Jumat, 17 Juni 2011

MAJALAH SANTRI UNTUK TULIS-MENULIS PESANTREN

Oleh: Fadhli Lukman_SANTRI UIN SUKA

Prof. K. Yudian Wahyudi, Phd pernah berkata, “Biar ada santri yang nulis disertasi bahasa Inggris di Harvard gitu lho!” Dari beberapa kesempatan, terlihat jelas bahwa pengasuh English Pesantren Nawesea ini memiliki impian luar biasa untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga intelektual terkemuka hingga taraf internasional. Beliau juga menyatakan bahwa salah satu kelemahan terbesar pesantren saat ini adalah kurangnya tradisi tulis-menulis. Kalangan pesantren dari masa ke masa membanggakan tradisi kitab kuning. Brand image pesantren ini bahkan diperlombakan antar santri pesantren untuk menguji pesantren manakah yang terbaik dalam urusan bergengsi ini. Akan tetapi, santri hanya disibukkan untuk membaca. Kitab gundul yang memiliki kesulitan luar biasa dikonsumsi secara intensif oleh santri, sehingga kesulitan demi kesulitan bisa ditanggulangi, dan hasilnya mereka terbiasa dan mampu membaca dengan baik. Lantas, tradisi menulisnya mana?!
Saya yakin setiap santri dan keluarga besar pesantren menyadari bahwa kitab-kitab klasik tersebut merupakan hasil karya ‘santri’ terdahulu yang dengan giat menulis ilmu-ilmu yang mereka dapatkan dari ‘kyai’ mereka. Akan tetapi, saya tidak begitu yakin jika kebanyakan mereka ‘sempat’ berpikir bahwa santri seabad atau dua abad ke depan akan membaca kitab-kitab magnum opus karya santri generasi ini. Jangankan untuk menulis sebuah karya besar layaknya Imam al-Syafi’i, al-Ghazali, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan sebagainya, untuk menulis artikel, essay, atau risalah-risalah kecil saja masih sangat minim di kalangan pesantren. Padahal, peradaban saat ini adalah peradaban tulisan. Nama seorang penulis akan terus diingat melewati masa yang panjang dengan tulisan yang bermutu, dibaca dari generasi ke generasi, meskipun jasadnya di liang lahat tidak menyisakan apa-apa lagi! Dan tulisan seorang santri akan terus mengalirkan pahala bagi penulisnya, selama tulisan tersebut terus dibaca, dipahami, dan diresapi santri generasi mendatang!
Jurnalistik, sepertinya sangat layak untuk menjadi alternatif terbaik! M. Abduh dan Rasyid Ridho adalah wartawan. Hasan Hanafi dikenal dunia luas dengan tulisan-tulisannya di berbagai media masa. Untuk Indonesia, Buya Hamka juga seorang jurnalis. Istana Negara mencium talenta Denny Indrayana, staff SBY bidang hukum, melalui tulisan-tulisannya yang sering muncul di Kedaulatan Rakyat. Artinya, jurnalistik dapat memberikan dua manfaat besar bagi pesantren. Pertama, jurnalistik dan dunia tulis-menulis melatih pribadi intelektual yang kompeten, karena karir seorang sarjana ditentukan oleh tulisan-tulisan yang ia produksi. Tentu saja santri bisa ambil bagian dalam bidang ini. Hal ini diamini oleh Dr. Phil Sahiron Syamsuddin, seorang santri yang telah melalangbuana melintasi 3 benua. Direktur Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren (PSPP) sekaligus Editor in Chief International Journal of Pesantren ini menegaskan bahwa supaya ada tokoh pesantren (santri) yang kompeten di bidangnya dan dirujuk oleh para pelajar sedunia layaknya Ibn Hajar, al-Ghazali, dan sebagainya ia harus terus berlatih dan berlatih, membaca dan menulis. Kedua, jurnalistik bisa mengangkat popularitas pesantren ke dunia luas. Popularitas adalah hal yang sangat penting bagi pesantren. Pesantren harus tetap menjalani perannya sebagai lembaga pendidikan Islam khas di Indonesia, dan pesantren harus bersaing dalam popularitas dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Tentu saja jurnalistik yang intensif akan menjadi sarana efektif untuk memperkenalkan kiprah pesantren ke dunia luas.
Majalah Santri (MS) telah memulai langkah itu. CSS MoRA sepertinya telah menyadari arti penting jurnalistik untuk santri dan pesantren sehingga dibentuklah suatu lembaga jurnalistik yang telah menghasilkan suatu karya yang bagus. Akan tetapi, untuk perkembangan lebih lanjut, saya mengusulkan dua ide untuk MS: ide peningkatan mutu dan konsep.
Untuk yang pertama, tidak saya maksudkan dengan pelatihan-pelatihan atau kegiatan-kegiatan unpgrade skill lainnya. Akan tetapi, yang saya maksudkan di sini berangkat dari konsepsi bahwa majalah yang baik, terutama sekali berisikan tulisan-tulisan terbaik. Oleh sebab itu, hanya tulisan-tulisan terbaiklah yang dimuat di MS. Untuk tujuan itu, perlu didongkrak dengan adanya lembaga-lembaga jurnalistik di setiap CSS MoRA PT. Hal ini dengan tujuan supaya teman-teman CSS MoRA terbiasa menulis di PT mereka masing-masing, sehingga mutu tulisan mereka meningkat secara perlahan-lahan, dan untuk MS, tulisan-tulisan terbaiklah yang dimuat, hasil latihan intensif dengan media jurnalistik masing-masing PT. Oleh sebab itu, pihak redaksi MS perlu memiliki hubungan secara organisasi yang jelas dan resmi dengan lembaga jurnalistik setiap PT, sehingga usaha yang dilakukan untuk pengembangan mutu tersebut bisa dijalankan secara prosedural yang jelas.
Untuk ide kedua, saya menyarankan suatu konsep “pesantren masa lalu, sekarang, dan mendatang” serta “dari, untuk, dan oleh santri”. Konsep pertama artinya rubrik-rubrik MS mencerminkan ketiga dimesi waktu yang dilalui pesantren tersebut. Untuk “masa lalu”, MS setiap edisinya perlu mengeksplor figur pendiri-pendiri pesantren di Indonesia, pesantren-pesantren tua, peran pesantren masa lalu, tokoh-tokoh masyhur pada masanya, dan sebagainya. Untuk “masa sekarang”, lebih kurang sebagaimana MS volume 1/November 2009 lalu, berisikan profil santri terbaik, karya-karya santri baik dalam bidang teknik, enterpreneurship, dan bidang-bidang lainnya yang ada di CSS MoRA. Untuk “masa datang”, MS memberikan alternatif-alternatif agenda yang harus diusung oleh ponpes-ponpes Indonesia untuk perkembangan yang lebih baik. Dengan itu, MS menjadi sangat bermanfaat tidak hanya untuk “kalangan sendiri” (mahasiswa CSS MoRA saja), tetapi juga untuk keluarga pesantren secara luas. Mereka bisa mengakses pesantren dalam perjalanan sejarahnya, mengetahui perkembagan inspiratif dari beberapa santri dan pesantren saat ini, dan mendapatkan gambaran untuk pengembangan pesantren ke depan.
Untuk konsep kedua, “dari, untuk, dan oleh santri”, adalah untuk memperkuat karakter kesantrian MS. Yang dimaksudkan di sini adalah siapapun, dan apapun yang ada dalam MS berkaitan erat dengan santri. Redaksi, tema-tema, bahkan tokoh-tokoh yang dirujuk, diwawancara, dimintai tulisan, dan sebagainya adalah santri. Dan untuk memperkuat kesan itu, pada halaman terakhir bisa di-list orang-orang yang terlibat dalam pemberitaan, sumber info dan wanwancara, dan sebagainya sekaligus pesantren tempat dia mondok dulu atau beraktifitas sekarang. Dengan itu, akan terlihat bahwa MS memang benar-benar “SANTRI”.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls