Rabu, 02 Maret 2011

MAHASISWA DAN AGENDA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Para pemerhati sosiologi masyarakat, khususnya di Indonesia, menempatkan mahasiswa sebagai sosok fenomenal yang memiliki peran strategis dalam perubahan masyarakat. Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 1928, perjuangan merebut kemerdekaan 1945, gerakan mahasiswa (baca: Angkatan) ‘66, peristiwa Malari (Limabelas Januari) 1974 dan gerakan reformasi menentang rezim Soeharto 1998 menjadi bukti historis yang menegaskan peran dan gerakan mahasiswa, tanpa bermaksud menafikan kontribusi masyarakat yang lain. Pertanyaan mendasar yang muncul dalam konteks gerakan mahasiswa di era kontemporer sekarang ini adalah bagaimana mahasiswa dapat memerankan dirinya mengusung agenda perubahan dan pemberdayaan masyarakat? Profil mahasiswa seperti apa yang dapat melakukan peran-peran pemberdayaan, dan bagaimana strategi untuk melakukannya.


Mahasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kementerian Agama RI  yang saat ini sedang menempuh studi di berbagai perguruan tinggi bergengsi di negeri ini, mempunyai tanggungjawab untuk ikut menyelesaikan problem-problem kerakyatan dan kebangsaan. Tulisan ini mencoba menganalisis peran strategis mahasiswa PBSB, yang notabene berasal dari pondok pesantren (baca: mahasantri) dalam konteks pemberdayaan pesantren dan masyarakat.

Dialektika Pesantren dengan Modernitas


Negara Indonesia memiliki lembaga pendidikan yang khas orisinil produk pribumi, pesantren. Lembaga pendidikan bernama pesantren ini memiliki daya tarik peneliti dalam maupun luar negeri.[1] Pesantren sebagai sebuah komunitas yang mensintesakan dimensi sosial, budaya dan agama (Wirosardjono:1987).  Lokasinya yang terpisah dari pemukiman masyarakat sekitar pesantren menjadikannya eksklusif.  Kelembagaannya terpimpin atas nama Kyai, ajengan atau bendara sebagai tokoh sentral yang menjadi agen budaya (cultural brokers).


Pesantren sebagaimana yang telah diasumsikan banyak orang adalah dunia kaum bersarung dengan peci di atasnya dengan pola pikir yang masih kolot, katrok (bahasa Tukul Arwana) dan jauh dari kata modern, atau mungkin sesuai dengan asumsi H. Mahbub Junaidi sebagai kaum   hippies dengan life pattern, mores and internal authority yang berbeda dengan masyarakat lainnya.  Anggapan seperti ini pada mulanya mungkin dapat diterima mengingat pesantren pada mulanya berada di pinggiran yang mayoritas ekonomi kelas menengah ke bawah. Dalam “Islam Kosmopolitan”-nya, Abdurrahman Wahid mencoba menjelaskan dua unsur pijakan pesantren.  Pertama, yaitu peniruan atas perilaku Nabi, hal ini tercermin dalam ketaatan ritual secara maksimal, penerimaan atas kondisi materi yang serba kurang dan kesadaran kelompok (espirit de corps) yang tinggi. 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls