Rabu, 02 Maret 2011

Dialektika Pesantren dengan Modernitas


Negara Indonesia memiliki lembaga pendidikan yang khas orisinil produk pribumi, pesantren. Lembaga pendidikan bernama pesantren ini memiliki daya tarik peneliti dalam maupun luar negeri.[1] Pesantren sebagai sebuah komunitas yang mensintesakan dimensi sosial, budaya dan agama (Wirosardjono:1987).  Lokasinya yang terpisah dari pemukiman masyarakat sekitar pesantren menjadikannya eksklusif.  Kelembagaannya terpimpin atas nama Kyai, ajengan atau bendara sebagai tokoh sentral yang menjadi agen budaya (cultural brokers).


Pesantren sebagaimana yang telah diasumsikan banyak orang adalah dunia kaum bersarung dengan peci di atasnya dengan pola pikir yang masih kolot, katrok (bahasa Tukul Arwana) dan jauh dari kata modern, atau mungkin sesuai dengan asumsi H. Mahbub Junaidi sebagai kaum   hippies dengan life pattern, mores and internal authority yang berbeda dengan masyarakat lainnya.  Anggapan seperti ini pada mulanya mungkin dapat diterima mengingat pesantren pada mulanya berada di pinggiran yang mayoritas ekonomi kelas menengah ke bawah. Dalam “Islam Kosmopolitan”-nya, Abdurrahman Wahid mencoba menjelaskan dua unsur pijakan pesantren.  Pertama, yaitu peniruan atas perilaku Nabi, hal ini tercermin dalam ketaatan ritual secara maksimal, penerimaan atas kondisi materi yang serba kurang dan kesadaran kelompok (espirit de corps) yang tinggi.  Unsur kedua, yaitu disiplin sosial yang begitu tinggi.  Golongan pesantren seperti ini kiranya lebih cocok dengan apa yang kita asumsikan dengan pesantren berhaluan salaf, tradisional atau pesantren pedesaan yang menjadi kontras dengan istilah santri perkotaan pada masa lalu.  Pada masa-masa awal,  pesantren tidak memiliki kurikulum sebagaimana lembaga pendidikan formal lainnya.  Hal ini menjadikan santri selaku thalibul ‘ilmi tidak memiliki batas waktu tertentu berapa lama mereka harus nyantri pada suatu pesantren.  Mereka boyong dari pesantren biasanya ketika akan menikah atau ketika sudah dirasa harus mengamalkan ilmunya yang telah memperoleh imprimatur dari sang Kyai kepada masyarakat tempat asalnya, bukan diploma dari seorang Kyai.  Satu-satunya yang menjadi ukuran adalah ketaatannya kepada seorang Kyai dan kemampuannya menyerap ngelmu yang diajarkan (Abdurrahman Wahid:2007).


Pembaharuan pesantren mulai muncul untuk merespon modernitas kemasyarakatan. Isu pembaharuan pesantren bermula dari Tebuireng. K.H. Hasyim Asy’ari mencoba mengembangkan sistem musyawarah serta debat dalam rangka memecahkan masalah dengan syarat adanya referensi, terutama karangan-karangan madzab Imam Syafi’i.  Kemudian pada tahun 1916, Kyai Maksum-menantu K.H. Hasyim Asy’ari- dengan dukungan Wahid Hasyim memasukkan sistem madrasah dalam pendidikan pesantren.  Pada tiga tahun berikutnya madrasah ditambah dengan materi ilmu umum: bahasa indonesia (melayu), matematika dan ilmu bumi.  Kemudian dilanjutkan memasukkan bahasa belanda dan sejarah sebagai materi pelajaran oleh K.H. Muhammad Ilyas atas persetujuan K.H. Hasyim Asyari pada tahun 1926 (M. Tata Taufik dkk: tt).  Pembaharuan lain yang muncul dilakoni oleh KH. Imam Zarkasyi yang menggunakan pendekatan “efisiensi waktu”.  Aplikasi dari gagasan beliau terwujud dengan berdirinya Pesanten Modern Gontor.  Pendidikan yang digagas adalah sebuah pendidikan dasar yang dapat diamalkan oleh para santri dalam kehidupan sehari-hari.   Berbeda dengan Zamakhsyari Dofier, K.H. Imam Zarkasyi tidak menganggap pengajaran  kitab-kitab klasik sebagai elemen dasar tradisi pesantren, tetapi merupakan khazanah yang perlu dikaji untuk mengenang masa-masa keemasan peradaban Islam. Hal ini menimbulkan materi pengajaran yang berbeda dengan pesantren pada umumnya.  Misalnya jika di pesantren tradisional diajarkan Alfiyah Ibnu Malik untuki materi nahwu shorf, di Gontor cukup dengan Nahwu wadhih yang sarat dengan contoh sebagai dasar ilmu alat. Keilmuan yang diajarkan juga lebih bersifat modern dan kontekstual seperti pengajaran tafsir Al-Manar-nya Muhammad Abduh dan Bidayatul Mujtahid-nya Ibnu Rusyd. Di samping al-jabar, matematika, fisika, ilmu tata buku (administrasi), geografi serta penguasaan bahasa inggris dan dan bahasa arab sebagai fokus utama.


Pesantren dalam era kekinian tidak hanya sebagai lembaga pencetak ulama (dalam konotasi agamawan) tetapi juga mencetak ilmuan berkarakter islami.  Materi pelajaran umum yang dulu jarang diberikan untuk santri kini sudah mulai berjalan beriringan, bahkan tidak sedikit pesantren yang memporsikan pendidikan umum lebih besar daripada pengajaran materi keagamaan (ilmu hadist dan tafsir).  Pesantren untuk menjaga eksistensinya serta menjawab kebutuhan pendidikan banyak yang mendirikan lembaga pendidikan umum seperti Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidai’yah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTS) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) juga Perguruan Tinggi (PT) baik keislaman maupun non-keislaman.  Alumni pesantren kini tidak bisa dipandang sebelah mata.  Pembentukan karakter diri dan moralitas mengantarkan mereka menduduki jabatan yang tidak sembarangan dalam pemerintahan dan pergaulan kemasyarakatan.  Kita lihat bagaimana pasukan Hisbullah yang muncul berdasarkan fatwa Resolusi Jihad dari Jombang oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam rangka mempertahankan kemerdekaan; Abdurrahman Wahid dengan gigihnya mengkoarkan semangat demokrasi hingga lengsernya rezim Orde Baru; Ari Ginanjar dengan ESQ-nya merekonstruksi mainstream pikiran seseorang agar berpikir positif dan semangat dalam berjuang atau Jusuf Kalla yang menjembatani perdamaian antara umat Islam dan Kristen di Poso.


Pesantren kini telah mengalami perubahan dalam rangka menjawab tantangan zaman dan mempertahankan nilai-nilai keislaman.  Pesantren yang dulunya tanpa kurikulum sekarang telah disistematiskan dengan sisten thabaqah (kelas). Yang dulunya menggunakan sistem wetonan, bandongan musyawarah, bahtsul kutub serta tahfidh, kini metode tersebut lebih diintensifkan dengan teknologi modern.  Pesantren yang dulu terkenal dengan sifat asketisme-nya kini telah mengenal yang namanya teknologi informasi, pramuka, ilmu peternakan dan pengolahan koperasi sebagai roda ekonomi pesantren.  Pesantren saat memasuki dunia modernitas agar perilaku modernitas sesuai dengan garis syariat.  Inilah yang diasumsikan bahwa pesantren merupakan keunikan kelompok yang melakukan filterisasi terhadap modernitas dan budaya luar yang masuk.  Kontekstualisasi esensi nilai salaf mencoba dilakukan agar dapat diterima sesuai porsi, situasi dan kondisi sehingga bisa dipahami sebagai fleksibelitas agama.


Melihat prospek pesantren begitu besar dalam pembentukan jati diri bangsa dengan pengembangan keilmuan, pemerintah mulai menaruh perhatian yang besar terhadap pesantren.  Alumni pesantren baik tradisonal/salaf maupun modern yang memiliki potensi mulai diarahkan untuk menempuh pendidikan perguruan tinggi sebagai akreditasi tingkat pendidikan yang bersifat nasional maupun internasional.  Perhatian ini membawa angin segar bagi mereka yang mencoba mendalami keilmuan lain untuk dikombinasikan dengan ilmu keagamaan agar dapt diterima tidak hanya masyarakat daerah asal tetapi kapabilitasnya juga diakui secara de jure.  Program-program pemberdayaan santri telah digalakkan.  Mulai pengenalan information technology (IT),  pengembangan sektor pertanian dan peternakan hingga pemberian beasiswa bagi santri berprestasi.  Ini merupakan kesempatan dan peluang bagi santri untuk menyebarkan serta menanamkan nilai-nilai keislaman yang sarat dengan etika dalam setiap aktifitas.  Sekarang tinggal santri sendirilah bagaimana mereka merespon serta memanfaatkan peluang ini.










[1] Sebut saja Sidney Jones yang penah melakukan riset tentang NU dan Pesantren, tulisannya yang terkenal Ummah dan  Al-Qaidah in Southeast Asia: The case of the Ngruki Network in Indonesia,  Clifford Geertz dengan tulisannya “ The Javenese kyai: The Changing Role of Cultural Broker” yang sempat membagi tataran masyarakat Jawa  menjadi tiga: Abangan; priyai dan santri atau juga Zamahsyari Dofier dalam sebuah tulisannya, The Ideology of Javanese Kyai dan Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.


oleh : Abdurahman Az Zuhdi (Mahasiswa PBSB Jurusan Tafsir Hadits UIN Sunan Kalijaga)


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls