Minggu, 05 Februari 2012

Pesantren vis a vis Neo-Imperialisme : Tamparan Pedas Yang Menyadarkan


“A New Civilization is forming. But where do we fit into it ? Don’t today’s technological changes and social upheavals mean the end of friendship, love, commitment, community, and caring ? Won’t tomorrow’s electronic marvels make human relationship even more vacuous and vicarious than they are today ?” ( Alfin Toffler, 1981 ).[1]

A.  Kegelisahan Baru
            Tak lama setelah bangsa Indonesia menghirup udara bebas kemerdekaan, ancaman baru muncul. Agresi militer Inggris dan Belanda pasca proklamasi menyadarkan bangsa Indonesia bahwa perjuangan masih terus berlanjut, Bandung Lautan Api dan pertempuran Arek-Arek Suroboyo misalnya,  merupakan perjuangan lanjutan membantai kolonialisme. Tak hanya sampai di sini, ancaman lain datang dari dalam negeri sendiri. Sebut saja G-30/s PKI dan DI/TII yang menjadi ancaman serius bagi integritas bangsa. Beberapa dekade lamanya, Indonesia ‘dijajah’ oleh dirinya sendiri. Selalu ada ancaman dan kegelisahan baru yang merundungi setiap kali bangsa Indonesia terbebas dari suatu bentuk kolonialisme. Memasuki usia ke 71 kemerdekaan Indonesia, adakah kegelisahan baru yang anda rasakan ?

            Ini adalah sebuah cerita tentang revolusi besar-besaran yang menggejala di seluruh dunia saat ini, ketika segala bentuk imperialisme –yang katanya-  telah dihapuskan dari atas dunia. Teknologi nuklir telah mampu melahirkan pion cancer therapy yang berguna bagi penderita kankerDi sisi lain, puluhan ribu senjata nuklir yang ada di dunia memiliki daya penghancur jutaan kali bom yang jatuh di Hiroshima. Lebih dari itu, bioteknologi masa kini telah mampu ‘membuat manusia’.[2] Bank sperma dan surrogate mother [3] merupakan dua term baru yang dilahirkan oleh rekayasa ini. Di lain pihak, teknologi komputer telah menggantikan kegiatan keseharian manusia. Ia telah telah menggeser surat kabar, perpustakaan, sekolah, pengajian, dsb. Tidak hanya sampai di sana, agama konvensional pun hampir tergeser olehnya, munculah agama televisi-nya George Gerbner, hingga maraknya ‘privatisasi agama’ secara liar. Fenomena inilah kiranya yang menjadi kegelisahan Alvin Toffler, seorang pengamat sosial dari Amerika dalam ‘epigraf ‘ di atas dan sepatutnya menjadi kegelisahan kita juga. Mengapa gelisah ?

B. Neo-Imperialisme
 Toffler mengasumsikan revolusi masiv seperti di atas sebagai  ’the crack up of its psycho-sphere’ atau titik balik kesadaran umat manusia akan nilai-nilai etis. Premis revolusioner hanya sekedar simplifikasi belaka jika nilai-nilai etis sudah tiada. Inilah yang kita namakan neo-imperialisme, penjajahan sistemik dan terorganisir melalui aktivitas kehidupan masyarakat itu sendiri, mencakup sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan agama, dan yang terpenting ialah rontoknya nilai-nilai etis dan moralitas.    
  Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Aktual menyebutkan delapan megatrends dunia abad 21, yang disingkat dengan 8 F. PertamaFood (makanan). Orang tidak lagi makan makanan daerahnya. Resep Kolonel Sanders dari Kentucky Fried Chicken dinikmati baik oleh penduduk Chicago maupun Cikaso. KeduaFashion (pakaian). Sekarang ini di dunia terdapat kota kota-kota yang menentukan perkembangan busana di seluruh dunia. Majalah mode Prancis Elle dicetak dalam enam belas edisi internasional. Wanita Kuwait dan Arab termasuk pelanggan majalah itu. KetigaFun (hiburan). Hiburan bukan hanya pelepas lelah atau pengisi waktu santai. Dalam hiburan –apapun bentuknya– selalu terkandung nilai-nilai. Hiburan dapat mendorong demoralisasi, agresi, dan despiritualisasi. Keempat, Faith (keimanan). Globalisasi kebangkitan islam saat ini ditandai dengan mengecilnya sekat-sekat mazhab. Mereka melihat dunia Islam dengan tunggal. Kelima, Fears (ketakutan). Karena negara-negara didunia ini sudah saling bergantung (interdependent), maka masalah besar umat manusia menjadi masalah semua orang. Keenam, ketujuh, dan kedelapan, Facts, Fictions dan Formulations, (Fakta, Fiksi, dan Formula). Teknologi komunikasi bukan hanya menyajikan realitas, dengan menggunakan teknik-teknik presentasi (seperti ambilan dan special effect), media masa dapat menyajikan realitas buatan. (Jalaluddin Rakhmat : 1991).

C. Agenda-Agenda Baru
Menindak lanjuti beberapa kegelisahan di atas, pesantren harus mulai menyusun agenda-agenda baru menyongsong perguliran paradigma dunia semacam ini. Kata kuncinya terletak pada ‘integrasi ashalah dan hadatsah’, tidak terlalu romantis terhadap ashalah dan mulai membuka pintu pada hadatsah. Mentalitas klasik harus sedikit diturunkan. Jika dahulu pembahasan ‘titik ba basmalah’ ketika ngaji al-fiyyah atau mughnil labib menghabiskan waktu hingga satu minggu atau bahkan satu bulan, sekarang cukup hanya satu pertemuan saja sampai para santri mengerti bahwa sesuatu itu namanya titik ba. Integrasi ashalah-hadatsah di pesantren, dapat dirintis seperti dalam tiga contoh di bawah ini.
Dalam konteks globalisasi makanan (food) dimana halal-haram menjadi tidak terlihatpesantren ditantang untuk menjelaskan mana makanan yang haram menurut syari’at Islam dan mana makanan yang halalan thayyiba (halal lagi baik)Sebagaimana kita ketahui, resep makanan paling masyhur masa kini berorientasi pada resep makanan barat yang tidak jelas halal-haramnya. Untuk melakukannya, tidaklah cukup dengan hanya sekedar mengkaji bab al-ath’imah di Fathul Mu’in dan mencari nash-nash al-Qur’an apalagi meneliti sanad Hadits. Yang diperlukan sekarang ialah riset langsung di lapangan tentang komposisi kimiawi makanan tersebut. Oleh karenanya, pesantren perlu memiliki tenaga ahli dalam masalah ini. Para santri yang kuliah jurusan ilmu gizi, ilmu makanan, kedokteran, dsb. merupakan ‘instrumen baru’ yang harus dimiliki setiap pesantren.
Dalam konteks globalisasi pakaian (fashion), ‘aturan lama’ untuk menutup aurat sudah tidak mempan lagi bagi mereka yang berjiwa modis. Asal pakaian itu enak dipandang mata atau yang lagi in di kalangan para artis, tak peduli menutup aurat atau tidak, itulah busana trend masa kini. Pesantren yang sudah lecek mengkaji bab al-Libas dan Bab al-‘Aurat, tentunya tidak boleh hanya tinggal diam gigit jari melihat pelanggaran seperti itu. Dalam kasus ini, pesantren harus mampu mensintesakan dua hal, prinsip asasi dan fleksibilitas syari’at islam. Di satu sisi Islam menghendaki pakaian yang sederhana di samping menutup aurat. Namun di sisi lain Islam juga menghargai keindahan dan perkembangan zaman. Pesantren setidaknya harus bekerjasama dengan para perancang busana untuk mempromosikan ‘busana muslimah masa kini’ kepada mereka, atau sebagaimana di atas, Pesantren mampu memperkaya dirinya dengan santri perancang busana.     
Dalam konteks globalisasi hiburan dan informasi (fun, info-sphere), film-film Hollywood dan Bollywood merupakan menu utama dalam perfilman Indonesia. Sekarang hiburan merupakan bisnis paling bergengsi yang dikelola secara internasional. On The Floor-nya Jennifer Lopez, kini dapat dengan mudah masuk pasaran Indonesia. Di dunia maya, kita dapat dengan mudah mengakses Echoes-nya Anggun C. Sasmi yang menyabet dua penghargaan di Eropa dan Indonesia dengan menduduki peringkat pertama di chart lagu..Film kartun Jepang, Naruto, One Piece, Bleach, Conan, dsb ditonton oleh anak-anak di seluruh dunia, baik di Tokyo maupun di Solo. Ketika anak-anak kita menjadikan Sasuke Uchiha dan Sakura sebagai idolanya dan hafal secara persis tokoh-tokoh Naruto, dari mulai dari, Sasuke, Sakura, Tsunade,  hingga Madara Uchiha. Namun tidak sedikitpun mengenal Sayyidina Ali dan Siti Fatimah bahkan agak sedikit bingung ketika disuruh menyebutkan nama-nama 25 Nabi dan Rasul, bagaimana pesantren mengatasi semua keironisan ini ? bagaimana pesantren menghadapi revolusi informasi ?. Pesantren sebagai agen sosial-budaya harus meng-up grade sistem informasinya. Dakwah virtual sekarang menjadi salah satu agen baru bagi pesantren. Inilah kiranya beberapa hal yang masih harus kita pikirkan solusi alternatifnya. Neo-imperialisme yang sedang menggejolak ‘menampar’ pesantren sehingga ia sadar bahwa agenda-agenda baru harus segera disusun. Sekarang pesantren perlu melakukan alfiyyahi-sasi terhadap isu-isu kontemporer. Bukankan diantara karakteristik seorang faqih ialah mengetahui tanda-tanda zamannya ?

Asep Nahrul M.
 Jurusan Tafsir Hadits-UIN Sunan Kalijaga 2010




[1]   Alfin Toffler, The Third Wave, (London : Bantam Books, 1981), hlm. 365
[2] Sebut saja rekayasa genetika (genetic engineering), seperti Bayi Tabung, Kloning, Inseminasi Artifisial, Inseminasi dengan sperma donor, Ovarian Transplant antar sesama wanita, Fertilisasi in vitro, dll.
[3]  Ibu-ibu yang bersedia menyewakan rahimnya dengan upah $ 10.000 - $ 25.000, disebut juga dengan gestational mother, contractual mother, baybearer mother, mercenary mother, dsb.







                                                                                                                                               

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls