Sebagai penonton, ada baiknya jika kita tidak hanya duduk diam manis menikmati sinetron yang menggunakan nama Islam atau pesantren. Mari menjadi penonton aktif yang senantiasa bersikap kritis dan melek media
Percayakah anda, bahwa hampir setiap
detik dalam kehidupan ini kita telah terkepung oleh media? Sejak mengawali hari
dari bangun tidur hingga kembali terlelap di malam hari, kita dikelilingi oleh
media dan segala pesan yang disampaikannya dalam berbagai macam bentuk.
Televisi, internet, buku, koran, majalah, billboard,
leaflet, spanduk, atau bahkan hal-hal lain yang telah menjadi sebuah media,
tanpa kita sadari. Kita tak mampu mengelak, sebab mereka benar-benar telah
menjadi bagian dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak berhenti sampai menjadi
bagian kehidupan, kebutuhan akan segala informasi yang menyediakan dengan arus
yang cepat, aktual dan faktual, telah menjadi alasan utama manusia
menggantungkan segala kegiatannya pada media massa.
Media massa sendiri memiliki 3 unsur
fungsi tetap yang menjadi satu kesatuan; edukasi, informasi, dan hiburan.
Ketiga unsur ini harus dimiliki sekaligus menjadi pertimbangan setiap media
massa dalam menyiarkan sebuah program kepada masyarakat.
Pada edisi kali ini, kita akan banyak
mengupas perihal dunia media massa dalam ranah hiburan, khususnya media
televisi. Dunia hiburan di layar kaca memang telah menjadi sahabat bagi hampir
seluruh elemen usia. Tetapi, sejauh mana kita mampu memahami sebuah tontonan?
Apakah kita hanya sekedar menekan tombol remote
control televisi, kemudian
menyaksikan tayangan tersebut sebagai sarana informasi dan hiburan saja?
Atau sesungguhnya, ada sebuah makna yang mendalam dibalik semuanya?
Warna-Warni
Sinetron bernuansa Religi
Dalam sebuah kuliah Marketing Public
Relation bersama Muhammad Sulhan, SIP, M.Si, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UGM,
sebuah pernyataan terlontar oleh beliau, “Suatu saat nanti di masa mendatang,
isu syar’i akan banyak memenuhi pasar di Indonesia. Sebuah kata ajaib yang
mampu menarik kepercayaan masyarakat di negeri ini,” ujarnya. Beliau juga
meyakinkan para peserta kuliah dengan memperlihatkan beberapa hasil survei
majalah bisnis dalam negeri. Hasil survei
tersebut menyatakan bahwa hampir semua produk bertitel ‘syar’i’ menempati
urutan pertama terlaris dengan sales
& awareness tinggi. Sebut saja produk telepon genggam, jasa perbankan,
dan sebagainya.
Mungkin hal ini juga yang menginsprasi
para pelaku media televisi. Semakin tingginya antusiasme khalayak media massa terhadap hal-hal yang berbau Islam, membuat
para tokoh ‘belakang layar’ tergiur untuk menciptakan nuansa yang sama dalam
tayangan televisi disamping rating yang
menjanjikan yang menjadi salah satu motivasi bagi para produser siaran televisi.
Itulah mengapa beberapa tahun terakhir ini televisi di negeri kita dihiasi
dengan beberapa sinetron religi.
Fenomena ini memang bukan hal yang baru,
baik di dunia drama serial maupun perfilman di Indonesia. Pada kisaran tahun
1985 sampai pertengahan tahun 1990-an, saat film-film dan sinetron bertema
horor sedang naik daun, isu-isu religi telah banyak diselipkan di dalamnya.
Beberapa simbol maupun aktifitas ibadah Islam banyak dilibatkan dalam beberapa
scene. Misalnya, adegan mengusir setan dengan ayat-ayat Al Quran pada beberapa film horor, simbol-simbol seperti
tasbih dan sajadah sebagai properti wajib dalam mobil Boy dalam film Catatan Si
Boy, dan masih banyak lagi.
Namun, dalam dekade terakhir ini, isu
film dan sinetron religi semakin menguat. Nilai-nilai Islam tidak hanya menjadi
sekedar potongan adegan atau properti saja, tapi telah menjadi kesatuan alur
cerita secara keseluruhan. Dan, film serta sinetron religi dinilai sukses dalam
mengambil hati masyarakat di Indonesia, sekaligus memancing kritik dari
beberapa peneliti dan pemerhati media massa.
Diawali dengan maraknya sinetron bertema
‘rahasia Ilahi’. Tema ini sempat menjadi tayangan yang laris karena mengangkat
isu agama Islam secara praktis. Secara garis besar, inti plot sinetron rahasia
Ilahi ini bercerita tentang berbagai pembalasan Allah SWT terhadap manusia yang
berbuat keji maupun yang berbuat amal
kebaikan di dunia. Efek atau pengaruh dari sinetron ini cukup besar dikalangan
masyarakat luas, dilihat dari tingginya share
(re:persentase rata-rata jumlah penonton pada stasiun tv tertentu) untuk
sinetron bertema religius. Setelah itu, satu persatu sinetron religi bergenre drama
melankolis mulai bermunculan. Diselingi dengan intrik percintaan membuat penonton
semakin tertarik untuk menonton.
Tak berhenti sampai disitu. Mengikuti
kesuksesan film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang diangkat dari
novel terkenal karya Habiburrahman El Shirazy, beberapa rumah produksi
Indonesia mendadak ‘latah’ dan kemudian memodifikasinya sedemikian rupa
sehingga menarik untuk di tayangkan di layar kaca. Mereka berbondong-bondong
memproduksi sinetron yang mengangkat isu yang sama; kisah perjuangan dan
percintaan seorang muslim dengan bayang-bayang poligami. Contohnya, sinetron
Hareem. Saat itu, isu poligami memang sedang marak dibicarakan di Indonesia.
Setelah itu, tema pesantren muncul pasca
peluncuran film Perempuan Berkalung Sorban yang dibintangi oleh aktris cantik
Revalina S Temat. Sebut saja sinetron Pesantren Rock n’ Roll, Islam KTP, dan
lain-lain. Latar belakang waktu dan tempat di hampir setiap adegan berada dalam
lingkungan pesantren. Kisah-kisah dan tokoh-tokohnya pun sama dengan kondisi
pesantren-pesantren di Jawa. Hal ini diperkuat dengan bahasa Jawa yang kental
di setiap dialognya.
Banyak yang memuji sinetron-sinetron
bertema religi dan pesantren semakin marak di negeri kita. Ini dianggap sebagai
media pendidikan agama secara tidak langsung melalui tayangan hiburan di media
massa. Antusiasme masyarakat juga menjadi indikator bahwa kini penonton di
Indonesia memiliki pemahaman yang tinggi tentang Islam dan semakin tertarik
pada isu-isu pendidikan agama. Beberapa pihak menganggap, fenomena sinetron
religi merupakan sebuah kemajuan besar bagi dunia hiburan dan pertelevisian
Indonesia. Sebab, unsur edukasinya dinilai sangat tinggi bagi masyarakat.
Apalagi, munculnya beberapa sinetron bertema pesantren dianggap mampu
mem-’bumi’-kan dunia kaum santri yang selama ini dinilai kurang dikenal
masyarakat dan kurang ditonjolkan oleh media massa.
Akan tetapi, tak sedikit pula yang
memandang sinis dan tidak setuju dengan pujian tersebut. Beberapa kritik bahkan
dengan pedas menyatakan bahwa fenomena sinetron religi hanyalah sebuah kedok
para insan perfilman dan sinetron untuk mencapai satu tujuan utama para pelaku
bisnis media: rating. Dengan semakin
tingginya rating yang diperoleh
sebuah media, maka semakin tinggi pula pemasukan kepada institusi media
tersebut. Isu pesantren dianggap hanyalah sebuah euforia yang menjadi dongkrak
bagi sinetron di Indonesia.
Nyatanya, beberapa pihak tidak
membenarkan cerita-cerita yang ditayangkan dalam sinetron bertema pesantren,
karena tidak sesuai dengan kondisi realitas pesantren yang sebenarnya bahkan
berlebihan. Sebagai contoh, adegan sepasang santri yang berdua-duaan dalam
kompleks pondok, suasana belajar yang serba kolot dan kampungan, aturan-aturan
pondok pesantren yang terkesan ‘mengekang’ para santri, ataupun contoh lainnya.
Kita memang tidak mampu mengontrol
pikiran dan argumen penonton pasca menyaksikan sebuah tayangan. Tapi yang tidak
kita inginkan adalah, jika para audiens menafsirkan pesantren dan Islam secara
sepihak melalui siaran televisi, yang dianggap hanya menjadi kedok pendongkrak rating oleh beberapa pebisnis media. Wallahu a’lam.
Jika dilihat dari ranah akademis Ilmu
Komunikasi dan Media Massa, ada sebuah teori yang menyangkut pengaruh televisi
terhadap penonton. Salah satunya
adalah teori kultivasi atau Cultivation
Theory yang pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gerbner. Menurut
teori kultivasi, televisi menjadi media atau alat utama di mana para penonton
televisi belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Persepsi apa
yang terbangun dalam benak para penonton tentang masyarakat dan budaya sangat
ditentukan oleh televisi. Artinya, melalui kontak penonton dengan televisi, seseorang
akan belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, serta adat
kebiasaan dari penduduk dunia tersebut. Jadi, akan ada hubungan saling
mempengaruhi antara menonton televisi dengan kontruksi realitas sosial yang
disebabkan langsung oleh perilaku serta persepsi penonton itu sendiri.
Teori inilah yang setidaknya berlaku
pada sinetron religi pesantren terhadap para penontonnya. Dengan memanfaatkan
teori ini, penonton mampu membangun persepsinya masing-masing setelah
menyaksikan sinetron tentang pesantren. Teori ini juga bisa dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang sengaja ingin membentuk persepsi tertentu dalam tayangan
sinetron tersebut.
Oleh karena itu, yang sangat krusial
untuk dijadikan refleksi bagi para penonton televisi adalah menyaring setiap
pesan yang disampaikan dalam tayangan apapun. Selalu bersikap kritis terhadap
informasi dengan mengambil yang positif dan dengan tegas menolak yang negatif.
Apalagi, terkait dunia perfilman dan drama-serial, penting bagi kita untuk
mengetahui bahwa sebuah tayangan bukanlah sekedar produksi sederhana. Terdapat
banyak pihak di belakang layar yang ikut terlibat, baik secara langsung seperti
para sineas maupun kru, maupun tidak langsung seperti pemilik media dan
pebisnis-pebisnis lain yang memiliki kepentingan pribadi serta mencari
keuntungan materi.
Pihak-pihak yang terlibat secara tidak
langsung inilah yang memiliki peran lebih banyak dalam industri media massa.
Bukan hanya mereka yang memiliki orientasi bisnis, tapi juga yang bertujuan
politis untuk membangun persepsi masyarakat terhadap hal tertentu yang mereka
inginkan. Sudah menjadi rahasia umum memang, bahwa televisi merupakan senjata
propaganda dan persuasi paling ampuh melalui pesan-pesan dalam tayangannya.
Bukan tidak mungkin, sinetron atau tayangan lain di televisi yang kita tonton
sehari-hari memiliki sebuah pesan tersirat bermakna dibalik layarnya.
0 komentar:
Posting Komentar