Bagai
udara, mereka ada dimana-mana. Kita, manusia, 'menghirupnya' dan menikmatinya
hampir tiap detik tanpa kita sadari. Setiap hari, mulai dari kita membuka mata
di pagi hari sampai kita kembali terlelap. Tak ada sedikitpun celah untuk
menghindarinya, sebab sebenarnya kita telah dipaksa untuk selalu mengaksesnya.
Ia telah menjadi kebutuhan primer berikutnya bagi manusia. Ya, itulah media.
Sekarang,
media massa konvensional seperti surat kabar, radio dan televisi sudah menjadi
barang wajib dimiliki bagi hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Belum lagi
dengan dukungan teknologi yang semakin mutakhir, gadget seperti komputer dan telepon seluler semakin laris di
pasaran. Salah satu alasannya adalah karena tingkat kesadaran informasi tiap
individu disegala usia diakui semakin meningkat, ditambah lagi dengan akses
internet yang juga semakin cepat. Ini benar-benar memanjakan mereka yang haus
informasi interaktif tanpa batasan dimensional.
Namun yang
menjadi persoalan bukanlah gadget
atau alat-alat elektronik itu sendiri. Toh,
selama kita mampu membeli, kenapa kita tidak boleh memiliki. Tetapi, bukan itu
yang menjadi perbincangan kita dalam edisi kali ini. Kita akan banyak mengupas
media dari segi penyampaian pesan atau konten media tersebut. Khususnya,
pesan-pesan media yang menyenggol dunia pesantren. Dunia yang sebelumnya tak
memiliki daya tarik untuk dibahas oleh media massa yang kini mulai menjadi
komoditi utama, bahkan di dunia hiburan tanah air.
Belum
hilang dari ingatan kita, bagaimana kisah tokoh fiksi Wahyu dalam sinetron
Pesantren Rock n' Roll. Atau cerita Fahri dalam film Ayat-Ayat Cinta, Azzam
dalam film Ketika Cinta Bertasbih, Annisa sebagai main role dalam film Perempuan Berkalung Sorban, serta Alif dkk
dalam film Negeri 5 Menara. Hampir seluruh tokoh tesebut mengawali kisahnya
melalui pesantren, atau minimal memiliki keterkaitan tertentu dengan dunia
pesantren. Sehingga, tak pelak hal ini membuat pesantren dengan segala
simbol-simbolnya harus diangkat menjadi salah satu unsur penting dalam cerita.
Simbol-simbol tesebut contohnya seperti penokohan Kiai, kitab-kitab, bahasa,
serta atribut-atribut seperti sarung dan peci.
Jelas, ini
menjadi sebuah keuntungan besar bagi kaum santri. Sebab, dengan semakin maraknya
kemunculan identitas santri dan pesantren di media massa, maka semakin mudah
juga bagi masyarakat umum untuk mengenal dunia yang sebelumnya 'misterius' ini.
Misterius, karena sejak dahulu kala pesantren seakan tertutup dan berkembang
hanya dalam kawasan regional tertentu dan untuk orang-orang tertentu. Sebuah
institusi yang tertutup, hanya untuk mereka yang bepeci dan mempelajari ilmu
agama. Sejak film-film dan beberapa sinetron tersebut diluncurkan, tak ada yang
mengira bahwa respon masyarakat sangat antusias. Ini membuktikan bahwa
masyarakat pada umumnya memang memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar
tentang Islam dan pesantren.
Selain itu,
fenomena film/sinetron bergenre religi membuka jalan baru bagi aktifitas
dakwah. Disengaja ataupun tidak, film/sinetron tesebut telah membawa
pesan-pesan dakwah amar makruf nahi
munkar. Walau tak banyak, paling tidak fenomena ini sedikit menjadi angin
segar bagi masyarakat yang jenuh pada cerita-cerita duniawi dan haus akan
hiburan religius.
Tapi
fenomena ini juga menjadi ular berbisa yang sewaktu-waktu bisa balik menyerang
dunia pesantren. Kehebohan dan trend tertentu yang sedang digemari publik, akan
selalu menjadi target sasaran oknum-oknum tertentu yang 'mungkin' ingin
memanfaatkan pesantren. Bukan mencurigai apalagi menuduh, tapi kita tetap harus
terus waspada dan membuka mata lebar-lebar setiap kali kita mengkonsumsi pesan
lewat media. Tentu kita tidak ingin pesantren yang telah menjadi institusi
pendidikan Islam yang kokoh mengawal Islam di negeri ini, justru dimanfaatkan
sebagai komoditas kapital semata. Belum lagi, jika pesan-pesan tersebut malah
membuat masyarakat salah paham dengan realitas pesantren yang sebenarnya karena
sudut pandang penyampaian pesan itu sendiri yang kurang tepat.
Sekali
lagi, buka mata kita lebar-lebar. Luaskan pengetahuan kita tentang media, baik
itu institusi medianya maupun konten pesan-pesannya. Karena di satu sisi, media
adalah teman paling bisa diandalkan. Namun di sisi lain, media bisa saja
menjadi racun yang membunuh secara perlahan. Tapi, racun tak akan bisa membunuh
seseorang yang tahu penangkalnya, bukan? Itulah mengapa, kita harus memahami
dunia literasi dalam bingkai media agar kita tak teracuni oleh pesan-pesan yang
tak bertanggung jawab. Santri yang modern, santri yang melek media!
0 komentar:
Posting Komentar