vis negara.  Negara tidak dimungkinkan melakukan tindakan sewenang-wenang dan mengambil kebijakan dengan tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Hulme dan Turner (1990) sebagaimana dikutip Matori Abdul Jalil (1998), bahwa pemberdayan akan mendorong terjadinya satu perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik lokal dan nasional. Arah dari pemberdayaan masyarakat adalah menciptakan masyarakat yang beradab (civil society).


Kata pemberdayaan meliputi tiga matra menurut Friedman, yaitu matra kekuasaan social (social power), kekusaaan politik (political power) dan kekuasaan psikologis (psychological power). Kekuasaan sosial berarti bahwa rakyat memiliki akses yang luas atas sumber  informasi, pengetahuan dan ketrampilan partisipasi dalam organisasi sosial dan sumber keuangan. Matra kekuasaan politik mengacu ke proses pengambilan keputusan strategis khususnya pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depan rakyat dan kelompok-kelompok marginal. Sedangkan kekuasaan psikologis berkaitan dengan kesadaran akan potensi rakyat sendiri. Rakyat semakin memiliki kesadaran bahwa mereka memiliki kepentingan bersama, kesadaran berbeda dengan negara, akhirnya rakyat semakin sadar bahwa mereka bisa merubah kondisi dan posisi struktural mereka (MM. Billah, 1996). Peran mahasiswa adalah di wilayah gagasan, ide, pemikiran dan sekaligus gerakan pembebas yang lemah. Mahasiswa yang senantiasa berpegang pada idealisme menjauhi politik-praktis yang hanya berkepentingan sesaat, sehingga melupakan tugas mulianya sebagai pendamping masyarakat.


Wujud konkrit peran mahasiswa adalah: (1) menjadi penyumbang gagasan yang progresif bagi kepentingan pembangunan di wilayah pemikiran. Hal ini dapat dilakukan dengan berdiskusi, sharing wacana, menulis di koran, pelatihan dan penelitian; (2) sebagai aktor pendamping rakyat di wilayah pergerakan, misalnya melakukan pendekatan kepada pemegang kebijakan, dengar pendapat dengan dewan legislatif, dan demonstrasi; (3) memberikan advokasi kepentingan masyarakat luas di mata negara/penguasa, seperti nasib petani, buruh, nelayan, kaum miskin juga nasib kaum marginal termasuk pesantren.


Ketiga peran tersebut oleh beberapa kalangan dianggap masih bersifat makro dan bahkan abstrak karena pemberdayaan masyarakat adalah agenda besar. Namun, secara substansial, mahasiswa perlu melakukan upaya konkrit yang dimulai dari lingkup mikro dan lokal, think globally act locally.


 


Peran Mahasiswa PBSB


Mahasiswa peserta Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kementerian Agama RI yang tersebar di ITB, IPB, UIN Syarif Hidayatullah, IAIN Walisongo, UIN Sunan Kalijaga, UGM, ITS, UNAIR, IAIN Sunan Ampel, UIN Maliki Malang dan Universitas Mataram pada hakikatnya mempunyai tanggungjawab yang sama dengan mahasiswa Indonesia lainnya menjadi agen-agen pemberdayaan masyarakat. Dalam lingkup sempit, mereka adalah duta pesantren dan masyarakat bukan hanya duta keluarga yang nantinya akan menjadi pioneer pengembangan dan pemberdayaan pesantren dan masyarakat.


Dibandingkan mahasiswa lain, mahasiswa PBSB (atau lebih tepat disebut ”mahasantri”) mempunyai kapasitas, peran dan posisi yang strategis dalam memberdayakan masyarakat terutama kaum mustadh’afin, terutama dengan bekal social capital yang mereka miliki. Dalam konteks kualitas personal, mereka mempunyai dua kompetensi sekaligus yaitu ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sebagai sarana pendukung pembangunan yang amat vital. Penguasaan bahasa asing, bahasa Inggris, Jerman China, dan bahasa Arab, juga menjadi kekuaan strategis guna memperluas cakrawala dan hubungan dengan dunia luar. Selain itu, mereka mempunyai media pengabdian yang sudah jelas yaitu pesantren alamamater mereka, berbeda dengan mahasiswa pada umumnya yang masih gamang dan bingung ke mana nantinya akan mengabdikan diri. Mereka sebagian besar adalah santri pilihan yang (biasanya) memiliki kedekatan lebih atau hubungan khusus dengan pemegang kebijakan di pesantren.


Secara substansial, semangat PBSB adalah memberdayakan pesantren, bukan memberdayakan santri secara personal saja. Artinya, mahasiswa PBSB mempunyai tanggung jawab untuk membawa perubahan di masyarakat, minimal pesantren almamaternya. Idealnya, mahasantri menjauhi kepentingan-kepentingan yang bersifat personal dan temporer, tapi lebih mengedepankan kepentingan komunal dan berkelanjutan.  Konkritnya, kemajuan dan pemberdayaan pesantren harus menjadi concern utama dari pada sekedar memikirkan karier pribadi, apalagi menganggap “pengabdian” sebagai beban.


Agar bisa melakukan itu, maka mindset tentang studi dan pendidikan harusnya bukan academic oriented semata. Namun dipahami sebagai proses membekali diri guna membawa pesantren ke arah yang lebih baik. Selama studi berjalan, mahasantri bukan hanya perlu menguasai mata kuliah yang diajarkan di kampus namun juga perlu menjalin komunikasi dengan pihak-pihak strategis dan memperluas jaringan baik yang bersifat personal maupun kelembagaan. Di saat yang sama, komunikasi dengan alamamater juga harus dibangun secara intensif sehingga tetap mampu mengikuti perkembangan pesantren. Dengan begitu, setelah studi berakhir dan mereka kembali ke pesantren, diharapkan mereka sebisa mungkin langsung menyatu dengan ”degup” dan nafas pesantren.


Memang, mahasantri tidak bisa melakukan pemberdayaan seorang diri, karena membutuhkan partisipasi dan kontribusi elemen –elemen lain yang ada di pesantren dan masyarakat. Namun, setidaknya mereka bisa menjadi motor penggerak gerbong pesantren ke arah yang lebih menjanjikan. Jika para mahasantri mampu memerankan dirinya sebagai aktor utama pengembangan di masing-masing pesantren, diprediksikan sepuluh atau duapuluh tahun yang akan datang dunia akan mengenal pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat yang ideal, bukan hanya sekedar tempat belajar mengaji dengan berbagai problematika dan cerita pilunya. Wallaahu a’lam.



Oleh: Ruchman Basori (Mantan Ketua Senat Mahasiswa IAIN Walisongo (1998-1999) dan Saat ini Pendamping Mahasiswa PBSB Kementerian Agama RI)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls