Jumat, 17 Juni 2011

SAATNYA SANTRI UNJUK GIGI

Oleh: Nahdiyatul Ummah_SANTRI UNAIR

“Santri. Ketika mendengar satu kata ini, yang akan segera muncul dalam benak seseorang adalah manusia yang sarat dengan kultur kesantrian, religius, dan tradisional. Padahal santri juga merupakan bagian dari intelektualitas. Bagaimanakah mengarahkan pandangan yang begitu mengakar ini?”



Dunia intelektualitas menganggap bahwa orang yang intelek akan terlihat dari bagaimana dia menghasilkan karya-karya, produktif, dan aktif, baik dalam karya-karya ilmiah maupun karya-karya non ilmiah. Salah satunya adalah karya berupa tulisan. Tengoklah para Ulama’ dan Ilmuan (dalam perspektif barat dan timur) terdahulu yang banyak menghasilkan banyak kitab dan buku hingga mampu mentransfer ilmu pada generasi-generasi jauh sesudahnya, hingga sekarang, bahkan hingga masa yang akan datang. Bagaimanakah ilmu bisa sampai pada manusia di dunia tanpa mengenal ruang dan waktu jika ilmu itu tidak ditulis oleh yang punya ilmu? Bagaimanakah manusia bisa mengetahui apa-apa yang tidak ia ketahui pada masa lampau jika tidak ada yang memberitahukan kepadanya? Dampak ini begitu besar pengaruhnya terhadap dunia tentu saja, hanya dengan ‘bayangkan bahwa’ orang-orang yang punya ilmu tadi, pada masa yang lalu, tidak menuliskan ilmunya. Benar bahwa ilmu akan dicabut dari dunia dengan mencabut nyawa orang yang punya ilmu. Ketika seorang alim meninggal dunia dan ada ilmu yang belum ia sampaikan pada manusia yang lain, maka ilmu itu akan tercabut seiring dengan dicabut pula nyawa sang alim. Jika sang alim tidak sempat menuliskan ilmunya, maka ilmu itu tidak akan pernah diketahui oleh manusia-manusia yang lain. Maka benar memang, hanya dengan tulisan, banyak hal yang mampu dilakukan manusia, termasuk memberikan ilmu pada dunia. Benar kata Pramoedya Ananta Toer, manusia boleh pandai setinggi langit, tapi jika tidak menulis, dia akan hilang ditelan masa.
Tulisan sebenarnya merupakan media penyampai yang baik. Tulisan merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang bobotnya sama dengan media penyampai yang lain. Tulisan pada akhirnya menjadi media komunikasi yang lebih baik ketika seseorang kurang mampu menyampaikan apa-apa yang hendak disampaikan pada orang lain secara langsung. Ketika seseorang akan menimbulkan kondisi yang kurang baik dengan menyampaikan sesuatu hal secara langsung, maka tulisan akan secara tidak langsung menyampaikannya dengan labih baik, karena tulisan dapat dibaca dan ditelaah lagi sebelum sampai pada orang lain yang membacanya, tidak seperti halnya berbicara secara langsung yang tidak bisa diedit -namun harus dipersiapkan dengan baik terlebih dahulu- sebelum sampai pada orang lain. Dengan tulisan, orang-orang tidak hanya mampu berbicara dalam ruang dan waktu yang terbatas, tidak seperti hanya sekedar berbicara dan menyampaikan secara langsung. Bagi sebagian orang, membaca dan berbicara merupakan hal yang mudah dilakukan, tapi tidak dengan menulis, karena sebelum menulis, ia harus lebih dahulu membaca dan berfikir. Merangkai kata-kata, mencari diksi yang tepat dan membuat rangkaian kata-kata tersebut menjadi kalimat yang baik membutuhkan pengetahuan dan pembiasaan. Belum lagi kemampuan menyusun kalimat-kalimat tersebut menjadi tulisan yang baik, bisa dibaca oleh siapapun, dari kalangan manapun dengan background apapun, karena menulis pun perlu berfikir dalam berbagai sudut pandang. Tidak semua orang mampu dan mau melakukan hal tersebut, karena menulis berada satu tingkat diatas membaca (padahal membaca kadang-kadang menjadi tingkatan pertama yang sulit dilalui). Orang yang bisa menulis banyak hal tentu saja adalah orang yang sudah membaca lebih banyak hal.
Belum banyak yang perduli dengan paradigma tadi. Apa yang dilakukan saat ini lebih banyak dengan cukup mengetahui apa yang disampaikan dalam tulisan-tulisan, yakni mengkaji ilmu. Padahal tidaklah cukup sampai disitu, kembali lagi pada paradigma bahwa orang yang intelek akan terlihat dari karya-karyanya. Santri dalam hal ini pun menjadi subyek, karena santri juga merupakan elemen masyarakat yang religius dan intelek. Namun belum banyak memang yang menyadari kondisi ini. Padahal santri juga banyak bergelut dengan tulisan-tulisan para Ulma’ dalam kitab-kitabnya, yang menandakan bahwa para ulama’ pun adalah ahli kitab, menuliskan ilmu yang ia miliki untuk disampaikan pada umat di dunia. Santri pun harus memahami betul akan hal ini. Ia tidak cukup hanya sampai pada membaca, mengkaji dan mengamalkan saja, tapi juga lebih banyak lagi membaca dan mengkaji, hingga ia bisa lebih banyak menulis. Salah satu hal yang membuat santri di mata orang kebanyakan hanya terbatas pada tiga hal tadi; kultur kesantrian, religius dan tradisional, adalah karena belum banyak orang dari kalangan pesantren yang menggeluti dunia intelektualitas dengan menghasilkan karya-karya berupa tulisan. Seperti dikatakan bahwa tulisan merupakan media penyampai yang baik, maka paradigma bahwa intelektualitas belum beriringan dengan dunia santri masih tetap melekat dalam pikiran masyarakat.
Santri merupakan sumber daya yang bernilai lebih daripada masyarakat intelek tanpa titel kesantrian. Alangkah lebih baiknya ia ketika tidak hanya ilmu dalam urusan-urusan agama yang ia kuasai benar, tapi juga pengetahuan-pengetahuan yang bersifat umum. Ilmu dunia tanpa akhirat adalah buta, dan ilmu akhirat tanpa dunia adalah pincang. Santri tidaklah pincang, tapi santri bisa berjalan dengan baik karena ia tidak buta, tidak pincang dan berkesempatan besar untuk berlari dengan cepat. Manusia memang berfikir pada batas-batas. Diantara buta dan pincang tadi, lebih banyak orang yang pincang, lebih banyak lagi orang yang buta, namun sedikit yang tidak pincang dan tidak buta. Kini santri tidaklah lagi mesti bertitel pincang karena tidak beriringan dengan urusan-urusan dan ilmu umum yang lebih bersentuhan dengan intelektulitas tersebut, karena santri mampu dalam keduanya. Kondisi kini belum demikian memang, bahkan masih ada yang belum tersentuh dengan hal ini, yang tetap membiarkan diri menjadi pincang. Dengan demikian benarlah kiranya bahwa intelektualitas harus pula melekat dalam diri santri.
Salah satu hal -hal kecil- yang secara riil dapat dilakukan saat ini adalah pembiasaan diri menuliskan hal-hal yang hendak ditulis. Sebelum sampai pada tulisan-tulisan yang baik, haruslah lebih dahulu melalui tulisan-tulisan yang sederhana. Yang terpenting adalah terbiasa menyampaikan hal-hal yang baik dan benar dengan penyampaian yang baik dan benar pula, hingga nantinya mampu menyampaikan pengetahuan dengan baik dan benar. Dekat dengan jurnalistik dapat menjadi cara yang baik sebelum benar-benar terjun dalam dunia tulisan yang lebih luas, karena jurnalistik akan membiasakan diri menyampaikan ide-ide dan pengetahuan dalam bentuk tulisan. Tentu saja harus pula berbekal lebih banyak membaca dan berfikir lebih dahulu. Jurnalistik pun akan menjadi sebuah media, ia akan menyampaikan hal-hal yang hendak disampaikan kepada orang lain melalui tulisan. Maka terdapat fungsi ganda yang dapat diaplikasikan, selain mampu menghasilkan tulisan yang baik yang setingkat diatas membaca dan berfikir, juga dapat menyampaikan perihal yang baik yang tidak terbatas pada ruang dan waktu. Dalam ranah yang lebih spesifik, santri menjadi subyek yang penting untuk menyampaikan pengetahuan-pengetahuan agama. Misi besar untuk menyampaikan kebaikan dan kebenaran. Ketika santri terbiasa menuliskan hal-hal yang ia tulis, tentunya dengan label kesantriannya yang tidak lepas dari pengetahuan agama, maka akan lebih banyak yang bisa disampaikan kepada orang lain melalui media tulisan. Terlebih lagi jika santri mampu menulis dengan baik dan dapat dibaca oleh orang-orang yang tepat, yang memang sudah seharusnya membaca tulisan-tulisan para santri, maka akan berlipat ganda lagi manfaat yang dapat diciptakan melalui tulisan.
Keberadaan sebuah wadah jurnalistik bagi santri tentu menjadi hal yang akan sangat mendukung kemampuan santri mengembangkan dan membiasakan diri untuk menulis. Santri bisa banyak belajar menuliskan ide-ide, baik dalam tulisan ilmiah seperti artikel dan essay, tulisan non ilmiah seperti reportase dan berita, maupun tulisan berupa sastra seperti cerpen, puisi, naskah drama, dan lain sebagainya. Melalui wadah jurnalistik pula, santri bisa mempromosikan diri, bahwa santri pun merupakan bagian dari masyarakat yang intelek, tidak berbatas pada religiusitas saja. Maka dunia pun akan tahu bahwa religiusitas santri dapat berlari beriringan dengan intelektualitas yang juga melekat pada dirinya. Santri, tulisan, dan media jurnalistik. Sinergitas ketiganya akan menbuat perubahan yang luar biasa untuk mengarahkan pandangan dunia terhadap santri.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls