Minggu, 05 Februari 2012

SANTRI: SUMBANGANNYA DALAM MEREBUT, MEMPERTAHANKAN, DAN MENGISI KEMERDEKAAN


Keikutsertaan  umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan dan melawan penjajahan di negeri ini memang tidak dapat dipungkiri lagi. Bahkan tidak sedikit dari mereka berasal dari tokoh ulama dan santri yang terjun langsung dalam perang melawan penjajah dan gugur sebagai syuhada. Perjuangan para syuhada ini kemudian tercatat dalam sejarah dan diabadikan oleh pemerintah dengan gelar pahlawan nasional. Sebut saja Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Pengeran Antasari, KH. Hasyim Asy’ari dan lain sebagainya telah dikenang perjuangannya dengan dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Meski demikian, tidak semua perjuangan dan perlawanan kaum santri terhadap penjajahan dipopulerkan dalam sejarah nasional. Sebab, perjuangan rakyat Indonesia yang bukan dari kalangan santri juga tidak kalah banyaknya.

Sebelum terbentuk menjadi sebuah negara kesatuan, Indonesia merupakan suatu kesatuan penting dari sekumpulan rakyat nusantara yang mengaku dan merasa senasib seperjuangan pada masa penjajahan. Melalui peran besar para ulama, santri sebagai pengikut ulama, turut berjuang melawan penjajah dan membentuk gerakan-gerakan perlawanan di beberapa daerah. Di antara gerakan-gerakan yang didominasi oleh kaum santri dalam melawan penjajahan adalah Hizbullah, Sabilillah dan lain sebagainya. Ini membuktikan, santri, terlebih dikomandoi oleh para ulama, sangat tidak apatis dengan proses dan perjuangan kemerdekaan.
Sejak zaman sebelum kemerdekaan, sampai pasca kemerdekaan, bahkan di era reformasi, santri tetap memiliki peranan dalam percaturan politik di Indonesia. “Santri memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mengisi berbagai bidang kehidupan di dunia ini, apakah sebagai birokrat, teknokrat, termasuk juga sebagai politisi. Dan, saya kira peran-peran yang dimainkan para santri di dalam mengisi pembangunan di bidang politik sudah strategis dan memiliki andil yang luar biasa bagi kemajuan republik ini. Bahkan kalau kita runut ke belakang, sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang terjadi di tanah air sampai Indonesia ini merdeka tidak lepas dari peran politik dari para santri” ungkap Drs. Khoironi.

Hiruk Pikuk Santri dalam Merebut Kemerdekaan
Salah satu bentuk perjuangan yang mungkin hanya sedikit atau bahkan hanya diketahui oleh segelintir orang saja adalah tentang Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Salah satunya oleh KH. Hasyim Asy’ary, Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang sebagai bentuk pernyataan perlawanan terhadap penjajah melalui peperangan non diplomasi. K.H. Sholahudin Wahid menuturkan bahwa dikeluarkannya fatwa resolusi jihad itu dilatarbelakagi oleh keinginan Belanda untuk menguasai Nusantara kembali setelah Jepang kalah dalam perang melawan sekutu. Pada saat itu Belanda mendompleng NICA dan mengajak Ir. Soekarno untuk melakukan perundingan dan Soekarno pun mengamininya.
Oleh kalangan kaum santri, khususnya di wilayah Jawa Timur, diplomasi yang dianggap menguntungkan pihak Belanda tersebut tidak disetujui dan ditentang keras. Pasalnya menurut para ulama, kemerdekaan harus diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia termasuk umat Islam. “Pada saat itu, KH. Hasyim Asy’ary  menghimbau kepada umat Islam yang tinggal di sekeliling kota Surabaya sekitar jarak 80-90 km harus berkewajiban membantu TNI dalam rangka merebut kemerdekaan” tutur K.H. Sholahudin Wahid saat diwawancarai redaktur di kediamannya. Respon pemuda Islam, khususnya para santri cukup antusias dengan berperang melawan Belanda dan sekutu. Sebagai contoh adalah peperangan di Pajarakan yang sebagian besar para santri secara khusus mempelajari ilmu-ilmu kekebalan untuk mempertahankan diri dalam melawan penjajah. Dampak yang cukup hebat lainnya dari fatwa Resolusi Jihad adalah peristiwa heroik di Surabaya pada tanggal 10 November 1945 yang sekarang dikenal sebagai Hari Pahlawan.
Peranan santri untuk kemerdekaan negeri ini tidak hanya berhenti pada saat merebut kemerdekaan saja. Pasca kemerdekaan, umat Islam juga ikut memikirkan bagaimana konsep negara yang akan didirikan, dasar negara, asas negara dan cita-cita serta tujuan negara. Turut andilnya kaum santri dapat dilihat dengan munculnya K.H. Wahid Hasyim, Kahar Mudzakar dan H. Agus Salim dalam perumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta.
Dalam Piagam Jakarta ada tujuh kata yang secara tekstual dipahami sebagai bentuk pengkodifikasian dasar-dasar Islam dalam bentuk dasar negara yaitu “ Dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mendengar adanya aturan yang seolah mengistimewakan umat Islam itu, rakyat Indonesia bagian timur yang memeluk agama selain Islam merasa enggan untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian tujuh kata tersebut dihapus dan digantikan dengan Pancasila. Ini merupakan suatu  hal yang sering dipahami sebagai wujud pengorbanan kaum santri mengenai perumusan dasar negara kita. “Sebagai gantinya, umat Islam mendapatkan kompensasi dari Presiden dengan dibentuknya Departemen Agama yang bertugas untuk mengatur urusan keagamaan umat Islam di Indonesia pada awal tahun 1946. Tapi menurut saya, ini bukan hanya kompensasi semata, melainkan berkah bagi bangsa ini terkhusus umat Islam” kenang Gus Sholah, putra  K.H. Wahid Hasyim yang merupakan Menteri Agama.
Adalah suatu hal yang tidak bisa diterima dengan mudah mengenai perumusan  negara dengan bentuk Republik. Sebab, bentuk negara yang dipelajari bahkan diketahui oleh umat Islam Indonesia pada masa itu hanyalah negara Islam atau yang biasa dinamakan dengan Daulah Islamiyah. Sementara umat Islam pada saat itu, termasuk kaum santri menganggap bahwa negara dalam bentuk republik dengan ideologi Pancasila adalah negara berideologi sekuler, yang sama sekali tidak ada campur tangan dan pengaruh  agama. Pancasila, oleh umat Islam pada saat itu,  belum bahkan tidak ditafsiri sebagai sebuah ideologi yang Islami, sebab sama sekali tidak menyebutkan kata “Islam” dalam rumusannya. Kerelaan umat Islam untuk menerima Pancasila dan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dapat mencegah perpecahan dan rakyat Indonesia bagian timur menyatakan bergabung dengan pemerintah Indonesia.
Alasan utama yang dipikirkan oleh kaum santri  terlebih para ulama, kemerdekaan dan persatuan bangsa Indonesia lebih penting daripada sekedar membentuk negara Islam. Hal terpenting adalah bagaimana mewujudkan negara Indonesia yang merdeka dan terbebas dari belenggu penjajah. Selanjutnya Pancasila diposisikan sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, yang tidak dapat menggantikan agama dan tidak dipergunakan menggantikan kedudukan agama.
Meski demikian, kita tetap tidak bisa memungkiri, bahwa kalangan umat Islam juga disudutkan oleh pemberontakan-pemberontakan pasca proklamasi yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di berbagai daerah. Seperti pemberontakan di Makasar yang dipimpin oleh Kahar Mudzakar, pemberontakan DI/TII yang dikomandoi oleh Kartosuwiryo yang dikenal sebagai tokoh agamis dan sebagainya. Sebagai bagian dari umat Islam Indonesia, peristiwa-peristiwa demikian membuat santri tersudutkan, meski pada kenyataannya, pemberontakan tersebut hanya dilakukan oleh segelintir orang yang berpaham keras. Pemberontakan itu tidak lain adalah sebagai respon atas kebijakan pemerintah yang kurang mengakomodir kepentingan kelompok yang memberontak, termasuk dalam hal ideologi. “Saya kira persoalan seperti itu adalah persoalan yang sifatnya abadi, orang-orang tertentu yang  kemudian memperjuangkan ideologinya akan selalu ada dan sifatnya abadi. Yang digarisbawahi sekarang adalah sejauh mana kita menyikapi kelompok masyarakat seperti itu, kemudian memberikan pemahaman, wawasan dan pembinaan, kemudian kita ajak dialog, diskusi dan sebagainya. Saya kira itu jalan keluar yang terbaik. Persoalannya, dunia pesantren sekarang sudah ada bermacam-macam afiliasi dari organisasi sosial keagamaan, masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda, itu harus kita hargai, sepanjang tidak melakukan aktifitas makar. Bila melakukan aktifitas makar, santri-santri hakiki akan tetap mempertahankan kesatuan negara republik Indonesia” jelas Pak Khoironi.

Santri dalam Peta Politik di Indonesia
Sedikit atau banyak, santri turut berperan serta dalam euforia politik di Indonesia. Mulai awal kemerdekaan hingga sekarang, tidak sedikit dari kalangan santri yang andil dan menjadi tokoh politik nasional. Sejak Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Masyumi, Persis dan ormas-ormas Islam lainnya mengikuti pemilu pertama, umat Islam termasuk santri telah menunjukkan kepeduliannya terhadap perpolitikan negeri ini. Sebut saja K.H. Wahid Hasyim, beliau pernah menjabat sebagai Menteri Agama untuk yang pertama kalinya, putranya K.H. Abdurrahman Wahid pernah menjabat sebagai Presiden RI ke-4 dan masih banyak lagi lainnya. Dalam pemilu untuk kali pertamanya pasca reformasi, banyak berdiri partai-partai Islam yang notabene didirikan dan dibentuk oleh kaum santri dari berbagai afiliasi ormas Islam.
Santri sebagai warga negara Indonesia berhak dan punya kewajiban untuk berpolitik baik aktif maupun pasif. ”Saya kira kalau persoalan politik itu kan hak warga negara Indonesia, siapapun berhak untuk terjun ke politik, termasuk juga santri, mereka punya hak untuk berpolitik praktis. Nah, menurut saya, santri memiliki kualifikasi yang memadai untuk perpolitik praktis, sehingga nantinya ketika terjun ke dunia politik sudah memiliki kedewasaan berfikir, memiliki keterbukaan, wawasan, memiliki sikap demokratis dan sebagainya” terang Pak Khoironi ketika diwawancarai oleh redaktur.
Meskipun sudah cukup banyak dari kalangan santri yang turut menduduki jabatan penting dalam pemerintahan dan tidak sedikit pula yang terjun sebagai praktisi politik, santri sampai saat ini belum bisa mempengaruhi pergerakan politik secara signifikan dalam kancah perpolitikan di Indonesia secara keseluruhan, tentunya dengan moral ke-santri-anya. 

Santri dan Kewajiban Mengisi Kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah merdeka sejak 17 Agustus 1945, kurang lebih 66 tahun negara kita merdeka. Tetapi sampai saat ini keadaan kita  masih demikian, tetap berstatus sebagai negara berkembang yang masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya. Kalau dalam sejarah banyak disebutkan bahwa santri turut merebut kemerdekaan, sudah sepantasnya dan seyogyanya santri pun turut mengisi kemerdekaan negara kita dengan karakter-karakter santri yang jujur, amanah dan perbaikan umat.
“Bagi saya yang paling penting adalah perjuangan untuk mengisi kemerdekaan itu sendiri. Sebab, senyatanya kita sudah merdeka. Kita tidak perlu tergoda dan terkecoh oleh gerakan-gerakan separatis yang mengancam kesatuan dan persatuan kita. Sudah saatnya kita memperbaiki bangsa ini. Dan menurut saya, untuk melakukannya kita harus memiliki karakter-karakter yang jujur, bertanggung jawab, bekerja keras, percaya diri untuk maju, tidak mudah menyerah dan peduli dengan sesama serta selalu berupaya melakukan perbaikan umat” ungkap Gus Sholah. Di Indonesia ini terdapat 25.000 pesantren lebih yang setiap tahunnya mengeluarkan lulusan pesantren yang akan terjun secara langsung di masyarakat. Jika sumber daya manusia ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan peningkatan mutu pendidikan dan keterampilan, maka kemajuan bangsa dengan moralitas yang luhur menjadi suatu hal yang niscaya. “Menurut saya, yang perlu dan harus selalu kita lakukan untuk perbaikan bangsa, khususnya melalui santri adalah pendidikan, pendidikan dan pendidikan” pesan beliau mengakhiri perbincangan. Lantas, siapkah santri untuk mengisi kemederkaan?

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls