Jumat, 17 Juni 2011

SANTRI DALAM HIRUK PIKUK ERA GLOBALISASI

Oleh: Juwari_SANTRI UGM

Ada berbagai pendapat dari para ahli mengenai definisi jurnalistik. Salah satu ahli, Onong U. Effendi, mendefinisikan jurnalistik sebagai teknik mengelola berita sejak dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak. Jurnalistik yang terkemas dalam berbagai produk media masa memegang peran penting dalam kehidupan manusia saat ini. Melalui berbagai produknya, jurnalistik telah menjadi sebuah kekuatan politik yang mampu menggerakkan dan membentuk mind set masyarakat secara masif. Di era globalisasi ini, proses hegemoni yang terjadi diberbagai bidang telah menjadikan media masa sebagai sarana yang paling efektif untuk mempengaruhi publik. Begitulah kekuatan pengaruh media dalam kehidupan manusia, namun di sisi lain, media masa juga menawarkan sebuah wahana yang menjanjikan sebagai pranata yang harus kita maksimalkan sebagai sarana da’wah, baik dalam artian sempit maupun lebih luas.
Budaya tulis menulis yang merupakan bagian dari apa yang sekarang ini di sebut sebagai aktifitas ke-jurnalistik-an adalah warisan dari para generasi awal (salafus shalih) yang harus tetap kita lestarikan. Melalui budaya inilah para ulama’ terdahulu bisa menghasilkan khazanah keilmuan yang masih dapat kita pelajari sampai sekarang. Kita tidak dapat membayangkan jika seandainya para ulama terdahulu, meminjam istilahnya Damarjati Supadjar, tidak melahirkan hasil ijtihad yang tersimpan di dalam batin mereka ke dalam tulisan. Apakah semua hasil para pemikiran pendahulu kita tersebut dapat kita warisi dan telaah sampai sekarang? Tentunya itu adalah rhetorical question yang tak perlu dijawab. Dari sini jelas bahwa pada dasarnya jurnalistik, sebutan lain dari aktifitas tulis-menulis, merupakan tradisi yang sudah semestinya kita budayakan.
Dengan melihat peran strategis media masa, kehadiran majalah SANTRI adalah sebuah respon positif dalam menatap genggap-gembita era komunikasi saat ini. Salah satu peran SANTRI adalah memediasi para santri, khususnya yang tergabung dalam komunitas CSS MORA, dalam mengasah keterampilan di dunia literer. Setidaknya, kemampuan dan etos jurnalistik akan men-support proses pembelajaran kita, sesuai dengan bidang masing-masing.
Munculnya majalah SANTRI ditengah hiruk-pikuknya fenomena ghoswatul fikr yang terjadi saat ini juga merupakan sebuah jawaban atas berbagai kegalauan dan tuduhan miring yang menimpa institusi pesantren yang dianggap sebagai institusi pendidikan yang masih terbelakang. Image pesantren sebagai lembaga pendidikan yang kumuh dan hanya diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah harus kita ubah. Untuk itu, SANTRI diharapkan mampu menjadi sebuah testimoni terhadap berbagai tuduhan tersebut. Publikasi akan prestasi teman-teman CSS MORA dari berbagai bidang keilmuan yang tersebar di berbagai PTN di Indonesia ini adalah representasi kemampuan kita dalam bidang pendidikan, baik itu bidang agama maupun bidang umum. Di sini kehadiran SANTRI adalah sebagai media publikasi yang kemudian menjadi proof bahwa stigma semacam itu tidak benar. Pada dasarnya kita, yang mengidentifikasikan diri sebagai santri, mempunyai kemampuan yang tak kalah dengan para mahasiswa lain yang notabene berasal dari sekolah umum. Ini kemudian menjadi semacam media da’wah dalam memperkenalkan pesantren ke dunia luar, bahwa lembaga pesantren tak hanya sebagai institusi pendidikan yang mengedepankan segi spiritual saja, namun juga memprioritaskan pengetahuan umum sebagai jawaban tantangan zaman.
Santri bukan lagi sekedar entitas kaum “bersarung” yang hanya berkutat pada literaratur kitab klasik saja. Namun sebaliknya, dengan seiring berkembangnya zaman, santri seharusnya mampu memposisikan dirinya secara aktif, bukan lagi sekedar penonton setia namun juga ikut barpartisipasi dalam menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik.
Wacana ini haruslah menjadi trend image bagi santri dan pesantren kepada dunia luar. santri adalah entitas cendikiawan, ilmuan dan intelektual, bukan sampah yang menjadi mangsa pasar global. Selanjutnya majalah SANTRI berperan sebagai jendela untuk melihat karakter dan budaya kepesantrenan sebagai representasi dari umat Islam indosesia yang terpelajar, ramah, toleran dan cinta damai, Islam yang rahmatal lil’alamin.
Sebagai penutup, penulis sangat mengharapkan bahwa majalah SANTRI tidak hanya konsumsi para santri CSS MORA saja. Saya pikir majalah ini bisa menjadi sebuah motivator tersendiri bagai generasi muda santri yang kebetulan masih duduk di bangku Aliyah dan di bawahnya. Dengan melihat achievement dari para senior mereka di berbagai bidang keilmuan, tentunya mereka akan lebih termotivasi. Ini menjadi sangat penting karena dari situlah para santri akan menjadi lebih confident dan menyadari potensi besar (great potential) yang ada dalam diri mereka. Mereka tidak lagi merasa inferior dengan status santri yang mereka sandang, dan mereka akan lebih termotivasi untuk belajar.
Disinilah peran majalah SANTRI sebenarna, menjadi pioner dalam kebangkitan entitas kaum “bersarung”. Meretas jalan kemajuan bagi subkultur pesantren yang salama ini mendapatkan stigma yang kurang mengenakkan dari masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls