Kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah
–terutama yang disusun oleh Al-Mawardi- sangat popular di kalangan umat Islam,
suatu hal yang sangat wajar mengingat kitab tersebut merupakan kitab pertama
yang mengupas hukum tata Negara. Al-Mawardi yang nama lengkapnya Imam Abu
Al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi, lahir pada tahun 370 H dan berkembang
dewasa hingga wafatnya pada era kedua khilafah Abbasiyah.
Di
lihat dari masa penulisannya, gagasan-gagasan dalam Al-Ahkamus Sulthaniyah merupakan
gagasan yang cemerlang dan berani, karena Al-Mawardi meskipun menempatkan
seorang Imam (Khalifah, Presiden) sebagai figur sentral dengan segala
ke-maha-rajaannya, akan tetapi Al-Mawardi juga berani berbicara tentang
perlunya seorang Imam mengundurkan diri dari jabatannya jika tidak bisa
memimpin secara adil.
Namun
demikian, kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah masih didasarkan pada realitas waktu itu
bahwa Negara Islam (daulah Islamiyah) adalah satu kesatuan, baik
politik, ekonomi, hukum dan territorial, belum mengasumsikan bahwa daulah
Islamiyah akan terpecah-pecah ke dalam berbagai negara bangsa (nation state) seperti pada saat sekarang.
Konsep Nation State
Konsep nation state (negara
bangsa) pada mulanya tidak
dikenal di kalangan umat Islam karena konsep tersebut berasal dari negara-negara
barat sebagaimana pertama kali diperkenalkan oleh Nicollo Machiavelli
(1469-1527).[1] Dalam konsep nation state, pembentukan sebuah negara lebih didasarkan
pada kesamaan warga negara, bahasa, territorial, nasionalisme dan kedaulatan
rakyat. [2] Oleh karena itu konsep nation state
mengandung hubungan kontraktual dan transaksional di antara para pendukungnya.
Walter C. Opello, Jr. and Stephen J.
Rosow menjelaskan, the nation
state is a type of politico-military rule that, first, has a distinct geographically
defined territory over which it exercises jurisdiction; second, has sovereignty
over its territory, which means that its jurisdiction is theoretically
exclusive of outside interference by other nation-states or entities; third, it
has a government made up of public offices and roles that control and
administer the territory and population subject to the state’s jurisdiction;
fourth, it has fixed boundaries marked on the ground by entry and exit points
and, in some cases, by fences patrolled by border guards and armies; fifth, its
government claims a monopoly on the legitimate use of physical coercion over
its population; sixth, its population manifests, to a greater or lesser degree,
a sense of national identity; and, seventh, it can rely, to a greater or lesser
degree, on the obedience and loyalty of its inhabitants. [3]
Sedangkan tatanan berbangsa dan bernegara
dalam Islam sebagaimana dipaparkan dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah adalah khilafatisme
(universalisme) sebagaimana dipraktekkan pada zaman Nabi Muhammad SAW dan masa
para Khalifah (al-Khuafa’ al-Rasyidun) hingga runtuhnya Khilafah
Usmaniyah pada tahun 1922. [4] Namun sejarah mencatat, setelah al-Kulafa al-Rasyidun –yakni sejak
berkuasanya Bani Umayyah- bentuk negara
berubah secara diametral dari sebelumnya menjadi al-Mamlakah (kerajaan).
Khilafatisme dalam bentuk monarchihereditis atau kerajaan turun
temurun ini di tangan Bani Umayyah berjalan hampir satu abad (sekitar 90
tahun), demikian pula dinasti berikutnya Abbasiyah yang berkuasa cukup lama
sekitar 5 abad (750 – 1258 M) juga melestarikan sistem kerajaan. Sistem ini
terus berlangsung sampai abad 19 ditandai dengan jatuhnya khilafah Turki Usmani
tersebut.[5] Al-Mawardi sendiri
tidak mempersoalkan bentuk kerajaan bagi Negara Islam, bahkan ia cenderung
melegitimasinya.
Menjelang jatuhnya khilafah Turki Usmani,
imperialisme dan kolonialisme barat mulai memasuki wilayah dan jantung
kekuasaan Islam, dan issue nation state mulai digelindingkan dan
direspons oleh sejumlah pemuka politik dan pemuka agama. Tanpa bisa dielakkan,
hal ini menuntut para jurists Islam untuk merumuskan kembali sistem
ketata-negaraan untuk disesuaikan dengan tuntutan perubahan. [6]
Namun
tidak semua pemuka Islam menerima konsep nation state. Al-Maududi
misalnya, dia berpendirian bahwa ide nation
state tidak sesuai dengan tatanan Islam yang menganggap umat manusia adalah
satu keluarga. Apalagi ide nation
state kemudian dianggap sebagai satu-satunya puncak kehidupan sosial
yang pada gilirannya menimbulkan nasionalisme sempit atau nasionalisme
ekstrim (chauvinism) yang sangat
berbahaya.[7] Kekhawatiran tersebut terbukti dengan
dijajahnya negara-negara berkembang, terutama negara-negara Islam oleh
bangsa-bangsa barat selama kurun berabad-abad, termasuk Indonesia yang kemudian
mengubah paradigma umat Islam di berbagai bidang kehidupan, termasuk konsep
kenegaraan, politik, hukum, dsb.
Adalah
rentang sejarah umat Islam yang panjang dari masa formatifnya hingga sekarang, diakui
atau tidak juga telah menimbulkan disparitas antara teks-teks normatif dengan
realitas dan kebutuhan riil masyarakat. Fenomena yang terjadi kemudian adalah
terjadinya gelombang iqlimiyah (lokalitas) di kalangan penguasa Islam
untuk melakukan ‘politik domestikasi’ dimana negara kemudian berhasil
menundukkan umat Islam baik secara politis, ideologis dan intelektual [8] untuk disesuaikan
dengan kebutuhan lokalnya – bagi sebuah komunitas ummah dalam wadah
negara bangsa. Universalitas syari’ah lalu berhadapan dengan konsep lokalitas
dengan dalih agar ajaran-ajaran normatif agama tetap kompatibel. Dengan
alasan ini, diharapkan masyarakat muslim akan terhindar dari pilihan ekstrim
lainnya, yakni meninggalkan hukum agama karena tidak lagi fungsional untuk
memenuhi kebutuhan hukum dan rasa keadilan.
Kuatnya pengaruh negara terhadap segala ‘milik
warga negara’, juga mengakibatkan terjadinya pergeseran pemegang otoritas hukum
Islam (syariah) dari tangan
ulama’ (jurists) kepada negara. Beberapa kasus dapat dikemukakan di
sini, misalnya pemberlakuan hukum negara di Turki – yakni hukum perdata Islam
yang dijadikan Undang-Undang - melalui Al-Majallah
Al-‘Adaliyah. Hal ini juga terjadi di Indonesia, yakni dengan
diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang
kemudian berhadapan dengan hukum atau fikh masyarakat. Inilah ‘deprivatisasi’
hukum Islam yang semula di tangan para ulama (jurists) kemudian
berpindah ke tangan negara sebagai implikasi pergumulan entitas Islam dan
politik nation-state terhadap praktek dan pemikiran hukum Islam modern.[9]
Hasil dari pergumulan tersebut adalah hadirnya
wajah Islam yang bersifat domestik, karena kemudian hukum (dan politik) Islam
harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat lokal. Di Indonesia pengaruh ide ‘nation state’ juga nampak sikap
mayoritas umat Islam bahwa NKRI dengan falsafah Pancasila adalah bentuk final
dari upaya bangsa Indonesia (termasuk umat Islam) dalam membangun sebuah bangsa
dan tatanan negara. Politik ‘domestikasi’ ini tentu tidak pas jika dikaitkan
dengan konsep (politik) universalitas sebagaimana dipaparkan dalam Al-Ahkamus
Sulthoniyah. Namun justeru inilah yang menurut Bachtiar Effendi dikatakan
sebagai ijtihad politik para pemikir dan tokoh Islam Indonesia, bahwa politik
Islam harus tunduk pada spesifikasi dan partikularitas waktu dan tempat ia
berkembang. Sebaliknya cita-cita dan
artikulasi politik atau ideologis yang lebih mengedepankan dimensi legalistik
dan formalistik harus dihindari.
Dengan perubahan paradigma tersebut, menurut
Bachtiar Effendi, yang ingin diwujudkan adalah prinsip-prinsip politik
sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an, yakni nilai-nilai keadilan, kesamaan,
dan musyawarah. Dengan kata lain, yang ingin diwujudkan bukan lagi daulah
Islamiyah dalam bentuknya seperti yang dulu, melainkan masyarakat dan Negara
yang adil makmur di bawah ampunan Ilahi.[10]
Bagaimana Sikap Santri ?
Menghadapi
perubahan paradigma di atas, sebetulnya santri dapat mengambil posisi yang
realistis tanpa kehilangan idealisme. Sebagai sebuah realitas masa lalu, daulah
Islamiyah dalam bentuk khilafah tidak terbantahkan lagi, dan sangat ideal jika
umat Islam tetap berada dalam kesatuan, baik politik, territorial, ekonomi, dan
seterusnya. Maka tidak bisa disalahkan jika saat ini sebagian umat Islam ada
yang tetap berpegang pada romantisme masa lalu untuk kembali ke sistem
khilafah.
Namun
ketika kita hidup dalam realitas saat ini, maka Islam harus dipahami bukan
hanya memiliki dimensi legal-formal, tetapi juga memiliki dimensi fungsional
yang bersifat esoteris. Di antara essensi ajaran Islam adalah li-utammima
makarimal akhlaq (untuk menyempurnakan ahlak yang mulia). Dalam kerangka negara bangsa (nation
state) yang sering dikaitkan dengan demokrasi, Said Aqiel Siradj
menegaskan, moralitas merupakan standard
yang harus dijunjung tinggi –terutama bagi pemimpin atau calon pemimpin.
Islam juga memegang teguh ajaran tauhid (monotheisme) yang
menegaskan, bahwa seluruh kekuatan selain Allah – termasuk penguasa- jika
muncul sebagai kekuatan otoritarian dan atau diktator, maka haruslah
diluruskan, atau jika perlu harus dihentikan guna memurnikan sikap tauhid. [11] Dalam konteks Indonesia, sebagian
ahli mengatakan, pemikiran dan praktek politik Islam masa lalu mengalami
kesenjangan yang tak terjembatani dengan ide-ide politik kalangan ‘nasionalis’,
sehingga diperlukan cammon platform (panggung bersama) untuk menegakkan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Meminjam istilah Bachtiar Effendi, pilihan
Pancasila sebagai cammon platform bangsa Indonesia merupakan pilihan
cerdas (the smart choice).
Santri
dapat mengambil peran di berbagai sektor, terutama menjadi pengawal moralitas
bangsa dan kemurnain tauhid. Negara kita memberikan ruang yang sangat luas
untuk bejuang pada level tersebut, baik ketika menjadi kaum yang dipimpin
maupun setelah menjadi kaum yang memimpin. Wallahu A’lam.
Yogyakarta,
10 Agustus 2011
Oleh : A. Zuhdi Muhdlor
Penulis adalah pengajar Pondok
Pesantren Aji Mahasiswa Al-Muhsin, Krapyak, Yogyakarta, saat ini sedang
menyelesaikan studi di program doktoral (S-3) PPs Fakultas Hukum UGM,
Yogyakarta.
[1]
Roger Scruton, Adictionary of Political Thought, (London : Macmillan
Press, 1982), hlm. 446.
[2]
Ibid, hlm. 312.
[3]
Walter C. Opello Jr and Stephen J. Rosow,
The
Nation-State and Global Order: A Historical Introduction to Contemporary
Politics,
(USA : Lynne Rienner Publishers, 2004).
[4]
Dhiya’ ad-Din ar-Rais, Islam dan Khilafah (judul asli Al-Islam wa
al-Khilafah fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkanb oleh Afif Muhammad), (Bandung
: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 215.
[5]
Abu Yasid (muhaqqiq), Fikh Today 2 : Fatwa Tradisional Untuk Orang Modern,
(Jakarta : Penerbit Erlangga), hlm. ix.
[6]
Ibid.
[7] Abul A’la Al Maududi, Gerakan Solidaritas
Islam, (Jakarta : Sinar Hudaya Documenta, 1972), hlm. 7-8.
[8]
Bahtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara dan
Demokrasi, (Yogyakarta : Galang
Press, 2001), hlm. 46.
[9]
Cipto Sembodo, Deprivatisasi
Syari’ah, Problem Relasi dan Pergumulan Islam dan Negara Bangsa, makalah 2008. Lihat pula Akh.
Minhaji, Islamic Law And Local Tradition, A Socio-Historical Approach
(Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta Press, 2008), hal. 94.
[10]
Ibid, hal. 47-48.
[11]
Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaa, Fiqh Demokratik Kaum Santri,
(Jakarta : Pustaka Ciganjur, 1999), hal. 66-67.
0 komentar:
Posting Komentar