Keikutsertaan umat
Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan dan melawan penjajahan di negeri ini
memang tidak dapat dipungkiri lagi. Bahkan tidak sedikit dari mereka berasal
dari tokoh ulama dan santri yang terjun langsung dalam perang melawan penjajah
dan gugur sebagai syuhada. Perjuangan para syuhada ini kemudian tercatat dalam
sejarah dan diabadikan oleh pemerintah dengan gelar pahlawan nasional. Sebut
saja Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Pengeran Antasari, KH. Hasyim
Asy’ari dan lain sebagainya telah dikenang perjuangannya dengan dinobatkan
sebagai pahlawan nasional. Meski demikian, tidak semua perjuangan dan
perlawanan kaum santri terhadap penjajahan dipopulerkan dalam sejarah nasional.
Sebab, perjuangan rakyat Indonesia yang bukan dari kalangan santri juga tidak
kalah banyaknya.
Sebelum terbentuk menjadi sebuah negara kesatuan, Indonesia merupakan suatu kesatuan penting dari sekumpulan rakyat nusantara yang
mengaku dan merasa senasib seperjuangan pada masa penjajahan. Melalui peran
besar para ulama, santri sebagai pengikut ulama, turut berjuang melawan
penjajah dan membentuk gerakan-gerakan perlawanan di beberapa daerah. Di antara
gerakan-gerakan yang didominasi oleh kaum santri dalam melawan penjajahan
adalah Hizbullah, Sabilillah dan lain sebagainya. Ini membuktikan, santri,
terlebih dikomandoi oleh para ulama, sangat tidak apatis dengan proses dan
perjuangan kemerdekaan.
Sejak zaman sebelum kemerdekaan, sampai pasca
kemerdekaan, bahkan di era reformasi, santri tetap memiliki peranan dalam
percaturan politik di Indonesia. “Santri memiliki kesempatan yang lebih luas
untuk mengisi berbagai bidang kehidupan di dunia ini, apakah sebagai birokrat,
teknokrat, termasuk juga sebagai politisi. Dan,
saya kira peran-peran yang dimainkan para santri di dalam mengisi pembangunan
di bidang politik sudah strategis dan memiliki andil yang luar biasa bagi
kemajuan republik ini. Bahkan kalau kita runut ke belakang, sesungguhnya peristiwa-peristiwa
yang terjadi di tanah air sampai Indonesia ini
merdeka tidak lepas dari peran politik dari para santri” ungkap Drs. Khoironi.
Hiruk Pikuk Santri dalam Merebut Kemerdekaan
Salah satu bentuk perjuangan yang mungkin hanya sedikit
atau bahkan hanya diketahui oleh segelintir orang saja adalah tentang Resolusi
Jihad yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Salah
satunya oleh KH. Hasyim Asy’ary, Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang
sebagai bentuk pernyataan perlawanan terhadap penjajah melalui peperangan non
diplomasi. K.H. Sholahudin Wahid menuturkan bahwa dikeluarkannya fatwa resolusi
jihad itu dilatarbelakagi oleh keinginan Belanda untuk menguasai Nusantara
kembali setelah Jepang kalah dalam perang melawan sekutu. Pada saat itu Belanda
mendompleng NICA dan mengajak Ir. Soekarno untuk melakukan perundingan dan
Soekarno pun mengamininya.
Oleh kalangan kaum santri, khususnya di wilayah Jawa
Timur, diplomasi yang dianggap menguntungkan pihak Belanda tersebut tidak disetujui
dan ditentang keras. Pasalnya menurut para ulama, kemerdekaan harus
diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia termasuk umat Islam. “Pada saat
itu, KH. Hasyim Asy’ary menghimbau
kepada umat Islam yang tinggal di sekeliling kota Surabaya sekitar jarak 80-90
km harus berkewajiban membantu TNI dalam rangka merebut kemerdekaan” tutur K.H.
Sholahudin Wahid saat diwawancarai redaktur di kediamannya. Respon pemuda
Islam, khususnya para santri cukup antusias dengan berperang melawan Belanda
dan sekutu. Sebagai contoh adalah peperangan di Pajarakan yang sebagian besar
para santri secara khusus mempelajari ilmu-ilmu kekebalan untuk mempertahankan
diri dalam melawan penjajah. Dampak yang cukup hebat lainnya dari fatwa
Resolusi Jihad adalah peristiwa heroik di Surabaya pada tanggal 10 November
1945 yang sekarang dikenal sebagai Hari Pahlawan.
Peranan santri untuk kemerdekaan negeri ini tidak hanya
berhenti pada saat merebut kemerdekaan saja. Pasca kemerdekaan, umat Islam juga
ikut memikirkan bagaimana konsep negara yang akan didirikan, dasar negara, asas
negara dan cita-cita serta tujuan negara. Turut andilnya kaum santri dapat
dilihat dengan munculnya K.H. Wahid Hasyim, Kahar Mudzakar dan H. Agus Salim
dalam perumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta.
Dalam Piagam Jakarta ada tujuh kata yang secara tekstual
dipahami sebagai bentuk pengkodifikasian dasar-dasar Islam dalam bentuk dasar
negara yaitu “ Dengan menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mendengar
adanya aturan yang seolah mengistimewakan umat Islam itu, rakyat Indonesia
bagian timur yang memeluk agama selain Islam merasa enggan untuk bergabung
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian tujuh kata tersebut
dihapus dan digantikan dengan Pancasila. Ini merupakan suatu hal yang sering dipahami sebagai wujud
pengorbanan kaum santri mengenai perumusan dasar negara kita. “Sebagai
gantinya, umat Islam mendapatkan kompensasi dari Presiden dengan dibentuknya
Departemen Agama yang bertugas untuk mengatur urusan keagamaan umat Islam di
Indonesia pada awal tahun 1946. Tapi menurut saya, ini bukan hanya kompensasi
semata, melainkan berkah bagi bangsa ini terkhusus umat Islam” kenang Gus
Sholah, putra K.H. Wahid Hasyim yang merupakan
Menteri Agama.
Adalah suatu hal yang tidak bisa diterima dengan mudah
mengenai perumusan negara dengan bentuk
Republik. Sebab, bentuk negara yang dipelajari bahkan diketahui oleh umat Islam
Indonesia pada masa itu hanyalah negara Islam atau yang biasa dinamakan dengan Daulah
Islamiyah. Sementara umat Islam pada saat itu, termasuk kaum santri menganggap
bahwa negara dalam bentuk republik dengan ideologi Pancasila adalah negara
berideologi sekuler, yang sama sekali tidak ada campur tangan dan pengaruh agama. Pancasila, oleh umat Islam pada saat
itu, belum bahkan tidak ditafsiri sebagai
sebuah ideologi yang Islami, sebab sama sekali tidak menyebutkan kata “Islam”
dalam rumusannya. Kerelaan umat Islam untuk menerima Pancasila dan penghapusan tujuh
kata dalam Piagam Jakarta dapat mencegah perpecahan dan rakyat Indonesia bagian
timur menyatakan bergabung dengan pemerintah Indonesia.
Alasan utama yang dipikirkan oleh kaum santri terlebih para ulama, kemerdekaan dan
persatuan bangsa Indonesia lebih penting daripada sekedar membentuk negara
Islam. Hal terpenting adalah bagaimana mewujudkan negara Indonesia yang merdeka
dan terbebas dari belenggu penjajah. Selanjutnya Pancasila diposisikan sebagai
dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, yang tidak dapat
menggantikan agama dan tidak dipergunakan menggantikan kedudukan agama.
Meski demikian, kita tetap tidak bisa
memungkiri, bahwa kalangan umat Islam juga disudutkan oleh
pemberontakan-pemberontakan pasca proklamasi yang dilakukan oleh sebagian umat
Islam di berbagai daerah. Seperti pemberontakan di Makasar yang dipimpin oleh
Kahar Mudzakar, pemberontakan DI/TII yang dikomandoi oleh Kartosuwiryo yang
dikenal sebagai tokoh agamis dan sebagainya. Sebagai bagian dari umat Islam
Indonesia, peristiwa-peristiwa demikian membuat santri tersudutkan, meski pada
kenyataannya, pemberontakan tersebut hanya dilakukan oleh segelintir orang yang
berpaham keras. Pemberontakan itu tidak lain adalah sebagai respon atas
kebijakan pemerintah yang kurang mengakomodir kepentingan kelompok yang
memberontak, termasuk dalam hal ideologi. “Saya
kira persoalan seperti itu adalah persoalan yang sifatnya abadi, orang-orang tertentu yang kemudian memperjuangkan ideologinya
akan selalu ada dan sifatnya abadi. Yang digarisbawahi sekarang adalah sejauh
mana kita menyikapi kelompok masyarakat seperti itu, kemudian memberikan
pemahaman, wawasan dan pembinaan, kemudian kita ajak dialog, diskusi dan
sebagainya. Saya
kira itu jalan keluar yang terbaik. Persoalannya, dunia pesantren sekarang
sudah ada bermacam-macam afiliasi dari organisasi sosial keagamaan,
masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda, itu harus kita hargai, sepanjang
tidak melakukan aktifitas makar. Bila melakukan aktifitas makar, santri-santri
hakiki akan tetap mempertahankan kesatuan negara republik Indonesia” jelas Pak Khoironi.
Santri dalam Peta Politik di Indonesia
Sedikit atau banyak, santri turut berperan serta dalam euforia
politik di Indonesia. Mulai awal kemerdekaan hingga sekarang, tidak sedikit
dari kalangan santri yang andil dan menjadi tokoh politik nasional. Sejak
Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Masyumi, Persis dan ormas-ormas Islam
lainnya mengikuti pemilu pertama, umat Islam termasuk santri telah menunjukkan
kepeduliannya terhadap perpolitikan negeri ini. Sebut saja K.H. Wahid Hasyim,
beliau pernah menjabat sebagai Menteri Agama untuk yang pertama kalinya,
putranya K.H. Abdurrahman Wahid pernah menjabat sebagai Presiden RI ke-4 dan
masih banyak lagi lainnya. Dalam pemilu untuk kali pertamanya pasca reformasi,
banyak berdiri partai-partai Islam yang notabene didirikan dan dibentuk oleh
kaum santri dari berbagai afiliasi ormas Islam.
Santri sebagai warga negara Indonesia berhak dan punya
kewajiban untuk berpolitik baik aktif maupun pasif. ”Saya kira kalau persoalan
politik itu kan hak warga negara Indonesia, siapapun berhak untuk terjun ke
politik, termasuk juga santri, mereka punya hak untuk berpolitik praktis. Nah,
menurut saya, santri memiliki kualifikasi yang memadai untuk perpolitik
praktis, sehingga nantinya ketika terjun ke dunia politik sudah memiliki
kedewasaan berfikir, memiliki keterbukaan, wawasan, memiliki sikap demokratis
dan sebagainya” terang Pak Khoironi ketika diwawancarai oleh redaktur.
Meskipun sudah cukup banyak dari kalangan santri yang
turut menduduki jabatan penting dalam pemerintahan dan tidak sedikit pula yang
terjun sebagai praktisi politik, santri sampai saat ini belum bisa mempengaruhi
pergerakan politik secara signifikan dalam kancah perpolitikan di Indonesia
secara keseluruhan, tentunya dengan moral ke-santri-anya.
Santri dan Kewajiban Mengisi Kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah merdeka
sejak 17 Agustus 1945, kurang lebih 66 tahun negara kita merdeka. Tetapi sampai
saat ini keadaan kita masih demikian,
tetap berstatus sebagai negara berkembang yang masih sangat jauh tertinggal
dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya. Kalau dalam sejarah banyak
disebutkan bahwa santri turut merebut kemerdekaan, sudah sepantasnya dan
seyogyanya santri pun turut mengisi kemerdekaan negara kita dengan
karakter-karakter santri yang jujur, amanah dan perbaikan umat.
“Bagi saya yang paling penting adalah perjuangan untuk
mengisi kemerdekaan itu sendiri. Sebab, senyatanya kita sudah merdeka. Kita
tidak perlu tergoda dan terkecoh oleh gerakan-gerakan separatis yang mengancam
kesatuan dan persatuan kita. Sudah saatnya kita memperbaiki bangsa ini. Dan
menurut saya, untuk melakukannya kita harus memiliki karakter-karakter yang
jujur, bertanggung jawab, bekerja keras, percaya diri untuk maju, tidak mudah
menyerah dan peduli dengan sesama serta selalu berupaya melakukan perbaikan
umat” ungkap Gus Sholah. Di Indonesia ini terdapat 25.000 pesantren lebih yang
setiap tahunnya mengeluarkan lulusan pesantren yang akan terjun secara langsung
di masyarakat. Jika sumber daya manusia ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
dengan peningkatan mutu pendidikan dan keterampilan, maka kemajuan bangsa
dengan moralitas yang luhur menjadi suatu hal yang niscaya. “Menurut saya, yang
perlu dan harus selalu kita lakukan untuk perbaikan bangsa, khususnya melalui
santri adalah pendidikan, pendidikan dan pendidikan” pesan beliau mengakhiri
perbincangan. Lantas, siapkah santri untuk mengisi kemederkaan?
0 komentar:
Posting Komentar