Minggu, 12 Februari 2012

PONDOK PESANTREN SIROJUL MUKHLASIN 2

Menyelaraskan tiga dimensi pendidikan dalam satu wadah


Pada edisi kali ini, redaksi majalah SANTRI melalui rubrik NeBang (Penelitian dan Pengembangan) mencoba mengulas jejak rekam pesantren Sirojul Mukhlasin 2.  Sehingga pada langkah berikutnya kita bisa menambah wawasan kepesantrenan di Indonesia dan mengambil poin penting untuk dijadikan referensi terhadap pengembangan pesantren.
Mulanya hanya sebuah madrasah dengan nama  “Madrasah Mu’allimin/Mu’allimat 6 Tahun Payaman”.  Berdiri sekitar tahun 1966/1967 di Dusun Gembongan Desa Payaman kecamatan Secang Kabupaten Magelang. Keberadaan madrasah yang mendapat sambutan baik dari masyarakat sekitar, mengubah  namanya  menjadi Madrasah Tsanawiyah – Aliyah (MTs – MA) Yayasan Amal Jariyah atau Yajri. Namun seiring perjalanannya, titel Madrasah seolah berada di kelas dua, sehingga mendorong pihak yayasan untuk menciptakan terobosan baru.

Minggu, 05 Februari 2012

WAHID HASYIM: DARI KYAI, TOKOH KEMERDEKAAN SAMPAI HUMANIS MUSLIM



“...seandainya Wahid Hasyim dikaruniai usia yang lebih panjang, tidak mustahil...?” (Masyhuri, 2008:48)


Jika anda bertanya, apakah pesantren mempunyai kontribusi kongkret terhadap kemerdekaan Indonesia? Tentu tidak ada yang menolak bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan dan basis pendidikan masyarakat Indonesia khususnya umat Muslim mempunyai kontribusi. Namun jika ditanya siapakah tokoh dari pesantren yang mempunyai kontribusi tersebut, jawabannya adalah Wahid Hasyim.
Ya, Wahid Hasyimlah satu-satunya dari pihak Islam – dalam hal ini pesantren – yang menjadi Panitia Sembilan yang bertanggung jawab atas perubahan sila pertama Pancasila, dari “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana ditegaskan oleh Bung Hatta pada 18 Agustus 1945. Wahid Hasyim pun menjadi salah satu dari enam puluh anggota BPUPKI (Moesa, 2007, 119-121). Disinilah nilai lebih seorang Wahid Hasyim yang mampu menjembatai Islam dengan Indonesia.

Kan ku songsong hari esok, karena ku cinta hari ini dan ku pernah melihat hari kemarin



Taukah
Anda bahwa Duta Anak Indonesia Tahun 2009 adalah seorang Santri Pondok Pesantren? Ya. Dialah sosok sahabat santri kita kali ini. Seorang Santri Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Daerah Garut, Jawa Barat.

Nama lengkapnya Haidar Abdurrohman (18). Santri yang baru naik kelas XII MA Daarul Arqam Putra ini dikenal oleh teman-temannya sebagai sosok yang supel dan baby face. Tak banyak bicara, namun prestasinya patut untuk dibicarakan. Dua tahun lalu, santri kelahiran Bandung ini menjadi Duta Anak Indonesia Bidang Perlindungan Khusus Tahun 2009. Di tahun yang sama, sahabat santri kita ini juga terpilih menjadi pembaca Deklarasi Anak Indonesia dalam puncak peringatan Hari Anak Nasional Tahun 2009 di depan jajaran menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu.

AL-AHKAMUS SULTHANIYAH DAN SEMANGAT PATRIOTISME SANTRI




Kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah –terutama yang disusun oleh Al-Mawardi- sangat popular di kalangan umat Islam, suatu hal yang sangat wajar mengingat kitab tersebut merupakan kitab pertama yang mengupas hukum tata Negara. Al-Mawardi yang nama lengkapnya Imam Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi, lahir pada tahun 370 H dan berkembang dewasa hingga wafatnya pada era kedua khilafah Abbasiyah.
Di lihat dari masa penulisannya, gagasan-gagasan dalam Al-Ahkamus Sulthaniyah merupakan gagasan yang cemerlang dan berani, karena Al-Mawardi meskipun menempatkan seorang Imam (Khalifah, Presiden) sebagai figur sentral dengan segala ke-maha-rajaannya, akan tetapi Al-Mawardi juga berani berbicara tentang perlunya seorang Imam mengundurkan diri dari jabatannya jika tidak bisa memimpin secara adil.

Gerakan Mahasiswa = HARAPAN


Mahasiswa adalah generasi muda yang cerdas yang telah terpilih melalui suatu proses penyaringan yang ketat. Mereka adalah iron stock bangsa dan negara dimasa depan sebagaimana jargon mereka yang terkenal: Student now leader tomorrow. Mendengar kata “mahasiswa”, sebagian dari kita mungkin bertanya, mengapa ada kata “maha” di depan kata “siswa”. Mengapa bahasa Indonesia menempatkan kata mahasiswa sebagai padanan kata pengganti kata pelajar perguruan tinggi. Padahal dalam bahasa Inggris, tidak ada kata mahasiswa. Pelajar perguruan tinggi tetap dipanggil sebagai “student” yang disamakan dengan pelajar sekolah dasar dan menengah. Dalam bahasa Sansekerta, “maha” diartikan sebagai “tak terbatas/hebat”. Menjadi satu kontemplasi tersendiri untuk para mahasiswa agar memahami makna mendalam dari kata “mahasiswa”. Kata “maha” disini bisa dipahami sebagai suatu harapan bagi mahasiswa agar senantiasa menjadi seorang pembelajar dimana pun ia berada, tidak ada rasa puas akan ilmu yang membuat diri mahasiswa terus mencari dan belajar hingga akhir hayatnya.

Pesantren vis a vis Neo-Imperialisme : Tamparan Pedas Yang Menyadarkan


“A New Civilization is forming. But where do we fit into it ? Don’t today’s technological changes and social upheavals mean the end of friendship, love, commitment, community, and caring ? Won’t tomorrow’s electronic marvels make human relationship even more vacuous and vicarious than they are today ?” ( Alfin Toffler, 1981 ).[1]

A.  Kegelisahan Baru
            Tak lama setelah bangsa Indonesia menghirup udara bebas kemerdekaan, ancaman baru muncul. Agresi militer Inggris dan Belanda pasca proklamasi menyadarkan bangsa Indonesia bahwa perjuangan masih terus berlanjut, Bandung Lautan Api dan pertempuran Arek-Arek Suroboyo misalnya,  merupakan perjuangan lanjutan membantai kolonialisme. Tak hanya sampai di sini, ancaman lain datang dari dalam negeri sendiri. Sebut saja G-30/s PKI dan DI/TII yang menjadi ancaman serius bagi integritas bangsa. Beberapa dekade lamanya, Indonesia ‘dijajah’ oleh dirinya sendiri. Selalu ada ancaman dan kegelisahan baru yang merundungi setiap kali bangsa Indonesia terbebas dari suatu bentuk kolonialisme. Memasuki usia ke 71 kemerdekaan Indonesia, adakah kegelisahan baru yang anda rasakan ?

SANTRI: SUMBANGANNYA DALAM MEREBUT, MEMPERTAHANKAN, DAN MENGISI KEMERDEKAAN


Keikutsertaan  umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan dan melawan penjajahan di negeri ini memang tidak dapat dipungkiri lagi. Bahkan tidak sedikit dari mereka berasal dari tokoh ulama dan santri yang terjun langsung dalam perang melawan penjajah dan gugur sebagai syuhada. Perjuangan para syuhada ini kemudian tercatat dalam sejarah dan diabadikan oleh pemerintah dengan gelar pahlawan nasional. Sebut saja Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Pengeran Antasari, KH. Hasyim Asy’ari dan lain sebagainya telah dikenang perjuangannya dengan dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Meski demikian, tidak semua perjuangan dan perlawanan kaum santri terhadap penjajahan dipopulerkan dalam sejarah nasional. Sebab, perjuangan rakyat Indonesia yang bukan dari kalangan santri juga tidak kalah banyaknya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls