Sabtu, 05 Februari 2011

Ayat-ayat Hijau, Membentuk Pesantren Peduli Lingkungan

oleh : M. Attabik Faza


Lingkungan hidup menjadi agenda besar dalam benak manusia sepanjang zaman. Dan problem yang berkaitan dengan lingkungan hidup akan selalu ada karena manusia di setiap gerakannya selalu menggantungkan diri pada alam. Dalam beberapa laporan pemerintah, untuk negara Indonesia saja, kerusakan yang dialami tiada henti dan selalu meningkat dari tahun ke tahun.


Sesuai laporan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), pada tahun 2005 saja, kerusakan dalam bentuk hutan meningkat dari 1,6 juta Ha/tahun (1985-1997) menjadi 2,1 juta Ha/tahun (1997-2001). Polusi udara juga ikut disebutkan dalam laporan tersebut di mana upaya pemerintah dalam mengatasi polusi masih jauh dari harapan lantaran bertambahnya kendaraan bermotor –yang berperan menyumbang sebanyak 70% penyebab polusi- kian pesat. Ketersediaan air juga mengalami penurunan dengan ditandai bertambahnya sungai yang tidak layak minum, menurunnya debit sungai, pendangkalan danau, yang kesemuanya menyebabkan defisit air.


Itu semua merupakan problem yang harus segera diselesaikan mengingat lingkungan hidup mempunyai pengaruh besar terhadap keberlangsungan ekosistem. Dan jika ditelaah lebih jauh lagi, sebenarnya akar kerusakan yang dilakukan manusia ini berasal dari lemahnya wawasan religi yang dimiliki. Menurut Zainal Abidin Baghir (Dosen Pasca Sarjana CRCS UGM), umat muslim seharusnya dapat peka dan menangkap well-informed yang aktual seperti halnya problematika lingkungan hidup untuk kemudian menyuguhkan solusi tepat yang bersumber dari ayat-ayat suci mereka. Solusi tersebut tentunya hanya akan menjadi impian jika tidak adanya penafsiran yang mendalam terhadap ayat-ayat suci untuk menjawab problematika ini.


Sebenarnya anjuran merasa terpanggil untuk merespon problematika lingkungan tidak dikhususkan pada agama Islam saja, namun secara keseluruhan umat beragama pun mempunyai beban yang sama. Ini mengindikasikan bahwa untuk menanggulangi kerusakan lingkungan hidup, tidak hanya memerlukan kegiatan para ilmuwan yang menjadi pakar di bidangnya. Namun jauh lebih penting dari itu, kaum agamawan harus ikut campur tangan untuk menyelesaikan masalah ini.


Dalam suatu konferensi internasional tentang lingkungan yang diadakan di Moscow, 34 ilmuwan yang dipimpin Carl Sagan menyimpulkan, ”Masalah besar lingkungan hidup itu menuntut solusi yang berperspektif luas. Dan karenanya mesti mengandung dimensi keagamaan maupun ilmiah. sebagai ilmuwan, kami menyerukan kepada komunitas agama di seluruh dunia untuk dengan tegas menyatakan komitmennya, dalam kata-kata maupun tindakan.”


Dari kesimpulan di atas tentunya peran aktif agama yang nyata sangat dibutuhkan untuk melindungi bumi dari kerusakan alam secara terus menerus. Bahkan Paul Hawken, pengarang Ecology of Commerce, apabila ditanya sikapnya atas kondisi lingkungan pasti akan menjawab dengan tegas, ”Kalau Anda mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan untuk mengetahui sekarang dalam aspek lingkungan dan tidak merasa pesimistis, data yang anda miliki pasti salah.”


Seandainya aktifis keagamaan terpanggil, sudah sewajarnya kaum intelektual muslim menjadi garda terdepan sebagai agen yang menjadi pelaksana ultimatum ini. Sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim, tentunya negara ini banyak menyandarkan harapan ke pundak orang-orang Islam. Penyandaran ini tidak bisa diberikan seketika itu juga, kita masih perlu memperhatikan agen manakah yang paling bertanggung jawab merespon gejala ini.


Telah diketahui bersama bahwa pesantren adalah salah satu agen yang jika ditinjau dari beberapa sisi memiliki atribut yang pantas untuk menjalankan tugas ini. Dirasa sebagai agen karena dengan berbagai pertimbangan seperti pesantren sebagai produk pendidikan yang indegogus Indonesia. Pesantren yang secara akademik telah memiliki konstruksi pendidikan religi yang kuat, kegiatannya sebagai penyalur materi keagamaan berpeluang besar mengungkap pesan yang  tersimpan dalam ayat suci umat Islam.


Dalam khazanah keilmuwan yang berkembang dalam pesantren, dapat ditemukan bahwa literatur yang dimiliki sangat mendukung anak didiknya supaya memperhatikan problematika lingkungan hidup. Al-Qur’an sebagai rujukan otoritatif sangat sarat dengan “ayat-ayat hijau” (sebuatan untuk ayat-ayat yang merespon keberlanjutan bumi). Namun, sebagai rujukan yang memiliki andil besar untuk merubah pola pikir umat akan tetap diam dan menyembunyikan pesan Tuhan kepada manusia tentang lingkungan jika agen akademik –dalam hal ini komunitas pesantren- yang menggelutinya masih menutup diri untuk menyentuh apalagi membuat gagasan baru dan berani seperti menjawab masalah ligkungan hidup ini.


Kali ini pesantren tentunya terpanggil kembali untuk menyampaikan pesan tersembunyi tersebut untuk dijadikan argumen utama sekaligus landasan bagi manusia. Pertimbangan ini disematkan lantaran pesantrenlah yang selalu mengkaji khazanah literatur Islam khususnya rujukan utama yaitu Al-Qur’an.


Sedikit contoh dari ayat-ayat hijau adalah Surat Hud ayat 61, Allah berfirman: ”Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari tanah dan menuntut kalian membangun (memakmurkan) di atasnya.” Perintah Allah di atas setidaknya secara implisit, manusia diperintahkan menggunakan bumi ini dengan sebaik-baiknya. Dan secara eksplisit manusia diperintahkan supaya berbuat kebaikan dalam membangun atau memuliakan dengan kemakmuran di atasnya, memakmurkan meliputi menggunakan, menjaga serta melestarikan dengan baik.


Sayangnya jejak rekam sejarah yang ada di masyarakat muslim dunia khususnya di Indonesia, komunitas pesantren masih disibukkan memproduksi kader yang bergelut pada aspek tatanan sosial dan keagamaan saja. Belum ditemukan pesantren secara khusus melakukan aktifitas penafsiran terhadap “ayat-ayat hijau” untuk kemudian diejawantahkan menjadi aksi perlindungan lingkungan hidup. Karena ketiadaan langkah tersebut (walaupun masih terdapat faktor lain yang ikut terlibat), proses pengrusakan lingkungan hidup masih tetap berlangsung sampai sejauh ini dan memberikan dampak sistemik terhadap ekosistem di Indonesia, termasuk pesantren di dalamnya. Dan perlu dicatat, kerusakan lingkungan adalah kasus yang tidak hanya menimpa manusia yang hidup pada zaman sekarang saja, namun dampak yang dihasilkan akan berlanjut kepada anak turun bahkan cucu kita.


Pesantren sebagai bagian dari agen perubah sosial dan masyarakat sekaligus merangkap sebagai lembaga yang memfokuskan diri dalam kajian keislaman tentunya harus berusaha keras untuk dapat menyuguhkan pesan yang tersimpan dalam ayat suci kemudian dijadikan landasan umat dalam ikut mengambil peran dalam mengatasi lingkungan hidup. Bahkan lebih dari itu, kader pesantren harus mengadakan kegiatan yang nyata dalam menangani kasus tersebut.


Oleh karena itu, untuk menjalankan agenda besar ini diperlukan kerja sama yang pas dan proporsional. Sampai saat ini tidak ada alasan bagi kita untuk membenarkan berpangku tangan membiarkan kerusakan ini terus berlanjut. Kalau kita ingin menggunakan semua sumber daya untuk membalikkan kecenderungan kondisi lingkungan hidup yang memburuk ini, kita bisa melakukannya. banyak contoh dalam skala kecil yang berhasil membuktikannya.


Semua uraian di atas hampir menyebutkan kalau kajian kritis terhadap lingkungan hidup masih minim ditemukan. Di dalamnya juga terbentuk mainstream penduduk muslim untuk hanya tetap fokus pada problematika sosial dan keagamaan dan menutup diri pada lingkungan hidup yang sebenarnya mereka butuhkan setiap saat.


Silahkan lihat para tokoh yang berjasa mengantarkan negeri ini terbebas dari penjajahan, tokoh yang bergelut dalam politik, tokoh yang bergelut pada bidang sosial dan pendidikan. Kesemuanya menyebutkan kader pesantrenlah yang bertengger di setiap aspek. Namun, silahkan lihat kader pesantren yang memiliki andil besar dalam menyelamatkan lingkungan secara nyata, kemudian bandingkan hasil survei anda. Pastilah akan tampak betapa tokoh pesantren hanya terpaku dalam menghiasi aspek sosial dan keagamaan saja. Namun, sedikit dari mereka yang menjadi garda depan mengatasi lingkungan.


Untuk menjadikan pesantren sebagai agen yang tetap revivalis menjadi harapan masyarakat, tentunya pesantren harus bisa menjawab pertanyaan problematika umat. Problematika tersebut tidaklah berhenti pada tangga sosial dan keagamaan saja, lebih dari itu semua aspek lingkungan hidup tidak kalah penting juga. Dengan menyuguhkan interpretasi yang aktual tentunya semakin besar pula respon yang didapat.


Berikutnya, pesantren dalam rangka merevitalisasi fungsi agama harus sadar bahwa perubahan besar akan terwujud dengan keberhasilan-keberhasilan skala kecil. Seandainya keseluruhan pesantren di Indonesia tanpa terkecuali mulai mewacanakan lingkungan hidup, pastilah gerakan yang seragam akan tercipta. Tentunya keberhasilan tersebut tidak akan tercipta pula kalau pesantren tidak mendapat antusias masyarakat untuk bergandeng tangan melakukan agenda ini.


Jadi dari pesan ”ayat-ayat hijau” yang tersimpan dalam ayat-ayat suci agama Islam ini, pesantren sangat bertanggung jawab untuk menyuarakan kepada masyarakat supaya dapat menerima pesan tersebut sebagaimana jawaban atas problematika mereka kemudian mengadakan kegiatan nyata untuk mewujudkannya.


 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls